oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Zhihar secara bahasa mempunyai banyak makna, tergantung pada penggunaannya, seperti ungkapan: zhaahara Muhammadun khalidan, ini berarti Muhammad telah membela dan menolong Khalid. Zhaahara fulanu baina tsaubain, artinya: Si Fulan memakai baju dua rangkap. Zhaahara min imra’atihi, artinya: suami mengatakan kepada istrinya “kamu bagiku seperti punggung ibuku”. Maksudnya: haram bagiku menggaulimu sebagaimana aku haram menggauli ibuku sendiri.
Zhihar dalam arti syar’i-nya adalah suami menganggap istri atau salah satu anggota tubuhnya sama dengan perempuan yang haram atasnya secara nasab atau sepersusuan atau ikatan perkawanian. Jadi, kalau seorang suami berkata kepada istrinya: “Kamu bagiku laksana punggung ibuku sendiri” atau “laksana wajah saudara perempuanku” atau “laksana kepala bibiku”, dengan maksud bahwa istri haram atas suaminya sebagaimana haramnya ibu, saudari kandung atau bibi atasnya. Ungkapan seperti itu disebut zhihar, dan suami wajib membayar kaffarat bila hendak melakukan hubungan senggama dengan sang istri.
Kaffarat tersebut wajib hukumnya, sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an sesuai urutan berikut ini:
Memerdekakan seorang hamba sahaya (budak laki-laki atau perempuan).
Jika tidak mampu memerdekakan seorang budak maka berpuasa dua bulan penuh secara berurutan.
Jika tidak mampu berpuasa karena suatu sebab, maka memberi makan kepada 60 orang miskin.
Agama Islam telah menganggap zhihar sebagai sumpah, dan diwajibkan kaffarat karenanya, sebagai suatu bentuk pelajaran dan hukuman agar tidak mengulanginya kembali. Sebab, zhihar itu tidak akan terjadi kecuali atas dasar ungkapan yang dibenarkan oleh realita, yaitu memperlakukan istri seperti ibu sendiri di dalam keharamannya, hal mana merupakan perkara yang tidak logis dan bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Sebab, istri sangat tidak mungkin menurut logika akal sehat seperti ibu hanya dengan suatu ungkapan yang diucapkan. Sebab, ibu yang hakiki itu hanyalah dia yang melahirkan kita. Dan agar tidak selayaknya istri disamakan dengan ibu di dalam menghormat, berbelas kasih, memuliakan dan menghargai, maka Al-Qur’an menjadikan kalimat zhihar termasuk perkataan yang mungkar. Ayat Al-Qur’an menyebutkan:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا
“Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahir-kan mereka. Dan mereka sungguh-sungguh mengucap suatu perkataan yang munkar dan dusta.” (Al-Mujadilah: 2).
Masalah zhihar itu sudah ada sebelum datangnya Islam, di mana seorang suami di masa jahiliyah apabila marah terhadap istrinya karena suatu masalah ia mengatakan: “Kamu bagiku bagaikan ibuku sendiri”. Maka istri itu menjadi haram atasnya dan ia pun tidak menceraikannya, melainkan terkatung-katung tidak diperlakukan sebagai istri, tidak dipenuhi kebutuhannya sebagai istri, dan tidak pula dicerai sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk menikah dengan lelaki lain. Ini adalah merupakan suatu bentuk pelecehan yang disandang oleh kaum perempuan di masa Jahiliyah dan terus berlanjut hingga kemudian Islam datang dengan menetapkan hukum zhihar seraya menggariskan jalan bagi ummat ini di dalam memecahkan problema rumah tangga seperti di atas dalam rangka menegakkan keadilan yang menimpa kaum perempuan. Hal itu ditegaskannya di dalam 4 ayat suci Al-Qur’an, dan dengannya Allah Subhaanahu Wata'ala membuka salah satu surat dari surat-surat Al-Qur’an, seraya berfirman,
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antar kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapakan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. Dan orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yng tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa, (wajib atasnya) memberikan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (Al-Mujadilah: 1-4).
Keempat ayat di atas diturunkan ketika pertama kali terjadi zhihar di dalam Islam, yaitu antara Khaulah binti Tsa’labah dengan suaminya Aus bin Shamit. Khaulah radhiyallahu ‘anha sempat menceritakan tentang peristiwa zhihar tersebut, seraya berkata, “Demi Allah, tentang diriku dan diri Aus bin Shamit, Allah menurunkan ayat-ayat awal Surah Al-Mujadilah.” Selanjutnya ia menuturkan: Ketika aku masih di sisinya, dia adalah seorang lelaki lanjut usia dan akhlaknya kurang baik. Pada suatu hari, ia datang kepadaku, lalu aku mengingatkannya tentang sesuatu. Maka ia pun marah dan berkata: “Engkau bagiku adalah bagai punggung ibuku.” Khaulah melanjutkan: Lalu ia pergi dan duduk-duduk di majlis rekan-rekannya sejenak dan setelah itu datang kepadaku, dan ternyata ia menghendakiku (bersenggama). Maka aku katakan, “Tidak! Demi Allah yang diri Khaulah ada di tangan-Nya, kamu tidak akan mendapatkanku, karena engkau telah mengucapkan apa yang telah engkau ucapkan, sebelum Allah dan rasul-Nya memberikan keputusan terhadap kita.”
Khaulah melanjutkan: “Maka ia melompat kepadaku, namun aku mengelak darinya hingga aku bisa lepas darinya, karena dia sudah tua dan lemah hingga aku dapat menolaknya dariku.”
Khaulah menuturkan: “Kemudian akau mendatangi salah seorang tetangga perempuanku untuk meminjam pakaian darinya. Setelah itu aku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan aku pun duduk di hadapan beliau, aku ceritakan kepadanya apa yang telah menimpaku. Aku laporkan semua tetang sikap buruknya terhadapku.”
Khaulah melanjutkan: Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Khaulah, anak pamanmu itu (maksudnya: suaminya) adalah seorang lanjut usia, maka bertaqwalah kamu kepada Allah tentang dia.”
Lalu, jelang beberapa saat, turunlah Al-Qur’an mengenai aku. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjadi seperti tidak sadar (ketika menerima wahyu tersebut), dan setelah itu beliau bersabda kepadaku, “Wahai Khaulah, Allah telah menurunkan ayat mengenaimu dan suamimu.” Lalu Nabi membacakan kepadaku: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antar kamu berdua”, hingga firman-Nya: “Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Khaulah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Suruh dia memerdekakan budak.”
Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, dia tidak mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak.” Rasulullah bersabda, “Suruh dia berpuasa dua bulan berturut-turut.” Khaulah berkata, “Demi Allah, dia adalah seorang yang sudah lanjut usia tidak dapat melakukan puasa.” Rasulullah bersabda, “Suruh dia memberi maka enam puluh orang miskin berupa satu wasaq kurma.”
Khaulah berkata lagi, “Demi Allah, wahai Rasul, dia tidak mempunyai itu.” Lalu Rasulullah bersabda, “Aku akan membantunya dengan satu tandan buah kurma.” Khaulah berkata, “Ya Rasulullah, aku pun akan membantunya dengan setandan kurma juga.” Maka Rasulullah bersabda, “Kamu tepat dan kamu benar. Maka pergilah sekarang dan sedekahkanlah kurma itu atas nama dia, dan setelah itu jaga suamimu dengan baik.” Khulah menuturkan, “Maka aku pun melakukannya.”
Itulah kisah zhihar yang pertama kali terjadi di dalam Islam, dan dari kisah itu penulis akan merangkum beberapa pelajaran berikut ini:
Pertama, Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang sekecil atom baik di bumi maupun di langit yang tidak diketahui oleh Allah.
Kedua, Sesungguhnya pendengaran-Nya meliputi seluruh suara, yang di antaranya adalah kisah tentang perempuan yang melapor halnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tadi, perempuan yang oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dikatakan: “Telah datang seorang perempuan yang mendebat yaitu, Khaulah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sisi bilikku, di mana aku tidak mendengar apa yang ia bicarakan. Maka Allah Subhaanahu Wata'ala menurunkan ayat-Nya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.....”.
Ketiga, Allah Subhaanahu Wata'ala mengabulkan do’a hamba-Nya bila mereka mengadu dan kembali kepada-Nya di saat mereka dalam krisis. Masalah Allah Subhaanahu Wata'ala mengabulkan do’a seorang perempuan awam, sebagaimana di dalam kisah di atas memberikan rasa keyakinan penuh di dalam hati bahwa Allah sangat dekat dari hamba-Nya, dan bahwasanya Allah Subhaanahu Wata'ala tidak pernah lalai terhadap sesuatu apapun yang ada di langit dan di bumi.
Keempat, Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wata'ala yang menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa di atas, sebenarnya memberikan penegasan kepada segenap manusia akan kesem-purnaan kemanusiaan kaum perempuan dan perhatian-Nya kepada kaum perempuan sama dengan perhatian-Nya kepada kaum lelaki.
Zhihar secara bahasa mempunyai banyak makna, tergantung pada penggunaannya, seperti ungkapan: zhaahara Muhammadun khalidan, ini berarti Muhammad telah membela dan menolong Khalid. Zhaahara fulanu baina tsaubain, artinya: Si Fulan memakai baju dua rangkap. Zhaahara min imra’atihi, artinya: suami mengatakan kepada istrinya “kamu bagiku seperti punggung ibuku”. Maksudnya: haram bagiku menggaulimu sebagaimana aku haram menggauli ibuku sendiri.
Zhihar dalam arti syar’i-nya adalah suami menganggap istri atau salah satu anggota tubuhnya sama dengan perempuan yang haram atasnya secara nasab atau sepersusuan atau ikatan perkawanian. Jadi, kalau seorang suami berkata kepada istrinya: “Kamu bagiku laksana punggung ibuku sendiri” atau “laksana wajah saudara perempuanku” atau “laksana kepala bibiku”, dengan maksud bahwa istri haram atas suaminya sebagaimana haramnya ibu, saudari kandung atau bibi atasnya. Ungkapan seperti itu disebut zhihar, dan suami wajib membayar kaffarat bila hendak melakukan hubungan senggama dengan sang istri.
Kaffarat tersebut wajib hukumnya, sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Qur’an sesuai urutan berikut ini:
Memerdekakan seorang hamba sahaya (budak laki-laki atau perempuan).
Jika tidak mampu memerdekakan seorang budak maka berpuasa dua bulan penuh secara berurutan.
Jika tidak mampu berpuasa karena suatu sebab, maka memberi makan kepada 60 orang miskin.
Agama Islam telah menganggap zhihar sebagai sumpah, dan diwajibkan kaffarat karenanya, sebagai suatu bentuk pelajaran dan hukuman agar tidak mengulanginya kembali. Sebab, zhihar itu tidak akan terjadi kecuali atas dasar ungkapan yang dibenarkan oleh realita, yaitu memperlakukan istri seperti ibu sendiri di dalam keharamannya, hal mana merupakan perkara yang tidak logis dan bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Sebab, istri sangat tidak mungkin menurut logika akal sehat seperti ibu hanya dengan suatu ungkapan yang diucapkan. Sebab, ibu yang hakiki itu hanyalah dia yang melahirkan kita. Dan agar tidak selayaknya istri disamakan dengan ibu di dalam menghormat, berbelas kasih, memuliakan dan menghargai, maka Al-Qur’an menjadikan kalimat zhihar termasuk perkataan yang mungkar. Ayat Al-Qur’an menyebutkan:
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا
“Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahir-kan mereka. Dan mereka sungguh-sungguh mengucap suatu perkataan yang munkar dan dusta.” (Al-Mujadilah: 2).
Masalah zhihar itu sudah ada sebelum datangnya Islam, di mana seorang suami di masa jahiliyah apabila marah terhadap istrinya karena suatu masalah ia mengatakan: “Kamu bagiku bagaikan ibuku sendiri”. Maka istri itu menjadi haram atasnya dan ia pun tidak menceraikannya, melainkan terkatung-katung tidak diperlakukan sebagai istri, tidak dipenuhi kebutuhannya sebagai istri, dan tidak pula dicerai sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk menikah dengan lelaki lain. Ini adalah merupakan suatu bentuk pelecehan yang disandang oleh kaum perempuan di masa Jahiliyah dan terus berlanjut hingga kemudian Islam datang dengan menetapkan hukum zhihar seraya menggariskan jalan bagi ummat ini di dalam memecahkan problema rumah tangga seperti di atas dalam rangka menegakkan keadilan yang menimpa kaum perempuan. Hal itu ditegaskannya di dalam 4 ayat suci Al-Qur’an, dan dengannya Allah Subhaanahu Wata'ala membuka salah satu surat dari surat-surat Al-Qur’an, seraya berfirman,
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1) الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antar kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah perempuan yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapakan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun. Dan orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yng tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa, (wajib atasnya) memberikan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (Al-Mujadilah: 1-4).
Keempat ayat di atas diturunkan ketika pertama kali terjadi zhihar di dalam Islam, yaitu antara Khaulah binti Tsa’labah dengan suaminya Aus bin Shamit. Khaulah radhiyallahu ‘anha sempat menceritakan tentang peristiwa zhihar tersebut, seraya berkata, “Demi Allah, tentang diriku dan diri Aus bin Shamit, Allah menurunkan ayat-ayat awal Surah Al-Mujadilah.” Selanjutnya ia menuturkan: Ketika aku masih di sisinya, dia adalah seorang lelaki lanjut usia dan akhlaknya kurang baik. Pada suatu hari, ia datang kepadaku, lalu aku mengingatkannya tentang sesuatu. Maka ia pun marah dan berkata: “Engkau bagiku adalah bagai punggung ibuku.” Khaulah melanjutkan: Lalu ia pergi dan duduk-duduk di majlis rekan-rekannya sejenak dan setelah itu datang kepadaku, dan ternyata ia menghendakiku (bersenggama). Maka aku katakan, “Tidak! Demi Allah yang diri Khaulah ada di tangan-Nya, kamu tidak akan mendapatkanku, karena engkau telah mengucapkan apa yang telah engkau ucapkan, sebelum Allah dan rasul-Nya memberikan keputusan terhadap kita.”
Khaulah melanjutkan: “Maka ia melompat kepadaku, namun aku mengelak darinya hingga aku bisa lepas darinya, karena dia sudah tua dan lemah hingga aku dapat menolaknya dariku.”
Khaulah menuturkan: “Kemudian akau mendatangi salah seorang tetangga perempuanku untuk meminjam pakaian darinya. Setelah itu aku pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan aku pun duduk di hadapan beliau, aku ceritakan kepadanya apa yang telah menimpaku. Aku laporkan semua tetang sikap buruknya terhadapku.”
Khaulah melanjutkan: Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai Khaulah, anak pamanmu itu (maksudnya: suaminya) adalah seorang lanjut usia, maka bertaqwalah kamu kepada Allah tentang dia.”
Lalu, jelang beberapa saat, turunlah Al-Qur’an mengenai aku. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjadi seperti tidak sadar (ketika menerima wahyu tersebut), dan setelah itu beliau bersabda kepadaku, “Wahai Khaulah, Allah telah menurunkan ayat mengenaimu dan suamimu.” Lalu Nabi membacakan kepadaku: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal-jawab antar kamu berdua”, hingga firman-Nya: “Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Khaulah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Suruh dia memerdekakan budak.”
Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, dia tidak mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak.” Rasulullah bersabda, “Suruh dia berpuasa dua bulan berturut-turut.” Khaulah berkata, “Demi Allah, dia adalah seorang yang sudah lanjut usia tidak dapat melakukan puasa.” Rasulullah bersabda, “Suruh dia memberi maka enam puluh orang miskin berupa satu wasaq kurma.”
Khaulah berkata lagi, “Demi Allah, wahai Rasul, dia tidak mempunyai itu.” Lalu Rasulullah bersabda, “Aku akan membantunya dengan satu tandan buah kurma.” Khaulah berkata, “Ya Rasulullah, aku pun akan membantunya dengan setandan kurma juga.” Maka Rasulullah bersabda, “Kamu tepat dan kamu benar. Maka pergilah sekarang dan sedekahkanlah kurma itu atas nama dia, dan setelah itu jaga suamimu dengan baik.” Khulah menuturkan, “Maka aku pun melakukannya.”
Itulah kisah zhihar yang pertama kali terjadi di dalam Islam, dan dari kisah itu penulis akan merangkum beberapa pelajaran berikut ini:
Pertama, Sesungguhnya tidak ada sesuatu apapun yang sekecil atom baik di bumi maupun di langit yang tidak diketahui oleh Allah.
Kedua, Sesungguhnya pendengaran-Nya meliputi seluruh suara, yang di antaranya adalah kisah tentang perempuan yang melapor halnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tadi, perempuan yang oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dikatakan: “Telah datang seorang perempuan yang mendebat yaitu, Khaulah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di sisi bilikku, di mana aku tidak mendengar apa yang ia bicarakan. Maka Allah Subhaanahu Wata'ala menurunkan ayat-Nya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.....”.
Ketiga, Allah Subhaanahu Wata'ala mengabulkan do’a hamba-Nya bila mereka mengadu dan kembali kepada-Nya di saat mereka dalam krisis. Masalah Allah Subhaanahu Wata'ala mengabulkan do’a seorang perempuan awam, sebagaimana di dalam kisah di atas memberikan rasa keyakinan penuh di dalam hati bahwa Allah sangat dekat dari hamba-Nya, dan bahwasanya Allah Subhaanahu Wata'ala tidak pernah lalai terhadap sesuatu apapun yang ada di langit dan di bumi.
Keempat, Sesungguhnya Allah Subhaanahu Wata'ala yang menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa di atas, sebenarnya memberikan penegasan kepada segenap manusia akan kesem-purnaan kemanusiaan kaum perempuan dan perhatian-Nya kepada kaum perempuan sama dengan perhatian-Nya kepada kaum lelaki.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan