5 Ramadhan 1431H.
Oleh : Syaikh
RENUNGAN KEENAM
Hukum-Hukum yang Berkaitan Dengan Puasa
Berbicara tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa cukup luas, karenanya saya angkat masalah ini secara ringkas.
Pertama: Penetapan masuknya bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan ditetapkan setelah bulan Sya’ban genap 30 hari, atau setelah terlihatnya hilal awal Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْهُ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ.
“Apabila kamu sekalian melihat hilal awal bulan Ramadhan, maka berpuasalah, dan apabila kamu sekalian melihat hilal awal bulan Syawwal maka berhari rayalah, jika kamu tidak bisa melihatnya (karena mendung) maka sempurnakanlah (hitungan bulan).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Pada lafazh lain dikatakan,
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا.
“Berpuasalah kamu sekalian apabila melihatnya (hilal awal Ramadhan) dan berhari rayalah apabila kamu melihatnya (hilal awal Syawwal), jika kamu tidak melihatnya, genapkanlah bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Al-Bukhari).
Bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan ru’yat (melihat hilal) tidak dengan yang lainnya, dengan mimpi contohnya, sebagaimana Al-’Iraqi telah menceritakan dalam Tharhit Tatsrib bahwa Al-Qadi Husain –ahli fiqih madzhab Asy-Syafi’i– datang kepadanya seorang laki-laki sambil berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata kepadaku, ‘Malam ini malam bulan Ramadhan (malam pertama),” maka Al-Qadi Husain berkata, “Sesungguhnya apa yang kamu lihat di mimpi itu, para sahabat melihatnya dengan mata kepalanya (bukan mimpi), dan dikatakan kepada mereka,
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ.
“Berpuasalah kamu bila melihatnya dan berhari rayalah kamu bila melihatnya.” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Tidak diperbolehkan –menurut pendapat yang kuat– seseorang berpuasa di hari terakhir bulan Sya’ban dengan dalil jaga-jaga atau hati-hati agar tidak kebablasan. Adapun puasa-nya di hari tersebut karena faktor kebetulan saja di mana senantiasa berpuasa seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud (puasa selang sehari) maka hal tersebut tidak apa-apa, sebagaimana dikatakan dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ.
“Tidak diperbolehkan salah seorang dari kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari, kecuali kalau dia harus berpuasa pada hari itu karena kebiasaannya, maka berpuasalah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua: Niat
Di dalam berpuasa diharuskan adanya niat, sebagaimana diriwayatkan Ashabus Sunan dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih dari Hafsah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.
“Siapa yang tidak berniat puasa di malam harinya sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Ashabus Sunan, Ibnu Majah).
Adapun di dalam berpuasa sunnah tidak diwajibkan niat di malam harinya, boleh saja dia berniat di malam atau di siang harinya, umpamanya dia berniat setelah terbit matahari maka puasanya sah.
Dalam masalah berniat ini ada dua catatan penting:
Sebagian orang merasa terganggu atau bimbang dalam masalah niat. Perasaan seperti ini sangat membahayakan, kita lihat sebagian mereka merasa ragu-ragu dalam berniat puasa kemudian jadilah beban pikirannya, ini adalah bisikan iblis yang harus dihindari oleh orang yang berpuasa, karena bagi seorang muslim dengan masuknya bulan Ramadhan lantas ia berniat hendak berpuasa pada bulan Ramadhan semuanya, itu sudah cukup.
Bahwa malam yang dimaksud adalah mencakup semua waktu sampai terbit fajar, seandainya ada seseorang tidur, ia tidak tahu, bahwa malam itu malam Ramadhan, dan baru ia sadar setelah bangun beberapa menit sebelum terbit fajar, kemudian makan sahur apa adanya lalu berpuasa, hal tersebut cukup baginya, karena yang dimaksud dengan niat berpuasa bukan mesti dilakukan sebelum tidur, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh.
Ketiga, Sahur.
Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam menganjurkan sekali untuk sahur, sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya yang shahih,
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً.
“Makan sahurlah kamu, karena sahur itu mengandung berkah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam shahih Muslim, dari Amr bin ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِكُمْ وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُرِ.
“Perbedaan antara puasa kita (muslim) dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim).
Jadi Yahudi dan Nashara mereka tidak sahur, maka untuk menyelisihi mereka, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam mengajarkan orang-orang mukmin makan sahur, oleh karenanya berupayalah sedapat mungkin sekalipun seteguk air.
Keempat, Berbuka.
Disunnahkan menyegerakan berbuka, dan mengakhirkan sahur, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam dalam hadits Muttafaq ‘Alaih,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ.
“Orang-orang akan senantiasa mendapat kebaikan selagi mereka segera berbuka.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Dalam hadits shahih yang lainnya dari Abbas dan yang lainnya dikatakan,
لاَ يَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ وَأَخَّرُوا السَّحُوْرَ.
“Umatku senantiasa berada dalam kebajikan selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.” (HR. Ahmad).
Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda, “Berfirman Allah Ta’ala,
أَحَبُّ عِبَادِيْ إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا.
“Hambaku yang paling Aku cintai, orang yang segera berbuka.” (HR. Ibnu Majah dan At-Tirmizi).
Di dalam Shahih Muslim, bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha ditanya mengenai dua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam, salah satunya mengakhirkan berbuka dan mengakhirkan shalat, dan yang satu lagi menyegerakan berbuka dan shalat, sahabat manakah yang afdhal (ibadahnya)? Aisyah menjawab, “Orang yang menyegerakan berbuka dan shalatnya itulah yang afdhal.” (HR. Muslim).
Oleh karenanya, orang yang berpuasa hendaknya segera berbuka bila yakin matahari telah terbenam, dan hendaknya berbuka dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada maka dengan kurma, jika tidak ada berbukalah dengan beberapa teguk air, sebagaimana yang diriwayatkan dalam haditsnya yang sahih: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam berbuka puasa dengan beberapa ruthab (kurma basah), jika tidak mendapatkannya ia berbuka dengan beberapa kurma, jika tidak mendapatkannya ia berbuka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi).
Dan disunnahkan di saat berbuka untuk berdoa,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.
“Hilanglah dahaga, urat-urat pun menjadi basah, dan pahala pun pasti insya Allah.”
Doa tersebut adalah doa yang paling shahih yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam tidak terdapat doa ifthar yang datang dari Nabi selain itu. Disunnahkan juga di saat ifthar untuk berdoa apa saja yang ia kehendaki baik kebaikan di dunia atau di akhirat kelak.
Kelima: Hal-hal yang membatalkan puasa
Makan, Minum dan Bersenggama
Jika orang yang berpuasa sengaja makan, minum serta bersenggama, tidak ada unsur keterpaksaan atau lupa, maka puasanya fasid (batal). Hal tersebut karena berdasarkan nash (teks) Al-Qur'an dan Ijma’ para ulama. Allah Ta’ala berfirman, “Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187).
Siapa yang makan dan minum di siang Ramadhan dengan sengaja ia harus segera bertaubat dan beristighfar, dan wajib mengqadha’nya (menggantinya) dan tidak ada kifarat baginya. Begitulah menurut pendapat yang kuat.
Adapun orang yang bersenggama pada siang hari di bulan Ramadhan, baginya ada empat hal:
Meneruskan puasanya, karena tidak termasuk berbuka yang masru’ (disyari’atkan).
Harus bertaubat dan berinabah (kembali) kepada Allah, karena termasuk dosa besar.
Harus mengqadha’nya (menggantinya) di hari-hari yang lain.
Harus membayar kifarat (tebusan) yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika tidak ada, berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu, maka memberi makan 60 orang miskin, jika masih tidak mampu, tidak ada kifarat baginya.
Sengaja Muntah
Maksudnya seseorang sengaja mengeluarkan makanan atau minuman dari dalam perutnya, dengan memasukkan jari ke mulutnya, atau mencium sesuatu yang membuat dia mual-mual atau dengan cara lain. Maka jika ia lakukan seperti ini fasad (batal) lah puasanya dan wajib mengqadha’nya.
Adapun muntahnya bukan karena faktor keinginan dirinya atau sengaja, maka puasanya sah dan tidak harus mengqadha’nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,
مَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ.
“Siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha’, dan siapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha baginya.” (HR. Abu Daud, dan Imam At-Tirmidzi).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam kitabnya “Haqiqatus Shaum” hadits tersebut hadits shahih.
Haidh dan Nifas
Maksudnya apabila seorang wanita mendapati darah haidh dan nifas, batallah puasanya, berdasarkan ijma’, diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.
“Kami pernah mengalami hal tersebut, kemudian kami diperintahkan (Rasul shallallahu ‘alaihui wasallam) untuk mengqadha’ puasa, dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat.” (HR. Muslim dan Imam Turmizi).
Demikianlah yang masyhur (populer) hal-hal yang membatalkan puasa. Termasuk dalam hal ini makna yang terkait dengan point di muka, seperti suntikan yang mengenyangkan yang membuat dirinya tidak butuh makan dan minum, hal ini membatalkan puasa, dikarenakan termasuk pada makna (nilai) makan dan minum, begitu juga istimna (onani) karena termasuk pada makna jima’, dan sebagainya.
Oleh : Syaikh
RENUNGAN KEENAM
Hukum-Hukum yang Berkaitan Dengan Puasa
Berbicara tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan puasa cukup luas, karenanya saya angkat masalah ini secara ringkas.
Pertama: Penetapan masuknya bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan ditetapkan setelah bulan Sya’ban genap 30 hari, atau setelah terlihatnya hilal awal Ramadhan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْهُ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوْا لَهُ.
“Apabila kamu sekalian melihat hilal awal bulan Ramadhan, maka berpuasalah, dan apabila kamu sekalian melihat hilal awal bulan Syawwal maka berhari rayalah, jika kamu tidak bisa melihatnya (karena mendung) maka sempurnakanlah (hitungan bulan).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Pada lafazh lain dikatakan,
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا.
“Berpuasalah kamu sekalian apabila melihatnya (hilal awal Ramadhan) dan berhari rayalah apabila kamu melihatnya (hilal awal Syawwal), jika kamu tidak melihatnya, genapkanlah bulan Sya’ban 30 hari.” (HR. Al-Bukhari).
Bulan Ramadhan hanya bisa ditetapkan dengan ru’yat (melihat hilal) tidak dengan yang lainnya, dengan mimpi contohnya, sebagaimana Al-’Iraqi telah menceritakan dalam Tharhit Tatsrib bahwa Al-Qadi Husain –ahli fiqih madzhab Asy-Syafi’i– datang kepadanya seorang laki-laki sambil berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata kepadaku, ‘Malam ini malam bulan Ramadhan (malam pertama),” maka Al-Qadi Husain berkata, “Sesungguhnya apa yang kamu lihat di mimpi itu, para sahabat melihatnya dengan mata kepalanya (bukan mimpi), dan dikatakan kepada mereka,
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ.
“Berpuasalah kamu bila melihatnya dan berhari rayalah kamu bila melihatnya.” (HR. Al-Bukhari Muslim).
Tidak diperbolehkan –menurut pendapat yang kuat– seseorang berpuasa di hari terakhir bulan Sya’ban dengan dalil jaga-jaga atau hati-hati agar tidak kebablasan. Adapun puasa-nya di hari tersebut karena faktor kebetulan saja di mana senantiasa berpuasa seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud (puasa selang sehari) maka hal tersebut tidak apa-apa, sebagaimana dikatakan dalam hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ.
“Tidak diperbolehkan salah seorang dari kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari, kecuali kalau dia harus berpuasa pada hari itu karena kebiasaannya, maka berpuasalah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua: Niat
Di dalam berpuasa diharuskan adanya niat, sebagaimana diriwayatkan Ashabus Sunan dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih dari Hafsah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ.
“Siapa yang tidak berniat puasa di malam harinya sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (HR. Ashabus Sunan, Ibnu Majah).
Adapun di dalam berpuasa sunnah tidak diwajibkan niat di malam harinya, boleh saja dia berniat di malam atau di siang harinya, umpamanya dia berniat setelah terbit matahari maka puasanya sah.
Dalam masalah berniat ini ada dua catatan penting:
Sebagian orang merasa terganggu atau bimbang dalam masalah niat. Perasaan seperti ini sangat membahayakan, kita lihat sebagian mereka merasa ragu-ragu dalam berniat puasa kemudian jadilah beban pikirannya, ini adalah bisikan iblis yang harus dihindari oleh orang yang berpuasa, karena bagi seorang muslim dengan masuknya bulan Ramadhan lantas ia berniat hendak berpuasa pada bulan Ramadhan semuanya, itu sudah cukup.
Bahwa malam yang dimaksud adalah mencakup semua waktu sampai terbit fajar, seandainya ada seseorang tidur, ia tidak tahu, bahwa malam itu malam Ramadhan, dan baru ia sadar setelah bangun beberapa menit sebelum terbit fajar, kemudian makan sahur apa adanya lalu berpuasa, hal tersebut cukup baginya, karena yang dimaksud dengan niat berpuasa bukan mesti dilakukan sebelum tidur, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh.
Ketiga, Sahur.
Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam menganjurkan sekali untuk sahur, sebagaimana dinyatakan dalam haditsnya yang shahih,
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً.
“Makan sahurlah kamu, karena sahur itu mengandung berkah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam shahih Muslim, dari Amr bin ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِكُمْ وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُرِ.
“Perbedaan antara puasa kita (muslim) dengan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim).
Jadi Yahudi dan Nashara mereka tidak sahur, maka untuk menyelisihi mereka, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam mengajarkan orang-orang mukmin makan sahur, oleh karenanya berupayalah sedapat mungkin sekalipun seteguk air.
Keempat, Berbuka.
Disunnahkan menyegerakan berbuka, dan mengakhirkan sahur, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam dalam hadits Muttafaq ‘Alaih,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ.
“Orang-orang akan senantiasa mendapat kebaikan selagi mereka segera berbuka.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Dalam hadits shahih yang lainnya dari Abbas dan yang lainnya dikatakan,
لاَ يَزَالُ أُمَّتِيْ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ وَأَخَّرُوا السَّحُوْرَ.
“Umatku senantiasa berada dalam kebajikan selama mereka menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.” (HR. Ahmad).
Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda, “Berfirman Allah Ta’ala,
أَحَبُّ عِبَادِيْ إِلَيَّ أَعْجَلُهُمْ فِطْرًا.
“Hambaku yang paling Aku cintai, orang yang segera berbuka.” (HR. Ibnu Majah dan At-Tirmizi).
Di dalam Shahih Muslim, bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha ditanya mengenai dua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam, salah satunya mengakhirkan berbuka dan mengakhirkan shalat, dan yang satu lagi menyegerakan berbuka dan shalat, sahabat manakah yang afdhal (ibadahnya)? Aisyah menjawab, “Orang yang menyegerakan berbuka dan shalatnya itulah yang afdhal.” (HR. Muslim).
Oleh karenanya, orang yang berpuasa hendaknya segera berbuka bila yakin matahari telah terbenam, dan hendaknya berbuka dengan ruthab (kurma basah), jika tidak ada maka dengan kurma, jika tidak ada berbukalah dengan beberapa teguk air, sebagaimana yang diriwayatkan dalam haditsnya yang sahih: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam berbuka puasa dengan beberapa ruthab (kurma basah), jika tidak mendapatkannya ia berbuka dengan beberapa kurma, jika tidak mendapatkannya ia berbuka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Daud, Ahmad, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi).
Dan disunnahkan di saat berbuka untuk berdoa,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.
“Hilanglah dahaga, urat-urat pun menjadi basah, dan pahala pun pasti insya Allah.”
Doa tersebut adalah doa yang paling shahih yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam tidak terdapat doa ifthar yang datang dari Nabi selain itu. Disunnahkan juga di saat ifthar untuk berdoa apa saja yang ia kehendaki baik kebaikan di dunia atau di akhirat kelak.
Kelima: Hal-hal yang membatalkan puasa
Makan, Minum dan Bersenggama
Jika orang yang berpuasa sengaja makan, minum serta bersenggama, tidak ada unsur keterpaksaan atau lupa, maka puasanya fasid (batal). Hal tersebut karena berdasarkan nash (teks) Al-Qur'an dan Ijma’ para ulama. Allah Ta’ala berfirman, “Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187).
Siapa yang makan dan minum di siang Ramadhan dengan sengaja ia harus segera bertaubat dan beristighfar, dan wajib mengqadha’nya (menggantinya) dan tidak ada kifarat baginya. Begitulah menurut pendapat yang kuat.
Adapun orang yang bersenggama pada siang hari di bulan Ramadhan, baginya ada empat hal:
Meneruskan puasanya, karena tidak termasuk berbuka yang masru’ (disyari’atkan).
Harus bertaubat dan berinabah (kembali) kepada Allah, karena termasuk dosa besar.
Harus mengqadha’nya (menggantinya) di hari-hari yang lain.
Harus membayar kifarat (tebusan) yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika tidak ada, berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu, maka memberi makan 60 orang miskin, jika masih tidak mampu, tidak ada kifarat baginya.
Sengaja Muntah
Maksudnya seseorang sengaja mengeluarkan makanan atau minuman dari dalam perutnya, dengan memasukkan jari ke mulutnya, atau mencium sesuatu yang membuat dia mual-mual atau dengan cara lain. Maka jika ia lakukan seperti ini fasad (batal) lah puasanya dan wajib mengqadha’nya.
Adapun muntahnya bukan karena faktor keinginan dirinya atau sengaja, maka puasanya sah dan tidak harus mengqadha’nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,
مَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ.
“Siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha’, dan siapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha baginya.” (HR. Abu Daud, dan Imam At-Tirmidzi).
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam kitabnya “Haqiqatus Shaum” hadits tersebut hadits shahih.
Haidh dan Nifas
Maksudnya apabila seorang wanita mendapati darah haidh dan nifas, batallah puasanya, berdasarkan ijma’, diriwayatkan dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ.
“Kami pernah mengalami hal tersebut, kemudian kami diperintahkan (Rasul shallallahu ‘alaihui wasallam) untuk mengqadha’ puasa, dan tidak diperintahkan mengqadha’ shalat.” (HR. Muslim dan Imam Turmizi).
Demikianlah yang masyhur (populer) hal-hal yang membatalkan puasa. Termasuk dalam hal ini makna yang terkait dengan point di muka, seperti suntikan yang mengenyangkan yang membuat dirinya tidak butuh makan dan minum, hal ini membatalkan puasa, dikarenakan termasuk pada makna (nilai) makan dan minum, begitu juga istimna (onani) karena termasuk pada makna jima’, dan sebagainya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan