23 Ogos 2009

Hizbullah Lebanon Bangkit Kembali

Oleh : Shah Bundy

Tiga tahun sejak serangan Israel ke Lebanon, Juli 2006, perang 34 hari itu terus menjadi perbincangan di Lebanon, terlebih pada bulan-bulan seperti sekarang yang dianggap sebagai peringatan.

Saat ini, ketika Lebanon tengah menyusun kabinet usai pemilu legislatif, hubungan Israel-Lebanon lagi-lagi tegang. Tekanan Israel agar kelompok Hizbullah tidak disertakan dalam susunan kabinet memanaskan perseteruan dua musuh bebuyutan.

Berikut ini, wawancara khusus dengan Kepala Biro Hubungan Internasional Hizbullah, Ammar Mousawy, di Beirut, sehubungan dengan perkembangan situasi hubungan Lebanon- Israel saat ini.

Gedung bertingkat di Beirut itu tampak sederhana dari luar.

Begitu pula penjagaannya, yang tampak hanya dijaga seorang lelaki dengan mengenakan T-shirt. Lelaki yang tampak seperti penjaga parkir ini pula yang mengantar kami ke lantai dua. Sebelum memasuki ruang kantor Mousawy, ada dua lelaki lagi menyambut.

Mousawy perlente dengan baju putih lengan panjang, celana hitam, sepatu hitam mengilap. Selain teh yang disiapkan pembantunya, Mousawy menawarkan rokok Marlboro.

Hanya dengan satu pertanyaan, mengenai perkembangan hubungan Israel dengan Lebanon khususnya Hizbullah pada tahun ketiga usai serangan Israel 2006, Mousawy bicara sangat sistematik tanpa terputus menggambarkan ihwal kejadian tahun 2006 sampai posisi politik Hizbullah sekarang.

Kami bangkit!!!!

”Perang JULY 2006 yang menurut Israel untuk mengambil dua sandera (maksudnya dua tentara Israel yang waktu itu disandera Hizbullah) sasarannya sebenarnya untuk menghancurkan Lebanon. Dan kami yakin Amerika Serikat terlibat langsung dengan pasokan persenjataan,” kata Mousawy.

Dengan persenjataan modern, menurut Mousawy, Israel yakin bisa menundukkan rakyat Lebanon, tetapi kemudian rakyat justru kaget, melihat kelompok muqowamah (atau kelompok resistance, begitu Mousawy menyebut kelompoknya) menghadapi Israel. Meskipun di permukaan pada pascaperang Lebanon hancur, di balik kehancuran gedung-gedung itu terlihat ketegaran bangsa Lebanon.

”Israel ternyata tidak mampu menaklukkan kelompok resistance dan rakyat Lebanon,” katanya. Kalau kemudian perang itu berhenti setelah 34 hari, menurut Mousawy itu bukanlah karena campur tangan negara lain, tetapi Israel tidak bisa mencapai apa yang ditargetkannya.

Mengutip tim investigasi Israel sendiri seusai perang, Israel dianggap kalah dalam perang. ”Perang itu sendiri perang yang sangat brutal. Kota dan desa-desa kecil hancur,” kata Mousawy menunjuk poster di dinding, berupa foto yang menunjukkan reruntuhan kota. Di poster itu tertulis: ”We rise in the midst of the rubble”

(Kami bangkit di antara reruntuhan).

Pembicaraan damai dengan Israel, menurut Mousawy, merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Persoalannya sangat kompleks, dan Mousawy melukiskan Israel sebagai pencuri yang masuk rumah, membunuhi seisi rumah. Kalau hendak bicara perdamaian, Israel harus angkat kaki dulu dari rumah itu.

Dalam visi Mousawy, Lebanon harus menjadi negeri yang kuat, bisa membela diri, dan berwibawa. Untuk mengembalikan Lebanon sebagai negeri yang kuat, diperlukan rekonsiliasi di dalam negeri. Dengan ide kabinet persatuan nasional yang sekarang dalam pembentukan, artinya semua sekte di Lebanon punya kekuatan yang seimbang. Tidak ada satu kelompok yang bisa mengklaim diri paling utama. Itulah menurut dia bagian dari pluralisme Lebanon.

Perbedaan yang terjadi di Lebanon bukanlah perbedaan agama, melainkan politik. Karena perbedaan pada hakikatnya perbedaan politik, perbedaan itu bisa diselesaikan secara baik. ”Perlu dialog, dan kami (Hizbullah) siap bekerja sama dengan siapa saja,” kata Mousawy.

Ia sempat menyinggung peranan negara lain di Lebanon, yang sifatnya memecah belah persatuan di Lebanon. Dalam konteks campur tangan internasional ini Mousawy menyinggung Indonesia, yang berbeda dibandingkan dengan negara lain. Indonesia ia anggap membantu menjembatani perbedaan-perbedaan di Lebanon.

1 ulasan:

Tanpa Nama berkata...

http://arrahmah.com/