Email Oleh : Sirajuddin Abbas
Oleh: Muhammad Asrul Pattimahu
Pengantar
Dalam sejarah pemikiran Islam, filsafat digunakan dalam berbagai kepentingan. Para teolog rasional (mtakallimûn) menggunakan filsafat untuk membela iman khususnya dari para cendekiawan Yahudi dan Kristiani, yang saat itu sudah lebih maju secara intelektual. Sedangkan para filosof mencoba membuktikan bahwa kesimpulan-kesimpul an filsafat yang diambil dari gagasan filsafat Yunani tidak bertentangan dengan iman.[2] Para filosof berusaha memadukan ketegangan antara dasar-dasar keagamaan Islam (Syari’ah) dengan filsafat, atau antara akal dengan wahyu.
Sebagaimana tertera pada berbagai literatur bahwa filsafat yang berkembang dalam dunia Islam merupakan warisan dari filsafat Yunani. Para filosof Muslim banyak mengambil pemikiran Aristoteles, Plato, maupun Plotinus, sehingga banyak teori-teori filosof Yunani diambil oleh filosof Muslim.
Pengaruh filsafat Yunani inilah yang menjadi pangkal kontrafersi sekitar masalah filsafat dalam Islam. Sejauh mana Islam mengizinkan masukan dari luar, khususnya jika datang dari kalangan yang bukan saja Ahl al-kitab seperti Yahudi dan Kristen, tetapi juga dari orang-orang Yunani yang “pagan” atau musyrik (penyembah bintang). Inilah yang membuat Ibn Taymiyyah dan Jalal al-Din al-Suyuthi menunjuk kemusyrikan orang-orang Yahudi sebagai alasan keberatan mereka kepada filsafat.[3]
Harus ditegaskan bahwa para filosof Muslim secara umum hidup dalam suasana dan lingkungan yang berbeda dengan filosof-filosof lain, dengan demikian pengaruh lingkungan – agama terhadap jalan pikiran filosof Muslim – tidak bisa terabaikan, sehingga dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.[4]
Perkembangan filsafat dalam Islam juga merupakan buah dari dorongan ajaran al-Qur’an dan hadis, sehingga nuansa berfilsafat para filosof Muslim sangat bermuatan religius, namun tetap tidak mengabaikan masalah kefilsafatan. Kedudukan akal yang tinggi dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut bertemu dengan peranan akal yang besar dan ilmu pengetahuan yang berkembang maju dalam peradaban umat lain.[5]
Dengan demikian filsafat Islam dalam perkembangannya menjadi lebih mandiri dalam berfikir tentang sesuatu, ia dapat berkembang dengan subur, memiliki ciri khas dan tidak bertentangan dengan ajaran-ajara pokok Islam, walaupun secara umum disadari pula bahwa kebanyakan obyek pembahasannya sama, yaitu soal Tuhan, manusia (mikro kosmos), dan alam (makro kosmos).
B. Timbulnya Pemikiran Filosofis dalam Islam
Bagi orang Arab, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran, selama bisa dipahami oleh pemikiran manusia. Nuansa filsafat mereka berakar dari tradisi filsafat Yunani yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan dengan nilai-nilai Islam.[6] Harus ditegaskan bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dalam Islam adalah ajaran Islam sendiri sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah nabi. Meskipun filsafat memiliki dasar yang kokoh dalam sumber ajaran Islam, namun ia banyak mengandung unsur Hellenisme atau alam pemikiran Yunani.[7]
Filsafat dalam Islam lebih jauh muncul sebagai hasil interkasi intelektual antara bangsa Arab Muslim dengan bangsa-bangsa di sekitarnnya, terutama dengan bangsa-bangsa disebelah utara Jazirah Arab, yakni, Syria, Mesir dan Persia. Interkasi ini terjadi setelah adanya penaklukan (pembebasan/al-futuhat) terhadap daerah-daerah tersebut.[8] Persentuhan antara dunia Islam dengan budaya Yunani bermula ketika bangsa Arab Muslim bergerak menaklukan daerah Bulan Sabit Subur. Khazanah intelektual Yunani yang didapatkan merupakan harta yang tak ternilai harganya.
Berkat politik keagamaan penguasa Mulsim berdasarkan konsep toleransi keIslamannya, umat Islam menyimpan rasa dekat atau afinitas tertentu terhadap daerah-daerah yang mereka kuasai, yang melahirkan sikap toleran, simpatik dan akomodatif terhadap mereka dan pikiran-pikiran mereka. Toleransi dan keterbukaan orang-orang Islam tersebut mendasari adanya interaksi intelektual yang positif diantara mereka.
Memang kenyataannya bahwa ketika melakukan penaklukan, orang-orang Arab Muslim ketika itu belum memiliki tradisi belajar yang dapat diwariskan kepada negeri-negeri setelah dikuasai, sehingga mereka lebih banyak menjadi murid dari orang-orang yang mereka kuasai sendiri. Bahkan menurut Philip Hitti, orang-orang Arab Muslim tersebut tercatat sebagai orang yang sangat rakus akan ilmu.[9] Motifasi mendapat ilmu tersebut merupakan bagian dari proses interaksi yang terjalin antara Muslim Arab dengan daerah-daerah taklukannya.
Gerakan Penerjemahan
Hasil dari interaksi antara bangsa Arab Muslim dengan daerah-daerah yang ditaklukan itu adalah – seperti yang dikatakan Halkin berikut ini:
… Adalah jasa orang-orang Arab bahwa sekalipun mereka itu para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukan dengan sikap menghina. Kekayaan budaya-budaya Syria, Persia, dan Hindu mereka salin ke bahasa Arab segera setelah diketemukan. Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu yang bukan-Islam yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab….[10]
Namun sebelum proses terjemahan berbagai literatur kedalam bahasa Arab dilakukan, diperbatasan Persia kajian ilmiah tentang tata bahasa Arab telah dimulai terutama oleh para muallaf[11], hal ini dapat dimaklumi untuk memenuhi kebutuhan bahasa para pemeluk Islam baru agar dapat berinterkasi dengan para penakluk dan penguasa Islam yang memang saat itu telah menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Nasionalnya. Kajian tata bahasa Arab juga menjadi sebuah kenicayaan untuk mempelajari dan memahami al-Qur’an yang notabenenya berbahasa Arab.
Faktor lain yang sekaligus menjadi faktor utama bagi timbulnya gerakan pemikiran filsafat dalam Islam adalah membanjirnya proses terjemahan berbagai literatur kedalam bahasa Arab. Diantara literatur yang diterjemahkan tersebut adalah buku-buku India, Iran, dan buku Suriani-Ibrani, terutama sekali buku-buku Yunani.[12] Pada pusat-pusat kebudayaan seperti Syria, Mesir, Persia, juga Mesopotamia, pemikiran filsafat Yunani diketemukan oleh kaum Muslimin. Namun kota Baghdad yang menjadi pusat kekuasaan dinasti Abbasiyah menjadi jalur utama masuknya filsafat Yunani kedalam Islam, dan disinilah timbul gerakan penerjemahan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab.[13]
Penerjemahan literatur kedalam bahasa Arab sebenarnya telah dilakukan semenjak dinasti Umayyah yang disponsori oleh Khalid Ibn Yazid dan Umar Ibn Abd. Aziz, namun kegiatan itu hanya untuk kepentingan yang sangat terbatas, yakni yang berhubungan langsung dengan kehidupan praktis, seperti buku-buku kimia dan kedokteran.[14]
Barulah setelah kekhalifaan beralih ke dinasti Abbasiyyah, tepatnya pada khalifah kedua Abasiyyah al-Mansur (754-775 M), proses penerjemahan semakin berkembang dengan pesat. Kegiatan penerjemahan pada masa al-Mansur tersebut seperti ditulis Ahmad Daudy berikut ini:
Khalifah al-Mansur, khalifah Abbasiyyah kedua, adalah seorang khalifah yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, terutama ilmu bintang, sehingga ia menyuruh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazazi (ahli ilmu falak pertama dalam Islam) untuk menerjemahkan Sindahind, buku ilmu falak dari India, kedalam bahasa Arab. Juga beberapa buku lain tentang ilmu hitung dan angka-angka India disuruh salin ke dalam bahasa ini. Dari bahasa Persia diterjemahkan kitab Kalilah wa Dimnah yang terkenal itu, dan juga buku-buku yang berasal dari Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Suryani….[15]
Pasca al-Mansur, aktifitas penerjemahan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya yaitu Harun al-Rasyid (786-809 M) dan mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Ma’mun (813-833 M). Bahkan dikatakan bahwa titik paling klimas dari pengaruh logika berfikir Yunani kedalam dunia pemikiran Islam terjadi pada masa khalifah al-Ma’mun. seperti di katakana Philip Hitti berikut ini;
Titik tertinggi pengaruh Yunani terjadi pada masa al-Ma’mun. kecederungan rasionalistik khalifah dan para pendukungnya dari kelompok Muktazilah, yang menyatakan bahwa teks-teks keagamaan harus bersesuaian dengan nalar manusia, mendorongnya untuk mencari pembenaran bagi pendapatnya itu dalam karya-karya filsafat Yunani…. Sejalan dengan kebijakan yang ia ambil, pada 830 di Baghdad al-Ma’mun membangun Bayt al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) , sebuah perpustakan, akademi, sekaligus biro penerjemahan, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya musium Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M. Dimulai pada masa al-Ma’mun, dan berlanjut pada masa penerusnya, aktivitas intelektual berpusat di akdemi yang baru didirikan itu….[16]
Demikianlah pada masa al-Ma’mun yang dikenal dengan masa keemasan bagi kegiatan penerjemahan, meskipun hal itu bersifat intrinsik berkaitan dengan kepribadiannya yang antusias kepada ilmu pengetahuan, namun membawa dampak positif yang sangat luas dalam pengembangan intelektual di dunia Islam secara umum. Akademi Bayt al-Hikmah yang dibangun tidak hanya menjadi pusat kegiatan penerjemahan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan filsafat, sains dan ilmu-ilmu lainnya.
Setelah khalifah al-Ma’mun, kegiatan penerjemahan terus dilakukan, namun tidak lagi menjadi urusan khalifah, tetapi lebih menjadi usaha pribadi oleh orang-orang yang gemar dalam hal ilmu pengetahuan. Menjelang abad kesepuluh, kegiatan penerjemahan semakin matang, bahkan naskah-naskah yang diterjemahkan itu telah diberikan beberapa catatan dan komentar.[17]
Berkat adanya usaha-usaha penerjemahan tersebut, umat Islam telah mampu mewarisi tradisi intelektual dari tiga jenis kebudayaan yang sangat maju, yakni Yunani, Persia, dan India. Warisan intelektual tersebut dimanfaatkan dalam membangun suatu kebudayaan ilmu pengetahuan yang lebih maju, seperti yang kelihatan dalam berbagai bidang ilmu dan mazhab filsafat pemikiran Islam.
Membanjirnya berbagai kegiatan penerjemahan pada abad ke-9 tersebut, menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah terdapat masyarakat pembaca Arab yang sangat aktif.[18] Fermentasi intelektual masyarakat Islam itu didorong oleh kebutuhan untuk melengkapi Islam dengan perangkat intelektual yang sudah dimiliki oleh agama-agama non-Muslim sebelumnya. Para intlektual Islam tidak hanya menguasai filsafat dan sains tapi juga mampu mengembangkan dan menambahkan hasil observasi mereka kedalam sains, dan lapangan filsafat.
Dengan semakin meluasnya kegiatan ilmiah, pengetahuan semakin maju dan berkembang, mentalitas ilmu semakin terbina dan metode pemikiran semakin terbentuk. Ini semua terecermin dalam kebudayaan intelektual yang lahir sebagai hasil usaha umat Islam dalam suatu kesatuan sinkritis yang dikemudian hari (baca; zaman sekarang) disebut dengan “falsafah atau filsafat Islam”.
C. Lahirnya Filosof Muslim Pertama (Al-Kindi)
Orang yang dipandang sebagai seorang filosof Islam pertama adalah Al-Kindi. Ia juga dikenal sebagai filosof Arab pertama, karena ia adalah satu-satunya filosof Islam pertama yang berasal dari keturunan Arab asli.
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Ash-Shabah bin Imran bin Ismail bin Al-Asy’ats bin Qays Al-Kindi[19] dan berkahir pada Ya’kub bin Qahthan.[20][21] Tahun wafatnya terdapat banyak fersi, Philip Khitti, mengatakan ia meninggal di Baghdad pada tahun 873 M (257 H).[22] Tentu kita tidak akan terlalu berpolemik secara panjang lebar mengenai tahun wafat Al-Kindi, namun bukan berarti tidak penting, sebab mengetahui riwat seorang tokoh juga sangat penting untuk mengetahui dan menganalisis lebih jauh pemikirannya secara kontekstual. Al-Kindi dilahirkan di Kuffah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya dan terhormat.
Memperhatikan tahun kelahirannya, dapat dikatakan bahwa Al-Kindi hidup pada masa keemasan dinasti Abbasiyah. Ayahnya Ishaq, pernah menjabat sebagai gubernur Kuffah pada masa pemerintahan al-Mahdi dan Al-Rasyid.[23] Selama kehidupannya ia merasakan lima pemerintahan khalifah Abbasiyah, Al-Amin (809-813 M), Al-Ma’mun (813-833 M), Al-Mu’tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[24]
Mengenai siapa guru Al-Kindi dan juga riwayat pendidikannya sejak kecil, tidak diketahui dengan jelas. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ia pernah tinggal di Basrah dan belajar di Baghdad. Ia juga dianggap sebagai keturunan raja sehingga mempermudahnya untuk bekerja di istana Baghdad. Ia dikenal sebagai orang yang cerdas dan berpengetahuan luas. Karena kecerdasannya ia memperoleh kedudukan yang terhormat oleh penguasa. Bahkan ia diangkat sebagai guru istana oleh khalifah al-Mu’tasim dan menjadi guru pribadi bagi anaknya Ahmad bin Mu’tasim.[25]
Al-Kindi belajar sesuai dengan kurikulum yang ada pada masanya, ia belajar al-Qur’an, memaca, menulis, dan berhitung. Ia sangat mahir dalam berbagai macam ilmu, seperti kedokteran, filsafat, ilmu hitung, logika (mantiq), geometri, astronomi. Salah satu kelebihannya ialah, ia menguasai bahasa Suryani, sehingga buku-buku Yunani yang diterjemahkan kedalam bahasa Suryani, kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Arab olehnya. Karir intelektual Al-Kindi menanjak setelah ia diangkat untuk bekerja sebagai guru di istana kekhalifaan sebagaimana yang dijelaskan diatas, juga karena kesesuaian pahamnya dengan penguasa – khalifah Al-Mu’tasim – yang menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara.
Karena kesesuaian pemahaman tersebut membuat Al-Mu’tasim mengajak Al-Kindi untuk bergabung dengan para cendekiawan dalam kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani. Al-Kindi juga menulis risalah tentang keadilan, kemahaesaan Tuhan, dan perbuatan Tuhan, bahkan ia juga ikut membantah paham-paham yang bertentangan dengan maszhab Negara berdasarkan pemikirannya.[26]
Meskipun Al-Kindi mendapatkan kedudukan yang terhormat dalam istana karena kecerdasan yang dimilikinya, ia juga tak lepas dari pengalaman pahit yang umumnya menimpa para pemikir Islam terdahulu.
Ketika khalifah Al-Mutawakkil berkuasa dan menggantikan mazhab Negara dari Mu’tazilah ke Ahlusunnah wal-Jama’ah, kondisi isi dipolitisasi oleh kelompok tertentu yang berpegang secara ketat oleh doktrin tersebut untuk memojokkan Al-Kindi. Atas hasutan Muhammad dan Ahmad – mereka mengatakan bahwa orang yang berfilsafat menjadi kurang hormat pada agama – Al-Mutawakkil memerintahkan untuk mendera Al-Kindi, dan perpustakaan Al-Kindiyah disita, meskipun pada akhirya dikembalikan lagi kepadanya.[27]
Karena penguasaannya terhadap berbagai disiplin ilmu tersebut (sebagaimana disebutkan diatas), sehingga sangat wajar kalau Al-Kindi ditempatkan sebagai orang Islam pertama yang berkembangsaan Arab dalam jajaran para filosof terkemuka. Karena itu pulalah, maka Al-Kindi dinilai pantas menyandang gelar filosof berkebangsaan Arab (Failasuf al-Arab) pertama.
D. Pemikiran Al-Kindi
1. Rekonsilasi Agama dengan Filsafat
Masalah hubungan filsafat dan agama merupakan diskursus yang sangat ramai diperbincangkan pada zaman Al-Kindi. Ulama-ulama ortodoks umumnya menolak keabsahan taori-teori filsafat, karena produk pemikiran filsafat melahirkan pertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Dalam kondisi inilah Al-Kindi muncul dan memposisikan diri sebagai pembela filsafat dari serangan pihak yang tidak setuju. Ia muncul dengan gagasan kesamaan kebenaran antara filsafat dengan agama, sehingga menurutnya tidak perlu dipertentangkan, karena pada keduanya membawa kebenaran yang sama.
Ilmu filsafat – kata Al-Kindi - adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu yang dipelajari orang menurut kadar kemampuannya, yang mencakup ilmu ke-Tuhan-an (rububiyyah), ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah), dan semua ilmu-ilmu yang bermanfaat.[28] Dari pembagian tersebut yang paling penting dan tinggi derajatnya adalah ilmu ke-Tuhan-an yag disebutnya sebagai filsafat pertama (al-falsafah al-‘ula), karena filsafat pertama merupakan ilmu yang membahas tentang kebenaran pertama (ilmu ‘l-haqqi’ l-awwal) yang merupakan sebab bagi semua kebenaran. Dalam pandangan itulah Al-Kindi mengatakan bahwa mempelajari ilmu rububiyyah akan membuat seorang filosof lebih sempurna, karena pengetahuan seseorang tentang “sebab” jauh lebih mulia daripada pengetahuan tentang akibat.[29] Demikianlah penekanan Al-Kindi tentang ilmu filsafat.
Sebagaimana dimaklumi bahwa dasar pemikiran filsafat terletak pada pemanfaatan akal secara maksimal, dan agama bukanlah sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh akal, meskipun dasar pijakan berfikirnya berbeda. Menyangkut hal ini Al-Kindi memberikan pemikirannya sebagai berikut:
Sesungguhnya sabda orang yang benar, Muhammad (salawat Allah terlimpah atasnya) dan apa yang disampaikannya dari Allah Yang Maha Agung lagi perkasa dapat diketahui semuanya dengan (memakai) analogi akali (al-maqayis al-‘aqliyyah). Hanya orang-orang yang tidak memiliki citra akal serta telah meletakan diri pada kejahilan yang menolak ilmu falsafah.[30]
Dari ungkapan ini, dapat dilihat konsistensi Al-Kindi dalam menempatkan filsafat dan penekanannya pada fungsi akal sebagai hal penting dari usaha memahami ajaran agama secara kaffah.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang hubungan agama dan filsafat, kita harus menegaskan kembali – sebagaimana telah dibahas pada awal-awal bab ini – bahwa lahirnya filsafat dalam Islam tak lepas dari warisan kebudayaan non-Islam terutama unsur-unsur Helenisme. Artinya bahwa tradisi berfilsafat Al-Kindi pun merupakan bawaan dari kebudayaan dimaksud.
Al-Kindi memang merupakan representasi pertama dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia timur. Corak berfikir Al-Kindi bersifat ekletisisme,[31] sehingga dalam corak berfikir filsafatnya terdapat unsur-unsur pikiran Aristoeles dan juga Plato. Unsur Aristoteles yaitu pembagian filsafat kepada teori dan amalan, sedangkan unsur Plato adalah defenisinya.[32]
Namun, sebagaimana konsistensi Al-Kindi dalam proyek rekonsiliasi antara agama (Islam) dengan filsafat, dalam teori-teori filsafat yang jauh lebih praktis, Al-Kindi tidak secara instan menerima dan mengikuti pemikiran para filosof Yunani, malainkan menganalisis lebih dalam dan menyesuaikannya dengan doktrin agama.
Dalam membicarakan masalah kejadian alam, misalnya; Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam itu abadi. Ia tetap berkeyakinan bahwa alam adalah ciptaan Allah, yang diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada, yang dikenal dengan slogan creation ex nihilio.[33] Artinya bahwa, sebagai seorang filosof Muslim Al-Kindi tidak kehilangan kepribadiannya berhadapan dengan pendapat filosof yang dianutnya.
2. Filsafat Ketuhanan
Diantara dalil-dalil penting yang dikemukakan Al-Kindi tentang adanya Allah adalah; baharunya alam, keanekaragaman dalam wujud, dan ketertauran alam.
Untuk jalan pertama, Al-Kindi beranjak dari sebuah pertanyaan sederhana, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi dirinya sendiri. Menurutnya hal ini tidak mungkin, karena alam ini terbatas dan ia baru karena ada permulaan waktunya. Karena itu mesti ada yang menjadi penyebab alam ini terjadi. Menyangkut hal ini, Al-Kindi mengatakan:
Tida mungkin ada sesuatu jisim yang abadi (senantiasa) ; jadi jisim dengan sendirinya diciptakan. Dan yang diciptakan itu adalah ciptaan pencipta. Sebab pencipta dan yang diciptakan termasuk perangkaian. Maka semuanya itu dengan sendirinya ada penciptanya dari tiada.[34]
Untuk argumen yang kedua, ia mengatakan bahwa dalam alam, baik alam materi ataupun yang lain, tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman, ataupun sebaliknya. Terjadinya keseragaman dan keanekaragaman itu bukan secara kebetulan, melainkan karena ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. “Sebab” ini bukanlah alam itu sendiri, sebab kalau alam sendiri yang menjadi penyebabnya maka tidak ada habis-habisnya, sedang sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, maka yang menjadi sebab itu harus diluar alam yang lebih mulia dan lebih dahulu adanya, yakni Tuhan.
Untuk dalil ketiga, ia mengatakan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengaturnya. Pegaturnya tentu dari luar alam itu sendiri., yakni suatu zat yang maha tinggi yaitu Tuhan. Zat itu tidak terlihat tetapi dapat diketahui dengan melihat fenomena yang terdapat di alam ini.[35]
Menyangkut dengan hakikat Allah, Al-Kindi mengungkapkan bahwa Allah adalah wujud yang hak (al-iniyyah al-haqqah) “yang tidak ada ketiadaan selama-lamanya, yang akan selalu demikian wujudnya secara abadi.[36] Ia selalu mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karenanya Tuhan adalah wujud yang sempurna.[37] Bagi Al-Kindi, Tuhan adalah unik, ia hanya satu, dan tidak ada yang serata dengan-Nya. Dialah Yang Benar Pertama (al-haqq al-awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-haqq al-wahid). Selain dari-Nya mengandung arti banyak.[38]
Dalam masalah sifat Tuhan yang ramai diperdebatkan dikalangan mutakallimun zaman itu, Al-Kindi nampaknya lebih cenderung pada mazhab Mu’tazilah yang lebih menonjolkan ke-esa-an sebagai satu-satunya sifat Tuhan.
Al-Kindi memandang keesaan itu sebagai suatu sifat Allah yang khas. menurutnya, Allah itu esa dalam bilangan dan esa dalam zat. Esensis-Nya tidak mengandung kejamakan, tidak ada sesuatu yang dapat menandingi dan menyerupai-Nya, karena Alla tidak mempunyai materi, tidak mempunyai citra, tidak mempunyai kualitas dan kuantitas, tidak mempunyai rangkaian, tidak mempunyai jenis dan macam, Allah itu azali yang tidak boleh tidak ada[39].
Allah tidak bergerak, karena dalam gerak itu artinya ada pertukaran yang tidak sesuai dengan wujud Tuhan yang sempurna, karena zat yang azali itu tidak bergerak, maka zaman tidak berlaku kepadaya, sebab zaman itu adalah bilangan gerak. Zat itu mempunyai pekerjaan khusus yang disebut “Ibdah”, artinya menjadikan sesuatu dari tiada.[40]
3. Filsafat Jiwa
Masalah jiwa merupakan agenda yang penting dalam Islam, karena jiwa merupakan unsur utama dari manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari manusia.[41]al-nafs) dari apa yang diistilahkan al-Qur’an dengan al-ruh.[42] Filosof Muslim menggunakan kata jiwa (
Pemikiran Al-Kindi tentang jiwa tidak terlepas dari pemikiran Aristoteles. Ia mengungkapkan dua defenisi jiwa yang telah dikemukakan Aristoteles. Menurutnya jiwa adalah “kesempurnaan pertama dari jisim alami yang memilik kehidupan secara potensial”. Al-kindi juga memberikan defenisi jiwa sebagai “kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima kehidupan”.[43] Namun ia menolak pendapat Aristotoles yang mengatakan bahwa jiwa manusia tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk.
Menurut Al-Kindi, jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Allah. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi.[44] Jiwa menentang keinginan hawa nafsu, apabila nafsu mendorong manusia melakukan kejahatan, maka jiwalah yang menentangnya.[45] Artinya bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu berbeda dengan nafsu yang dilarang.
Argumen Al-Kindi tentang hubungan jasad (badan) dengan jiwa adalah kesatuan acciden, artinya bahwa binasanya badan tidak membawa kebinasaan pada jiwa.[46] Meskipun jiwa bersatu dengan badan, namun jiwa tetap terpisah dan berbeda dengan badan, sehingga ia kekal setelah mengalami kematian, ia mengatakan;
Dan bahwa kita tidak datang di alam ini bagaikan titian atau jembatan yang dilalui oleh para penyeberang, tidak mempunyai tempat yang lama. Tampat tetap yang kita harapkan adalah alam tinggi yang luhur kemana jiwa kita akan berpindah setelah mati. [47]
Dari argumen ini terlihat jelas bahwa Al-Kindi mengakui kebadian jiwa, namun keabadiaan jiwa itu jelas berbeda dengan keabadian Tuhan, karena keabadian jiwa bukan dari dirinya sendiri melainkan keabadiannya karena Allah.
Harus diakui bahwa Al-Kindi belum memiliki filsafat yang lengkap. Dalam pemikirannya ia telah mempertemukan pemikiran filsafat dengan agama atau antara akal dan wahyu, dan lebih dalam lagi ia telah mengislamkan ide-ide yang terdapat dalam filsafat Yunani. Pemikirannya merupakan pemikiran awal yang merintis jalan bagi filosof Muslim yang lahir sesudahnya.
KESIMPULAN
Lahir dan berkembangnya pemikiran filosofis dalam Islam merupakan sebuah realitas historis yang niscaya karena adanya interaksi yang terbangun antar bangsa Arab Muslim dengan daerah-daerah yang ditaklukan (bangsa non-Muslim), yakni bangsa Persia, India dan terutama sekali adalah bangsa Yunani, sehingga filsafat Islam dikatakan banyak mengandung unsur Hellenisme. Hasil dari proses interaksi itulah kemudian melahirkan semangat intelektual untuk melakukan penerjemahan terhadap berbagai karya-karya; baik Yunani, Persia, maupun India kedalam bahasa Arab. Gerakan penerjemahan berkembang pesat karena mendapat dukungan penguasa (khalifah). Dari hasil penerjemahan tersebut, lahirlah pemikiran-pemikiran filosofis dalam Islam. Dalam pengembangan selanjutnya pemikiran-pemikiran para filosof non-Muslim itu dikembangkan sesuai dengan akidah dan ajaran-ajaran Islam, agar tidak bertentangan.
Orang Islam pertama yang muncul dengan gagasan-gagasan filsafat dan dianggap sebagai representasi awal dari sederatan filosof Muslim adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Ash-Shabah bin Imran bin Ismail bin Al-Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia juga diberi gelar sebagai filosof berkebangsaan Arab (Failasuf al-Arab) pertama. Al-Kindi muncul dengan ide tentang adanya kesamaan kebenaran antara Agama dengan filsafat, sehingga menurutnya tidak perlu ada petentangan antara keduanya. Dalam membuktikan adanya Tuhan dengan jalan filsafat, Al-Kindi memberikan argumen tentang baharunya alam, keanekaragaman dalam wujud, dan ketertauran alam. Sedangkan gagasannya tentang keberadaan jiwa, Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa merupakan jauhar basith, yang mempunyai wujud tersendiri yang terpisah dari badan, serta substansinya adalah berasal dari substansi Allah.
Wa-‘l Lâh a‛lam bi al-shawâb