Pertanyaan:
Saya berbuka puasa beberapa hari di bulan Ramadhan karena haid, hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu, dan hingga sekarang saya belum berpuasa qadha. Apa yang seharusnya saya lakukan?
Jawaban:
Alhamdulillah
Para ulama bersepakat bahwa diwajibkan mengqado hari-hari yang dia buka puasa pada bulan Ramadhan sebelum datangnya Ramadan selanjutnya. Mereka berdalil dari apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, 1950 dan Muslim, 1146 dari Aisyah radhiallahu’anha, dia berkata:
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ ، وَذَلِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Biasanya saya mempunyai (tanggungan) puasa Ramadhan, saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban. Hal itu karena kedudukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam."
Al-Hafidz rahimahullah berkata, "Sikap beliau yang sangat berupaya melakukannya di bulan Sya’ban, menunjukkan bahwa tidak diperkenankan mengakhirkan qadha sampai memasuki Ramadhan lain."
Kalau qadha puasanya ditunda hingga memasuki Ramadhan selanjutnya, maka tidak terlepas dari dua kondisi;
Pertama: Menundanya karena ada alasan (uzur). Seperti jika sakit dan terus berlanjut sampai memasuki Ramadhan selanjutnya. Maka dia tidak berdosa mengakhirkannya, karena ada uzur. Maka dia hanya mengqadha saja hari-hari yang dia berbuka puasa.
Kondisi kedua: Menunda qadha tanpa ada uzur. Misalnya, dia mampu mengqadhanya, akan tetapi dia tidak mengqadha sampai memasuki Ramadhan lagi. Maka dia berdosa karena mengakhirkan qadha tanpa ada uzur. Para ulama sepekat dia harus mengqadha. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah selain mengqadha diharuskan juga memberi makan satu orang miskin untuk sehari puasa yang ditinggalkan.
Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat, dia harus memberi makan. Mereka berdalil bahwa hal itu telah ada (yang melakukan) dari kalangan para shahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhillahu’anhum.
Sedangkan Imam Abu Hanifah rahimahullah berpendapat, tidak wajib qadha dengan memberi makan. Beliau berdalil bahwa Allah ta’ala hanya memerintahkan orang yang berbuka puasa bulan Ramadhan untuk mengqadha saja tanpa menyebutkan makanan.
Allah berfirman;
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (سورة البقرة: 184)
Silakan lihat Al-Majmu, 6/366, Al-Mughni, 4/400.
Pendapat kedua ini dipilih oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya. Ibrahim –yakni An-Nakha’i- berkata, "Kalau malas (mengqadha) sampai datang Ramadhan selanjutnya, maka dia harus berpuasa dan tidak perlu memberi makan. Disebutkan dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas secara mursal (atsar hanya sampai shahabat) memberi makan." Kemudian Bukhari berkata, "Allah tidak menyebutkan makanan. Hanya berfirman, ‘Sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata ketika menetapkan tidak mewajibkan (memberi) makanan: "Adapun pendapat para Shahabat, hujjahnya masih perlu ditinjau lagi jika berbeda dengan zahir al-Qur’an. Pengharusan memberi makanan, berbeda dari sisi zahir al-Qur’an. Karena Allah Ta’ala tidak mewajibkan kecuali beberapa hari (pengganti dari buka puasa) pada hari-hari yang lain. Tidak mewajibkan lebih dari itu. Dengan demikian, maka kita tidak mengharuskan hamba Allah dengan apa yang tidak diharuskan oleh Allah kecuali dengan dalil yang dapat membebaskan dari beban kewajiban. Adapun apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah radhiallahu’anhum mungkin difahami sekedar sisi anjuran bukan sisi kewajiban. Yang kuat dalam masalah ini adalah hanya diwajibkan berpuasa. Akan tetapi dia berdosa karena menundanya." (As-Syarh Al-Mumti, 6/451)
Dengan demikian, yang diwajibkan hanya mengqadha saja. Kalau sebagai kehati-hatian seseorang memberi makan seorang miskin untuk sehari, maka hal itu juga bagus. Untuk penanya, kalau menunda qadha tanpa ada uzur, maka hendaknya dia bertaubat kepada Allah ta’ala dan bertekad kuat agar tidak mengulangi seperti ini lagi ke depannya.
Hanya kepada Allah ta’ala kita memohon agar mendapatkan taufiq untuk mendapatkan cinta dan rido-Nya. Wallahu’alam.
[Sumber: Soal Jawab Tentang Islam di www.islamqa.com]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan