29 Zulkaedah 1432H. [MOD] -
Sesungguhnya, wajib atas setiap muslim mengimani segala yang diberitakan di dalam Al-Qur’an.
Termasuk dalam hal ini, kisah dua putra Adam Alaihissalam yang dikisahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’anul Karim. Kisah ini menjelaskan betapa buruknya akibat kedengkian, kezaliman, dan kejahatan serta permusuhan dalam kisah dua putra Adam tersebut, baik pemberian nama mereka itu shahih atau tidak.[1]
Baik disebabkan perebutan calon istri, sebagaimana dinukil sebagian ulama, ataukah sebab lainnya. Yang jelas, tujuannya adalah kita memahami sebab dan akibat yang sama berikut hukum yang diberlakukan di balik kisah tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.
Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah (Habil). Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya.
Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.” (Al-Maidah: 27-31)
Itulah kisah yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an. Kisah yang pasti mengandung pelajaran. Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam ayat yang lain:
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat.” (Yusuf: 111)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya.” (Al-Maidah: 27)
Dalam ayat-ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Ceritakanlah –wahai Rasul– kepada Bani Israil, cerita tentang dua putra Adam ‘alaihissalam, secara utuh, tidak menambah atau menguranginya.”
Ceritakanlah agar orang yang mau mengambil pelajaran dapat memetik faedahnya, dengan penuh kejujuran, tanpa kedustaan, sungguh-sungguh, dan bukan main-main.
Adam dan Hawwa turun ke dunia
Adam ‘alaihissalam sudah turun ke bumi. Hawwa pun demikian. Iblis tak ketinggalan, dia diusir dan diturunkan ke dunia disertai laknat hingga hari pembalasan.
Para ulama berbeda pendapat tentang di mana Adam dan Hawwa diturunkan. Ada yang mengatakan bahwa Adam diturunkan di India, sedangkan Hawwa di Jeddah. Ada pula yang berpendapat Adam turun di Shafa, sedangkan Hawwa di Marwah.
Yang jelas, mereka semua diturunkan ke dunia ini. Wallahu a’lam.
Adam dan Hawwa mulai merasakan pahit getir yang belum pernah mereka dapatkan di dalam jannah. Beberapa waktu kemudian Hawwa mulai mengandung dan tak lama dia pun melahirkan anaknya. Kemudian lahir pula putra mereka berikutnya.
Anak-anak tersebut tumbuh dewasa di bawah pengawasan kedua orangtua mereka. Mulailah mereka berusaha mengolah bumi ini, mencari rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setan yang telah bersumpah untuk menghancurkan manusia dan menyeret mereka agar menyertainya di dalam neraka, tidak pernah berhenti mencari jalan untuk menyesatkan mereka. Akhirnya dia melihat kesempatan tersebut.
Ketika dua anak tersebut sudah tumbuh dewasa dan masing-masing mempunyai usaha untuk penghidupannya, mereka diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian harta mereka sebagai korban untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Qabil yang bekerja sebagai petani, memilih harta yang akan dikorbankannya dari hasil panen sawah ladangnya. Dia pun mengambil buah atau tanaman yang buruk sebagai korbannya. Sedangkan Habil, bekerja sebagai penggembala ternak. Dia memilih untuk korbannya salah satu ternaknya yang terbaik, paling gemuk dan sehat.
Dalam syariat umat terdahulu, tanda diterimanya suatu korban adalah dengan turunnya api membakar korban tersebut.
Hari berikutnya, terlihatlah bahwa hasil panen yang dipersembahkan Qabil masih utuh di tempatnya. Sedangkan ternak gemuk yang dikorbankan Habil tidak ada lagi, tanda bahwa korbannya diterima. Kenyataan ini menumbuhkan kedengkian dalam diri Qabil, dia berkata (sebagaimana dalam ayat):
“Aku pasti membunuhmu!”
Habil berkata kepadanya (seperti dalam ayat):
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.’ Apa dosa dan kesalahanku hingga harus kau bunuh? Tidak lain karena aku bertakwa kepada Allah, yang takwa itu wajib atasku, atasmu, dan atas setiap orang.”
Qabil tetap meradang dan ingin membunuh Habil. Sementara Habil, tidak ada ucapan lain selain mengingatkannya:
“Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu.”
Yakni, seandainya engkau memulai untuk membunuhku, maka aku tidak akan memulainya. Aku pun tidak akan membalas seperti yang engkau lakukan. Tapi aku hanya mengingatkan engkau kepada Allah Rabb semesta alam.
Artinya, dia tidak ingin membela dirinya[2] bila dibunuh oleh saudaranya. Meskipun dia lebih kuat dan mampu mengalahkan saudaranya. Lalu Habil menerangkan apa sebabnya dia tidak ingin membalas (sebagaimana ayat):
“Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta alam.”
Itulah alasan mengapa dia tidak ingin membalas. Orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan berani berbuat dosa, terlebih dosa-dosa besar.
Namun Qabil tidak bergeming mendengar nasihat tersebut. Dia tetap pada keinginannya membunuh Habil.
Maka Habil beralih menakut-nakutinya dengan azab Allah Subhanahu wa Ta’ala, memberikan targhib dan tarhib. Habil berkata kepada Qabil (sebagaimana dalam ayat):
“Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali membawa dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.”
Artinya, aku ingin agar kamu kembali kepada Rabb kita pada hari kiamat dengan dosa pembunuhan yang kau lakukan terhadapku dan dosa yang kau bawa selama hidupmu, sehingga dengan sebab itu engkau menjadi penghuni neraka, kekal di dalamnya. Na’udzubillahi min dzalik.
Namun, targhib dan tarhib ini pun tidak berguna bagi Qabil. Sebab, setan telah menguasai dan memenuhi hatinya dengan hasad dan dendam kepada saudaranya. Akhirnya:
“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap remeh membunuh saudaranya.”
Hawa nafsunya membangkitkan keberaniannya, bahkan membuatnya memandang indah sehingga dia pun membunuhnya.
“Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”
Dia menyesal karena tidak tahu apa yang harus diperbuatnya terhadap mayat saudaranya.
Itulah kejahatan pertama dalam sejarah peradaban manusia. Pemicunya adalah hasad. Jadi, hasad adalah kemaksiatan pertama yang dengan itu Allah Subhanahu wa Ta’ala didurhakai di muka bumi.
Inilah salah satu pangkal terjadinya kekafiran di muka bumi.
Kisah ini menunjukkan pula kepada kita bahwa setiap orang yang memperoleh nikmat tentu akan menjadi sasaran kedengkian dari orang yang bersifat dengki.
Seperti diungkapkan:
“Dan jika Allah ingin tersebarnya keutamaan yang tergulung
Dia bentangkan untuknya lisan orang yang dengki
Kalau bukan karena nyala api pada apa yang di dekatnya
Niscaya tak akan dikenal harumnya kayu gaharu”
Orang yang dengki itu, tidak ridha dengan qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala serta pembagian-Nya.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu menasihatkan: ”Wahai Bani Adam (manusia), mengapa engkau mendengki saudaramu? Kalau sesuatu yang diberikan kepadanya itu adalah kemuliaan baginya, maka mengapa engkau dengki kepada orang yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan kalau bukan, maka untuk apa engkau dengki kepada orang yang tempat kembalinya adalah neraka?”[3]
Orang yang dengki adalah musuh bagi kenikmatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan.
‘Aun bin ‘Abdillah memberi nasihat kepada Al-Fadhl bin Al-Muhallab yang saat itu menjadi gubernur Wasith: ”Hati-hatilah, jauhilah olehmu sifat dengki. Karena yang mendorong anak Adam membunuh saudaranya adalah ketika dia dijangkiti rasa dengki kepada saudaranya.”
Iri dan dengki adalah kezaliman. Karena dia mengharapkan hilangnya nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada seseorang.
Dengki[4] ini asalnya diharamkan, kecuali pada dua tempat, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak boleh dengki kecuali pada dua hal; seseorang yang Allah beri harta lalu dipakai untuk dihabiskan di jalan al-haq; dan seseorang yang diberi Allah hikmah lalu dia memutuskan dengan hikmah itu dan mengajarkannya.”[5]
Dengki adalah penyakit berbahaya yang pernah menjangkiti bangsa manusia sebelum kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Telah datang dan menyebar kepada kamu penyakit umat manusia sebelum kamu; (yaitu) dengki dan kebencian; yang ini merupakan pencukur. Saya tidak katakan dia mencukur rambut, tetapi mencukur agama.”[6]
Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan bahwa rukun kekafiran ada empat, yaitu:
– Kibr (sombong, merasa besar)
– Hasad (iri, dengki)
– Marah
– Syahwat[7]
Kibr ini, didefinisikan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Kibr (sombong) artinya ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Bersemayamnya sifat ini di dalam diri seorang manusia akan menjadi penghalang baginya untuk tunduk.
Adapun hasad yang artinya adalah keinginan agar lenyapnya kenikmatan yang diperoleh orang lain, walaupun dia sendiri tidak memperolehnya. Sifat ini akan menghalangi pemiliknya untuk menerima dan memberi nasihat.
Rasa marah akan menghalangi pemiliknya dari sifat adil dan tawadhu’.
Sedangkan syahwat akan menghalangi pemiliknya dari ibadah.
Maka, apabila kesombongan itu runtuh, mudahlah bagi seseorang untuk tunduk. Jika sifat hasad ini lenyap niscaya mudahlah baginya menerima dan memberi nasihat. Kemudian, apabila rasa marah ini runtuh, mudahlah dia bersikap adil dan rendah hati (tawadhu’).
Jika rukun syahwat ini juga runtuh maka mudahlah baginya untuk bersabar, memiliki sifat ‘iffah (menjaga kehormatan dirinya), lebur dalam ibadah.
Hancur leburnya gunung-gunung dari tempatnya, lebih mudah dibandingkan lenyapnya keempat pilar ini dari mereka yang diuji dengannya. Terlebih lagi jika keempatnya telah menjadi watak atau kepribadian yang melekat dan kokoh.
Karena tidak akan mungkin lurus suatu amal dikerjakan jika keempat hal ini bersemayam dalam hati seseorang. Jiwa tidak akan menjadi suci dengan kekalnya keempat pilar ini.
Semakin dia bersungguh-sungguh (ijtihad) dalam beramal, maka keempat rukun ini justru merusak amalan tersebut.
Bahkan seluruh kerusakan dan kekurangan itu terlahir dari keempat perkara ini. Maka apabila keempatnya semakin kokoh tertanam di dalam hati niscaya dia akan memperlihatkan kebatilan sebagai suatu kebenaran, yang benar sebagai suatu kebatilan, yang ma’ruf dalam bentuk kemungkaran, dan kemungkaran sebagai suatu yang ma’ruf. Dunia memang semakin dekat kepadanya, tetapi akhirat semakin jauh darinya.
Keempat rukun ini muncul dari kebodohan pemiliknya tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala (Rabbnya), dan tentang keadaan dirinya. Sebab, kalau dia mengenal Rabbnya, melalui sifat-sifat dan keadaan-keadaan-Nya Yang Maha Sempurna dan Maha Mulia, mengenal pula keadaan dirinya yang penuh kekurangan, niscaya dia tidak akan merasa besar (sombong, takabbur), marah dan tidak dengki kepada siapapun terhadap apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya.
Karena kedengkian itu hakikatnya merupakan salah satu bentuk permusuhan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena pelakunya tidak senang dengan nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala tercurah kepada hamba-Nya padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintainya. Lalu dia ingin nikmat itu lenyap dari orang tersebut, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai hal itu. Ini berarti dia menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam qadha dan qadar-Nya, cinta dan benci-Nya.
Karena itulah, hakikatnya iblis menjadi musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab, dosa yang dilakukannya berangkat dari sifat kibr dan hasad.
Maka untuk menumpas kedua sifat ini, adalah dengan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentauhidkan-Nya, ridha kepada-Nya, dan senantiasa kembali kepada-Nya. Sedangkan rasa marah, dicabut dengan mengenal keadaan jiwa kita sendiri, bahwasanya dia tidak pantas serta tidak berhak marah dan membalas karena pribadi.
Karena hal itu berarti dia mementingkan dirinya daripada Penciptanya. Sedangkan cara paling ampuh memperbaiki hal ini adalah dengan mengembalikannya untuk merasa marah dan ridha karena Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Adapun syahwat, obatnya adalah lurusnya ilmu dan ma’rifat. Setiap kali dia membuka pintu syahwat ini, semakin terhalanglah dia dari ilmu dan ma’rifat tersebut.
Terakhir, rasa marah. Seperti binatang buas, jika pemiliknya melepasnya, niscaya dia akan menerkam pemiliknya. Syahwat itu seperti api yang dinyalakan pemiliknya lalu membakar segalanya. Sedangkan kesombongan (kibr) seperti pemberontak yang menggulingkan seorang raja dari kekuasaannya.
Kalau dia tidak membinasakanmu, maka dia tentu mengusirmu dari dekatnya. Dan hasad, seperti permusuhan yang kita lancarkan kepada orang yang lebih kuat dan berkuasa daripada kita.
Orang yang mampu mengalahkan syahwat dan rasa marahnya, niscaya setan pun takut mendekati bayangan orang tersebut. Sebaliknya, orang yang dikalahkan oleh syahwat dan rasa marahnya, maka dia justru takut kepada bayangan khayalnya sendiri.
Demikian uraian Ibnul Qayyim rahimahullahu.
Adapun Qabil, semakin panik. Tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap mayat saudaranya. Akhirnya dia memikul jenazah itu beberapa hari sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala kirim dua ekor gagak, lalu salah satunya mengorek tanah untuk menutupi bangkai gagak lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, apakah aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu, jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.”
Di dalam kisah ini terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil, di antaranya:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan siapa yang melakukan satu sunnah yang buruk lalu diamalkan (orang lain) sepeninggalnya, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah itu sepeninggalnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”[8]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Tidak ada satu pun jiwa yang terbunuh secara zalim melainkan atas Ibnu Adam yang pertama bagian dari darahnya. Karena dialah yang mula-mula melakukan sunnah (tuntunan/ contoh)pembunuhan.”[9]
Karena itu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah: 32)
2. Kejinya tindak pembunuhan dan betapa besar hukumannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93)
Di dalam hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh, lenyapnya dunia ini lebih ringan atas Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.”[10]
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan dunia ini untuknya agar dia melintasinya menuju kampung akhirat dan menjadikan dunia ini sebagai ladang. Sehingga, siapa yang melenyapkan orang yang dunia ini diciptakan untuknya, berarti dia sedang berusaha untuk melenyapkan dunia.
Di dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada satu dosa yang lebih pantas disegerakan Allah hukumannya di dunia bersamaan dengan apa yang Allah persiapkan untuk pelakunya di akhirat, daripada kezaliman dan memutuskan silaturrahmi.”[11]
Sementara kedua dosa ini dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Dia melakukan kezaliman dengan membunuh Habil saudara kandungnya serta memutuskan silaturrahmi.
3. Hasad (dengki) itu sudah ada dalam di dalam diri manusia.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu mengatakan: ”Tidak ada satu jasad pun melainkan ada hasad di dalamnya.” Akan tetapi orang yang beriman tentu berusaha menjauhinya, karena yakin akan kejelekannya.
Alangkah tepat ungkapan ini:
“Ingatlah, katakan kepada yang bermalam dalam keadaan hasad kepadaku
Tahukah engkau kepada siapa sesungguhnya engkau berbuat kejelekan?
Engkau berbuat jelek kepada Allah Subhanahu
Karena sesungguhnya engkau tidak ridha terhadap apa yang diberikan-Nya kepadaku”
Memang, karena hal itu menunjukkan dia menentang qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala, menyia-nyiakan dirinya serta benci kepada karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikannya kepada seseorang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (An-Nisa’: 54)
4. Adanya cobaan di antara sesama saudara jika yang satu dilebihkan dari yang lain.
Inilah yang menjadi salah satu penyebab kedengkian. Sebab lainnya di antaranya hidup berdampingan, bertetangga, persaingan, berdampingan dalam segala hal.
Seorang pedagang kaki lima dengan pedagang lainnya. Salah satu dari mereka dengki kepada lainnya. Begitu pula wanita-wanita yang dimadu, dengki kepada madunya, kecuali mereka yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian cinta kedudukan, jabatan tinggi yang diperebutkan oleh mereka yang berlomba meraihnya. Masing-masing dengki kepada saingannya sehingga saingannya tidak berhasil menduduki jabatan tersebut. Kedengkian inilah yang menjadi sebab kenifaqan ‘Abdullah bin Ubai bin Salul.
Oleh karena itu, wajib atas setiap orang yang dihinggapi penyakit ini bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berlindung kepada-Nya ketika hawa nafsunya mendorongnya untuk berbuat keji terhadap orang yang dihasadinya. Bahkan dianjurkan untuk dia banyak melakukan kebaikan terhadap orang yang dihasadinya.
Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari penyakit yang berbahaya ini. Membersihkan hati kita dari semua kekotorannya sehingga kita bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala betul-betul dalam keadaan membawa hati yang selamat.
Wallahul Muwaffiq.
Footnote:
1 Penamaan Habil dan Qabil bagi kedua putra Adam ini, berasal dari nukilan para ulama dari Ahli Kitab, dan tidak ada satu pun nash Al-Qur’an menerangkannya, demikian pula sunnah yang tsabit (shahih). Sehingga kita tidak bisa memastikannya begitu saja. Lihat ‘Umdatut Tafsir Syaikh Ahmad Syakir (4/123).
Tetapi untuk sekadar memudahkan kita memahami alur cerita, kita sebut juga kedua nama tersebut, semoga dimaklumi.
2 Al-Qurthubi mengatakan: “Ulama kita menyatakan bahwa dalam syariat kita dibolehkan untuk membela diri, secara ijma’. Namun tentang wajib atau tidaknya, ada perbedaan pendapat. Yang benar adalah wajib membela diri, karena di dalamnya terkandung nahi munkar (melarang dari kemungkaran).” (ed)
3 Lihat Al-Lubab fi ‘Ulumil Kitab 7/282.
4 Dalam masalah ini, diistilahkan oleh ulama dengan ghibthah.
5 HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
6 HR. At-Tirmidzi dan lainnya, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Al-Irwa’ (2/290).
7 Lihat Al-Fawaid (hal. 174-176), dengan sedikit perubahan.
8 HR. Muslim
9 HR. Al-Bukhari (2/79) dan Muslim (3/1303).
10 HR. At-Tirmidzi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5077.
11 HR. At-Tirmidzi dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5704.
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=887