24 Ramadhan 1431H.
Oleh : Jarjani Usman
“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerana ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (QS. An Nisaa’: 135).
Tersenyum bahagia bila sudah memiliki rumah dan kendaraan adalah suatu yang sangat manusiawi. Tapi bila itu hasil penipuan atau pemerasan, jangan disangka itu senyuman kebahagiaan. Sebab, menurut Sayyidina Ali r.a., bahagia yang sesungguhnya bagi seseorang bukan di kala mampu mewujudkan segala hawa nafsunya. Bila sudah menuruti hawa nafsunya, berarti seseorang sudah ditunggangi hawa nafsunya. Sedangkan menurut Sayyidina Ali, bahagianya seseorang bila mampu menjadi tuan bagi dirinya, menjadi pemandu bagi hawa nafsunya, dan menjadi kapten untuk bahtera hidupnya.
Hidup sebagai hamba lazimnya tidak mudah. Tidak leluasa bergerak. Tidurpun tidak enak. Juga harus setia menuruti apa kata dan perintah tuan. Tapi ini jarang disedari bila seseorang sudah menjadi hamba bagi hawa nafsunya. Sebab, hawa nafsu bukan menyuruh dengan berkacak pinggang di luar tubuh seseorang, tetapi mengalir dalam darah atau tubuh sendiri. Akibatnya, siapapun boleh terjerumus kemana nafsu mengarahkan. Menyimak ayat di atas, nafsu akan menyuruh ke jalan kesesatan. Dengan kata lain, bukan ke jalan kebahagiaan hawa nafsu mengarahkan manusia, tetapi ke jalan ketidak-bahagiaan.
Kenyataan di dunia ini memang demikian. Tidak sedikit orang yang gemar menjadikan kesulitan orang lain sebagai tempat mencari harta sebanyak-banyaknya. Kesalahan seseorang boleh diputarbalikkan menjadi suatu kebenaran, dan sebaliknya kebenaran bisa dijadikan kesalahan, asalkan dibayar sesuai permintaan hawa nafsunya. Dalam keadaan demikian, pelakunya pasti sedang lupa bahwa Allah terang sekali menyaksikan perbuatan (kecurangan)nya. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Rasulullah bahwa tidak beriman seseorang ketika berbuat jahat, seperti mencuri.
Oleh : Jarjani Usman
“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerana ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (QS. An Nisaa’: 135).
Tersenyum bahagia bila sudah memiliki rumah dan kendaraan adalah suatu yang sangat manusiawi. Tapi bila itu hasil penipuan atau pemerasan, jangan disangka itu senyuman kebahagiaan. Sebab, menurut Sayyidina Ali r.a., bahagia yang sesungguhnya bagi seseorang bukan di kala mampu mewujudkan segala hawa nafsunya. Bila sudah menuruti hawa nafsunya, berarti seseorang sudah ditunggangi hawa nafsunya. Sedangkan menurut Sayyidina Ali, bahagianya seseorang bila mampu menjadi tuan bagi dirinya, menjadi pemandu bagi hawa nafsunya, dan menjadi kapten untuk bahtera hidupnya.
Hidup sebagai hamba lazimnya tidak mudah. Tidak leluasa bergerak. Tidurpun tidak enak. Juga harus setia menuruti apa kata dan perintah tuan. Tapi ini jarang disedari bila seseorang sudah menjadi hamba bagi hawa nafsunya. Sebab, hawa nafsu bukan menyuruh dengan berkacak pinggang di luar tubuh seseorang, tetapi mengalir dalam darah atau tubuh sendiri. Akibatnya, siapapun boleh terjerumus kemana nafsu mengarahkan. Menyimak ayat di atas, nafsu akan menyuruh ke jalan kesesatan. Dengan kata lain, bukan ke jalan kebahagiaan hawa nafsu mengarahkan manusia, tetapi ke jalan ketidak-bahagiaan.
Kenyataan di dunia ini memang demikian. Tidak sedikit orang yang gemar menjadikan kesulitan orang lain sebagai tempat mencari harta sebanyak-banyaknya. Kesalahan seseorang boleh diputarbalikkan menjadi suatu kebenaran, dan sebaliknya kebenaran bisa dijadikan kesalahan, asalkan dibayar sesuai permintaan hawa nafsunya. Dalam keadaan demikian, pelakunya pasti sedang lupa bahwa Allah terang sekali menyaksikan perbuatan (kecurangan)nya. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Rasulullah bahwa tidak beriman seseorang ketika berbuat jahat, seperti mencuri.