12 Ramadhan 1431H.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Barangkali ada baiknya kalau pada pembahasan berikut ini penulis menyebutkan beberapa bentuk pernikahan yang sudah membudaya di zaman jahiliah, lalu Islam menghapuskannya. Kemudian sebagai gantinya, Islam mengajarkan pernikahan yang dilangsungkan berdasarkan “Ijab” dan “Qabul” (serah-terima), kesukarelaan dan pilihan masing-masing pasangan, agar pembaca dapat mengetahui kedudukan rendah yang di alami kaum wanita sebelum Islam, dan kedudukan terhormat lagi mulia yang mereka raih sesudah Islam datang.
Sudah membudaya pada masyakat Jahiliah pada saat itu pernikahan-pernikahan berikut ini:
Nikahul-badl, yaitu seorang lelaki merelakan istrinya untuk lelaki lain, agar orang lain tersebut merelakan istrinya kepadanya. Tujuan pernikahan semacam ini adalah memuaskan nafsu seksual kaum laki-laki.
Nikahur rahth, yaitu sejumlah laki-laki kurang dari sepuluh orang mengauli seorang perempuan, mereka mencampurinya secara bergantian dalam selang waktu yang tidak begitu lama; setelah itu si perempuan menolak hubungan seks dengan mereka, apabila ia hamil, lalu melahirkan, maka ia memanggil semua lelaki yang telah mencampurinya itu kemudian ia menentukan ayah bayi yang baru lahir tersebut dari salah satu di antara mereka yang ia suka, lalu lelaki itu pun merimanya dan nasab bayi itupun dengan sendirinya disahkan kepada mereka berdua.
Nikahusy-syighar, yaitu pernikahan yang terjadi dengan cara, seperti seorang lelaki berkata kepada lelaki lain: Saya nikahkan kamu dengan putri saya dan sebagai balasannya engkau nikahkan aku dengan putrimu.
Nikahul istibdha’, contohnya adalah seorang suami mengatakan kepada istrinya sesudah ia bersih dari haidh, “Datanglah kepada lelaki yang terkenal dengan keberanian dan kedermawanannya itu, lalu mintalah bersenggama dengannya”. Tujuannya adalah agar ia memperoleh seseorang yang mempunyai sifat seperti sifat orang yang terkenal dengan keberanian dan kedermawanannya itu. Selagi si istri belum hamil dari hubungannya dengan laki-laki yang dimaksud, maka sang suami tidak akan mendekatinya.
Nikahul Khadan wash-shadaqah (kawin selingkuh). Adalah merupakan kebiasaan orang-orang di masa Jahiliyah menga-takan (kepada laki-laki): “Sembunyi-sembunyilah (dalam berzina) dan itu tidak apa-apa, yang tercela adalah kalau dilakukan secara terang-terangan”. Maka Islam datang mengharamkan dua bentuk hubungan seks ini, seraya Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati kerbuatan keji (zina), baik yang tampak maupun yang tersembunyi.”
Nikahul katsrah, yaitu datang sejumlah laki-laki kepada seorang perempuan yang biasa melakukan pelacuran (PSK/ pekerja seks komersial), lalu mereka melakukan hubungan sek dengannya, hingga apabila si perempuan itu hamil dan melahirkan, maka mereka pun menghadiri si perempuan jalang itu, lalu orang yang ahli dalam masalah kemiripan menentukan ayah bayi itu di antara salah seorang mereka yang paling mirip dengannya, maka bayi itu ditentukan sebagai anaknya.
Dalam masyarakat modern ini pun masih terdapat pernikahan-pernikahan (perkawinan) yang mirip dan sama dengan pernikahan-pernikahan tersebut di atas, dengan cara dan model yang baru. Sebagai contoh, apa yang disebut di zaman Jahiliah dengan nikahu istibdha’ ada di zaman kita sekarang ini, yaitu apa yang disebut dengan “proses pembuahan janin secara medis” (talqih shina’iy). Yaitu menyuntikkan sperma laki-laki lain (bukan suami) yang dikenal dengan kesuburannya ke dalam rahim seorang istri atas persetujuan dia dan suaminya. Dan ada kalanya penyuntikan itu berulang-ulang beberapa kali, bahkan adakalanya seperma pun berasal dari beberapa orang lelaki, dan laki-laki itu terkadang masih ada hubungan kerabat dengan si perempuan itu dan ada kalanya tidak demikian.
Yang sama dengan nikahul-badl di mana dahulu pernah ada di dalam masyarakat Jahiliyah adalah apa yang dikenal pada abab modern ini dan di masyarakat Amerika dengan nama “saling bergantian istri”. Gonta ganti pasangan ini dapat tercapai dengan berbagai cara, di antaranya adalah melalui permainan rullete (permainan berasal dari Italia). Ringkasnya, dalam permainan ini beberapa istri berkumpul dalam bentuk lingkaran, lalu salah seorang suami duduk di tengah-tengah lingkaran tersebut sambil memutar cermin ke arah lingkaran itu, apabila cermin itu berhenti pada salah seorang di antara para perempuan itu, maka si perempuan itu pun berdiri dan pergi bersama lelaki yang memutar cermin tadi untuk tidur bersamanya selama satu malam.
Di sana masih ada satu hal lagi yang sangat mendasar di dalam permainan gila tadi, yaitu istri si lelaki yang memutar cermin tidak diperbolehkan duduk bersama para perempuan di dalam lingkaran di saat suaminya sedang memutar cermin, karena dikhawatirkan cermin berhenti menghadap kepada istrinya sendiri, sebab pada dasarnya si suami tidak menghendakinya dan yang ia kehendaki adalah istri orang lain.
Saling bergantian istri di atas sangat mirip dengan nikah Mut’ah atau Nikah syighar yang di kenal di masa jahiliyah, sebab pembatasan waktu menggauli istri (orang lain) dalam satu malam itu membuatnya hampir sama dengan nikah mut’ah; sedangkan kerelaan menyerahkan istri untuk digauli oleh lelaki lain dengan syarat istrinya direla-kan untuk digaulinya sangat mirip dengan nikah syighar.
Nikah Mut’ah. Bentuk pernikahan ini tidak bertujuan kecuali kenikamat seksual belaka, dan itu merupakan nikah dalam jangka waktu tertentu. Adakalanya jangka waktunya itu telah sama-sama diketahui, seperti si wali mengatakan kepada laki-laki (yang akan menikah), “Saya nikahkan kamu dengan putriku”, atau “saudara perempuanku dalam jangka waktu satu hari saja”, atau “satu bulan saja”, atau “satu tahun”. Dan ada kalanya tidak diketahui jangka waktunya, seperti seseorang mengatakan, “Aku nikahkan kamu dengan putriku”, atau “dengan saudariku hingga si anu datang dari kepergiannya”. Maka apabila sehari atau sebulan berlalu, sebagaimana kesepakatan, atau si anu tadi datang dari perjalanan jauhnya, maka kedua pasangan sudah harus berpisah.
Islam pada awal mulanya membolehkan pernikahan mut’ah itu karena kondisi tertentu, yang pada awalnya untuk memberi kesempatan waktu agar jiwa siap untuk meninggalkan suatu tradisi yang biasa mereka dilakukan sebelum Islam. Ini adalah salah satu metode pendekatan yang dilakukan oleh Islam di dalam menanggulangi beberapa problematika sosial, sebagaimana terjadi ketika mengharamkan minuman keras (khamar) secara bertahap tidak sekaligus. Setelah jiwa mereka siap menerima pergeseran dari tradisi yang sudah mengakar kuat tersubut, maka nikah mut’ah diharamkan hingga hari kiamat.
Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu menuturkan tentang hal di atas: “Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami tidak membawa istri, maka di antara kami ada yang berkata, “Mengapa kita tidak mengkebiri diri saja?” Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami akan perbuatan itu, lalu beliau memberikan keringanan bagi kami nikah kontrak dengan mahar pakaian.” (Ini adalah suatu riwayat yang muttafaq ‘alaih).
Sesungguhnya diperbolehkannya nikah mut’ah itu tidak mempunyai kaedah hukum kontinu atau abadi, karena terdapat riwayat yang dinukil oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
إِنِّيْ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَأَنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ، وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا آتيَتْمُوْهُنَّ شَيْئًا.
“Sesungguhnya aku dahulu pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Maka Barangsiapa di antara kalian yang masih mempunyai ikatan mut’ah dengan mereka (para perempuan) maka hendaklah ia membebaskannya, dan janganlah kalian mengambil sesuatu yang telah diberikan kepada mereka.”
Berdasarkan hadits di atas pengharaman nikah mut’ah adalah pengharaman abadi sepanjang masa, tidak ada batas waktunya. Inilah yang dipegang teguh oleh para Ulama dan para ahli fiqih di seluruh penjuru dunia, selain sekte (agama) Syi’ah yang berpandangan bahwa nikah mut’ah adalah merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diperbolehkan di dalam Islam, dan ia utuh selagi prinsip-prinsip ajaran Islam utuh. Mereka dalam masalah ini menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat Nabi yang bukan dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan anggapan bahwa para shahabat itu tidak adil, karena tidak mengakui keberhakkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memegang tampuk Khilafah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bentuk pernikahan seperti ini, dalam pandangan pe-nulis, tidak lain hanya sebagai legalisasi dari perzinaan, dan sangat serupa dengan praktik yang dikenal pada zaman modern ini dengan hubungan perselingkuhan antara laki-laki dan perempuan, apabila kita menganggap bahwa pemberian hadiyah lelaki kepada lawan jaenisnya itu sebagai (upah) mahar.
Semua bentuk pernikahan tersebut di atas menunjukkan betapa buruknya status dan kondisi perempuan di dalam masyarakat non muslim yang komitmen kepada Islamnya, juga menunjukkan, setidaknya, tidak adanya perhatian terhadap harkat dan martabat kaum perempuan. Maka dari itu Islam menghapus semua bentuk praktik pernikahan tersebut, sekaligus mendekralasikan bahwa harkat dan martabat kaum perempuan di masyarakat yang sebenarnya tidak sejalan dengan pelecehan yang tidak layak bagi kaum perempuan sebagai sosok manusia yang seharusnya memperoleh penghormatan dan penghargaan. Islam mengganti paraktik-praktik pernikahan hina itu dengan satu bentuk pernikahan yang mempunyai nilai ikatan suci antara laki-laki dan perempuan yang dibangun di atas dasar kerelalaan, rasa cinta dan sama-sama berupaya untuk saling merealisasikan kebahagiaan di antara kedua pasangan suami-istri sepanjang hayat; sebagaimana Allah tegaskan di dalam firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir.” (Ar-Rum: 21).
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Barangkali ada baiknya kalau pada pembahasan berikut ini penulis menyebutkan beberapa bentuk pernikahan yang sudah membudaya di zaman jahiliah, lalu Islam menghapuskannya. Kemudian sebagai gantinya, Islam mengajarkan pernikahan yang dilangsungkan berdasarkan “Ijab” dan “Qabul” (serah-terima), kesukarelaan dan pilihan masing-masing pasangan, agar pembaca dapat mengetahui kedudukan rendah yang di alami kaum wanita sebelum Islam, dan kedudukan terhormat lagi mulia yang mereka raih sesudah Islam datang.
Sudah membudaya pada masyakat Jahiliah pada saat itu pernikahan-pernikahan berikut ini:
Nikahul-badl, yaitu seorang lelaki merelakan istrinya untuk lelaki lain, agar orang lain tersebut merelakan istrinya kepadanya. Tujuan pernikahan semacam ini adalah memuaskan nafsu seksual kaum laki-laki.
Nikahur rahth, yaitu sejumlah laki-laki kurang dari sepuluh orang mengauli seorang perempuan, mereka mencampurinya secara bergantian dalam selang waktu yang tidak begitu lama; setelah itu si perempuan menolak hubungan seks dengan mereka, apabila ia hamil, lalu melahirkan, maka ia memanggil semua lelaki yang telah mencampurinya itu kemudian ia menentukan ayah bayi yang baru lahir tersebut dari salah satu di antara mereka yang ia suka, lalu lelaki itu pun merimanya dan nasab bayi itupun dengan sendirinya disahkan kepada mereka berdua.
Nikahusy-syighar, yaitu pernikahan yang terjadi dengan cara, seperti seorang lelaki berkata kepada lelaki lain: Saya nikahkan kamu dengan putri saya dan sebagai balasannya engkau nikahkan aku dengan putrimu.
Nikahul istibdha’, contohnya adalah seorang suami mengatakan kepada istrinya sesudah ia bersih dari haidh, “Datanglah kepada lelaki yang terkenal dengan keberanian dan kedermawanannya itu, lalu mintalah bersenggama dengannya”. Tujuannya adalah agar ia memperoleh seseorang yang mempunyai sifat seperti sifat orang yang terkenal dengan keberanian dan kedermawanannya itu. Selagi si istri belum hamil dari hubungannya dengan laki-laki yang dimaksud, maka sang suami tidak akan mendekatinya.
Nikahul Khadan wash-shadaqah (kawin selingkuh). Adalah merupakan kebiasaan orang-orang di masa Jahiliyah menga-takan (kepada laki-laki): “Sembunyi-sembunyilah (dalam berzina) dan itu tidak apa-apa, yang tercela adalah kalau dilakukan secara terang-terangan”. Maka Islam datang mengharamkan dua bentuk hubungan seks ini, seraya Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati kerbuatan keji (zina), baik yang tampak maupun yang tersembunyi.”
Nikahul katsrah, yaitu datang sejumlah laki-laki kepada seorang perempuan yang biasa melakukan pelacuran (PSK/ pekerja seks komersial), lalu mereka melakukan hubungan sek dengannya, hingga apabila si perempuan itu hamil dan melahirkan, maka mereka pun menghadiri si perempuan jalang itu, lalu orang yang ahli dalam masalah kemiripan menentukan ayah bayi itu di antara salah seorang mereka yang paling mirip dengannya, maka bayi itu ditentukan sebagai anaknya.
Dalam masyarakat modern ini pun masih terdapat pernikahan-pernikahan (perkawinan) yang mirip dan sama dengan pernikahan-pernikahan tersebut di atas, dengan cara dan model yang baru. Sebagai contoh, apa yang disebut di zaman Jahiliah dengan nikahu istibdha’ ada di zaman kita sekarang ini, yaitu apa yang disebut dengan “proses pembuahan janin secara medis” (talqih shina’iy). Yaitu menyuntikkan sperma laki-laki lain (bukan suami) yang dikenal dengan kesuburannya ke dalam rahim seorang istri atas persetujuan dia dan suaminya. Dan ada kalanya penyuntikan itu berulang-ulang beberapa kali, bahkan adakalanya seperma pun berasal dari beberapa orang lelaki, dan laki-laki itu terkadang masih ada hubungan kerabat dengan si perempuan itu dan ada kalanya tidak demikian.
Yang sama dengan nikahul-badl di mana dahulu pernah ada di dalam masyarakat Jahiliyah adalah apa yang dikenal pada abab modern ini dan di masyarakat Amerika dengan nama “saling bergantian istri”. Gonta ganti pasangan ini dapat tercapai dengan berbagai cara, di antaranya adalah melalui permainan rullete (permainan berasal dari Italia). Ringkasnya, dalam permainan ini beberapa istri berkumpul dalam bentuk lingkaran, lalu salah seorang suami duduk di tengah-tengah lingkaran tersebut sambil memutar cermin ke arah lingkaran itu, apabila cermin itu berhenti pada salah seorang di antara para perempuan itu, maka si perempuan itu pun berdiri dan pergi bersama lelaki yang memutar cermin tadi untuk tidur bersamanya selama satu malam.
Di sana masih ada satu hal lagi yang sangat mendasar di dalam permainan gila tadi, yaitu istri si lelaki yang memutar cermin tidak diperbolehkan duduk bersama para perempuan di dalam lingkaran di saat suaminya sedang memutar cermin, karena dikhawatirkan cermin berhenti menghadap kepada istrinya sendiri, sebab pada dasarnya si suami tidak menghendakinya dan yang ia kehendaki adalah istri orang lain.
Saling bergantian istri di atas sangat mirip dengan nikah Mut’ah atau Nikah syighar yang di kenal di masa jahiliyah, sebab pembatasan waktu menggauli istri (orang lain) dalam satu malam itu membuatnya hampir sama dengan nikah mut’ah; sedangkan kerelaan menyerahkan istri untuk digauli oleh lelaki lain dengan syarat istrinya direla-kan untuk digaulinya sangat mirip dengan nikah syighar.
Nikah Mut’ah. Bentuk pernikahan ini tidak bertujuan kecuali kenikamat seksual belaka, dan itu merupakan nikah dalam jangka waktu tertentu. Adakalanya jangka waktunya itu telah sama-sama diketahui, seperti si wali mengatakan kepada laki-laki (yang akan menikah), “Saya nikahkan kamu dengan putriku”, atau “saudara perempuanku dalam jangka waktu satu hari saja”, atau “satu bulan saja”, atau “satu tahun”. Dan ada kalanya tidak diketahui jangka waktunya, seperti seseorang mengatakan, “Aku nikahkan kamu dengan putriku”, atau “dengan saudariku hingga si anu datang dari kepergiannya”. Maka apabila sehari atau sebulan berlalu, sebagaimana kesepakatan, atau si anu tadi datang dari perjalanan jauhnya, maka kedua pasangan sudah harus berpisah.
Islam pada awal mulanya membolehkan pernikahan mut’ah itu karena kondisi tertentu, yang pada awalnya untuk memberi kesempatan waktu agar jiwa siap untuk meninggalkan suatu tradisi yang biasa mereka dilakukan sebelum Islam. Ini adalah salah satu metode pendekatan yang dilakukan oleh Islam di dalam menanggulangi beberapa problematika sosial, sebagaimana terjadi ketika mengharamkan minuman keras (khamar) secara bertahap tidak sekaligus. Setelah jiwa mereka siap menerima pergeseran dari tradisi yang sudah mengakar kuat tersubut, maka nikah mut’ah diharamkan hingga hari kiamat.
Abdullah bin Mas’udradhiyallahu ‘anhu menuturkan tentang hal di atas: “Kami pernah berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kami tidak membawa istri, maka di antara kami ada yang berkata, “Mengapa kita tidak mengkebiri diri saja?” Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami akan perbuatan itu, lalu beliau memberikan keringanan bagi kami nikah kontrak dengan mahar pakaian.” (Ini adalah suatu riwayat yang muttafaq ‘alaih).
Sesungguhnya diperbolehkannya nikah mut’ah itu tidak mempunyai kaedah hukum kontinu atau abadi, karena terdapat riwayat yang dinukil oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
إِنِّيْ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَأَنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ، وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا آتيَتْمُوْهُنَّ شَيْئًا.
“Sesungguhnya aku dahulu pernah mengijinkan kalian nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Maka Barangsiapa di antara kalian yang masih mempunyai ikatan mut’ah dengan mereka (para perempuan) maka hendaklah ia membebaskannya, dan janganlah kalian mengambil sesuatu yang telah diberikan kepada mereka.”
Berdasarkan hadits di atas pengharaman nikah mut’ah adalah pengharaman abadi sepanjang masa, tidak ada batas waktunya. Inilah yang dipegang teguh oleh para Ulama dan para ahli fiqih di seluruh penjuru dunia, selain sekte (agama) Syi’ah yang berpandangan bahwa nikah mut’ah adalah merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diperbolehkan di dalam Islam, dan ia utuh selagi prinsip-prinsip ajaran Islam utuh. Mereka dalam masalah ini menolak hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat Nabi yang bukan dari keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan anggapan bahwa para shahabat itu tidak adil, karena tidak mengakui keberhakkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu memegang tampuk Khilafah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bentuk pernikahan seperti ini, dalam pandangan pe-nulis, tidak lain hanya sebagai legalisasi dari perzinaan, dan sangat serupa dengan praktik yang dikenal pada zaman modern ini dengan hubungan perselingkuhan antara laki-laki dan perempuan, apabila kita menganggap bahwa pemberian hadiyah lelaki kepada lawan jaenisnya itu sebagai (upah) mahar.
Semua bentuk pernikahan tersebut di atas menunjukkan betapa buruknya status dan kondisi perempuan di dalam masyarakat non muslim yang komitmen kepada Islamnya, juga menunjukkan, setidaknya, tidak adanya perhatian terhadap harkat dan martabat kaum perempuan. Maka dari itu Islam menghapus semua bentuk praktik pernikahan tersebut, sekaligus mendekralasikan bahwa harkat dan martabat kaum perempuan di masyarakat yang sebenarnya tidak sejalan dengan pelecehan yang tidak layak bagi kaum perempuan sebagai sosok manusia yang seharusnya memperoleh penghormatan dan penghargaan. Islam mengganti paraktik-praktik pernikahan hina itu dengan satu bentuk pernikahan yang mempunyai nilai ikatan suci antara laki-laki dan perempuan yang dibangun di atas dasar kerelalaan, rasa cinta dan sama-sama berupaya untuk saling merealisasikan kebahagiaan di antara kedua pasangan suami-istri sepanjang hayat; sebagaimana Allah tegaskan di dalam firman-Nya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir.” (Ar-Rum: 21).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan