Oleh : Shah Bundy
Sebagian manusia suka bertanya-tanya, setidaknya dalam hatinya: Mengapa doa saya tidak diijabah? Apa gerangan penyebabnya? Doa apa yang mesti aku panjatkan agar doaku diijabah?
Doa merupakan bisikan hati yang paling dalam, ungkapan batin tentang suatu yang dibutuhkan. Jika demikian, sudahkah kita mengetahui apa sebenarnya yang kita dibutuhkan? Sudahkah tidak berlawanan antara tuntutan batin dan kalimat doa yang diucapkan oleh lisan? Yang diinginkan itu kebutuhan yang sebenarnya atau keinginan khayalan kita yang sering muncul dalam khayal kita?
Sabzawari seorang filosuf dan sufi besar mengatakan: Ketahuilah bahwa doa yang tidak diijabah adalah doa yang hanya diucapkan oleh lisan, seperti doa yang umumnya diucapkan orang-orang yang duduk di majlis-majlis doa dan zikir, yaitu: “Ya Allah, bimbinglah aku pada ketaatan dan jauhkan aku dari kemaksiatan, ” Sementara semua organ tubuhnya, perbuatan dan aktivitas batinnya tidak sesuai dengan doa yang diucapkan oleh lisannya: ia melakukan kehinaan dan mengikuti bisikan setan; sehingga hatinya dipehuni oleh gelora hawa nafsu, kerakusan dan sifat-sifat binatang buas.
Jika demikian kenyataannya, maka sebenarnya yang dimohon oleh umumnya manusia justru sebaliknya yaitu: “Ya Allah, hinakan kami dengan kemaksiatan.”
Demikian juga mereka yang memohon perlindungan dan rizki kepada Allah, padahal Dia Maha Mengijabah semua doa. Allah swt berfirman: “Tuhan kami yang telah memberikan pada segala sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk.” (Thaha: 50)
Manusia yang patuh pada khayalannya, naluriahnya berkata: “Ya Allah, abadikan aku di dunia.” Permintaan ini ia ucapkan secara tersembunyi dan kadang-kadang juga secara terang-terangan.
Sehingga khayalannya menghadap pada Tuhannya, semua organnya terfokus padanya, merasa tenteram di rumahn penjaranya. Semua organ tubuhnya menuntut kebutuhan-kebutuhan naluriahnya. Anak-anak khayalnya pun yang baru netas dan masih terpasung dalam kubangan materi ingin terbang seperti burung, ingin terbang jauh berkeliling di angkasa. Padahal ruh dan rohaninya berkata pada semua organ yang terpasung oleh materi:
“Seberapa lama kamu mau tinggal di sini dan menghabiskan waktu untuk mengejar materi? Apakan kamu tidak ingin mengakhiri kecelakanmu? Apakah kamu tidak ingin segera mencari bekal untuk perjalanan panjangmu, menjumpai Kekasihmu agar kamu cepat sampai pada tujuan di alam yang lain.”
Sebenarnya ruh kita menginginkan kematian dan meninggalkan tubuh kita secara suka-rela, tetapi khayalan kita tidak menghendakinya, yang kadang-kadang juga diucapkan oleh lisannya. Allah swt berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, kamu pasti akan menemui-Nya. ” (Al-Insyiqaq: 6).
Doa yang diucapkan oleh lisan, yang mengharapkan kebutuhannya, sebenarnya sudah diijabah oleh Allah swt untuk sekedar memenuhi kebutuhannya. Hendaknya kita menyadari bahwa lisan tak akan sanggup menyampaikan permintaan yang diinginkan oleh daya khayal, yang belum mengetahui manfaat dan mudharratnya. Lisan hanya bisa menyampaikan keinginan manusia yang ia telah mengetahui manfaat dan mudharratnya. Yakni mengetahui bahwa yang diinginkan itu benar-benar bermanfaat bagi dirinya. Inilah yang dimaksudkan oleh hadis Qudsi:
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada orang yang tidak maslahat baginya kecuali kekayaan, dan sekiranya Aku belokkan ia pada selain itu, niscaya ia akan binasa; ada juga di antara hamba-hamba-Ku orang yang tidak maslahat baginya kecuali kefakiran, dan sekiranya Aku belokkan ia pada selain itu, niscaya ia akan binasa.”
Karena itu, zikir yang paling agung adalah zikir yang mengandung makna tauhid dan pujian kepada Allah swt, bukan yang dirasakan karena tercapainya harapan dan permohonan . Allah berfiman dalam hadis qudsi:
“Hajat yang tertunda lebih Aku cintai daripada hajat yang tercapai.”
“Baransiapa yang meninggalkan apa yang diinginkannya karena apa yang Aku inginkan, maka Aku akan meninggalkan apa yang Aku inginkan karena yang ia inginkan.”
Di dalam suatu doa disebutkan:
“Ya Allah, Engkau sebagaimana yang aku inginkan, maka jadikan aku sebagaimana yang Engkau inginkan.”
Dalam suatu hadis disebutkan:
“Mukmin yang sejati adalah ia tidak menginginkan apa yang tidak didapatkan.”
Namun demikian, kita tidak boleh putus asa. Jika doa itu sebagai zikirullah, pengingat kepada Allah, maka doa itu baik bagi kita walaupun dalam berdoa kita belum mengetahui apa sebenarnya yang kita inginkan. Karena doa dapat menjadi salah satu penyebab kebahagiaan dan menjadi wasilah untuk mengingat Allah swt. Dalam suatu hadis disebutkan bahwa Nabi Musa (as) berdoa walaupun untuk memohon garam untuk keperluan makanannya.
(Disarikan dari kitab Syarah Doa Jawsyan Kabir, tentang Asma Allah Yâ Mujîbât Ad-Da’âwât, oleh Sabzawari seorang filosuf dan sufi besar)
Sebagian manusia suka bertanya-tanya, setidaknya dalam hatinya: Mengapa doa saya tidak diijabah? Apa gerangan penyebabnya? Doa apa yang mesti aku panjatkan agar doaku diijabah?
Doa merupakan bisikan hati yang paling dalam, ungkapan batin tentang suatu yang dibutuhkan. Jika demikian, sudahkah kita mengetahui apa sebenarnya yang kita dibutuhkan? Sudahkah tidak berlawanan antara tuntutan batin dan kalimat doa yang diucapkan oleh lisan? Yang diinginkan itu kebutuhan yang sebenarnya atau keinginan khayalan kita yang sering muncul dalam khayal kita?
Sabzawari seorang filosuf dan sufi besar mengatakan: Ketahuilah bahwa doa yang tidak diijabah adalah doa yang hanya diucapkan oleh lisan, seperti doa yang umumnya diucapkan orang-orang yang duduk di majlis-majlis doa dan zikir, yaitu: “Ya Allah, bimbinglah aku pada ketaatan dan jauhkan aku dari kemaksiatan, ” Sementara semua organ tubuhnya, perbuatan dan aktivitas batinnya tidak sesuai dengan doa yang diucapkan oleh lisannya: ia melakukan kehinaan dan mengikuti bisikan setan; sehingga hatinya dipehuni oleh gelora hawa nafsu, kerakusan dan sifat-sifat binatang buas.
Jika demikian kenyataannya, maka sebenarnya yang dimohon oleh umumnya manusia justru sebaliknya yaitu: “Ya Allah, hinakan kami dengan kemaksiatan.”
Demikian juga mereka yang memohon perlindungan dan rizki kepada Allah, padahal Dia Maha Mengijabah semua doa. Allah swt berfirman: “Tuhan kami yang telah memberikan pada segala sesuatu bentuk kejadiannya kemudian memberinya petunjuk.” (Thaha: 50)
Manusia yang patuh pada khayalannya, naluriahnya berkata: “Ya Allah, abadikan aku di dunia.” Permintaan ini ia ucapkan secara tersembunyi dan kadang-kadang juga secara terang-terangan.
Sehingga khayalannya menghadap pada Tuhannya, semua organnya terfokus padanya, merasa tenteram di rumahn penjaranya. Semua organ tubuhnya menuntut kebutuhan-kebutuhan naluriahnya. Anak-anak khayalnya pun yang baru netas dan masih terpasung dalam kubangan materi ingin terbang seperti burung, ingin terbang jauh berkeliling di angkasa. Padahal ruh dan rohaninya berkata pada semua organ yang terpasung oleh materi:
“Seberapa lama kamu mau tinggal di sini dan menghabiskan waktu untuk mengejar materi? Apakan kamu tidak ingin mengakhiri kecelakanmu? Apakah kamu tidak ingin segera mencari bekal untuk perjalanan panjangmu, menjumpai Kekasihmu agar kamu cepat sampai pada tujuan di alam yang lain.”
Sebenarnya ruh kita menginginkan kematian dan meninggalkan tubuh kita secara suka-rela, tetapi khayalan kita tidak menghendakinya, yang kadang-kadang juga diucapkan oleh lisannya. Allah swt berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, kamu pasti akan menemui-Nya. ” (Al-Insyiqaq: 6).
Doa yang diucapkan oleh lisan, yang mengharapkan kebutuhannya, sebenarnya sudah diijabah oleh Allah swt untuk sekedar memenuhi kebutuhannya. Hendaknya kita menyadari bahwa lisan tak akan sanggup menyampaikan permintaan yang diinginkan oleh daya khayal, yang belum mengetahui manfaat dan mudharratnya. Lisan hanya bisa menyampaikan keinginan manusia yang ia telah mengetahui manfaat dan mudharratnya. Yakni mengetahui bahwa yang diinginkan itu benar-benar bermanfaat bagi dirinya. Inilah yang dimaksudkan oleh hadis Qudsi:
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba-Ku ada orang yang tidak maslahat baginya kecuali kekayaan, dan sekiranya Aku belokkan ia pada selain itu, niscaya ia akan binasa; ada juga di antara hamba-hamba-Ku orang yang tidak maslahat baginya kecuali kefakiran, dan sekiranya Aku belokkan ia pada selain itu, niscaya ia akan binasa.”
Karena itu, zikir yang paling agung adalah zikir yang mengandung makna tauhid dan pujian kepada Allah swt, bukan yang dirasakan karena tercapainya harapan dan permohonan . Allah berfiman dalam hadis qudsi:
“Hajat yang tertunda lebih Aku cintai daripada hajat yang tercapai.”
“Baransiapa yang meninggalkan apa yang diinginkannya karena apa yang Aku inginkan, maka Aku akan meninggalkan apa yang Aku inginkan karena yang ia inginkan.”
Di dalam suatu doa disebutkan:
“Ya Allah, Engkau sebagaimana yang aku inginkan, maka jadikan aku sebagaimana yang Engkau inginkan.”
Dalam suatu hadis disebutkan:
“Mukmin yang sejati adalah ia tidak menginginkan apa yang tidak didapatkan.”
Namun demikian, kita tidak boleh putus asa. Jika doa itu sebagai zikirullah, pengingat kepada Allah, maka doa itu baik bagi kita walaupun dalam berdoa kita belum mengetahui apa sebenarnya yang kita inginkan. Karena doa dapat menjadi salah satu penyebab kebahagiaan dan menjadi wasilah untuk mengingat Allah swt. Dalam suatu hadis disebutkan bahwa Nabi Musa (as) berdoa walaupun untuk memohon garam untuk keperluan makanannya.
(Disarikan dari kitab Syarah Doa Jawsyan Kabir, tentang Asma Allah Yâ Mujîbât Ad-Da’âwât, oleh Sabzawari seorang filosuf dan sufi besar)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan