8 Ramadhan 1431 H
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Sudah tidak diragukan lagi bahwa keturunan adalah merupakan salah satu tujuan kehidupan berumah-tangga, bahkan biasanya menjadi tujuan utama yang melingkupi cita-cita dan pemikiran masing-masing suami dan istri di saat mereka bersepakat untuk menikah.
Dan apabila terjadi kesepakatan di antara mereka berdua untuk menunda kelahiran dalam masa waktu tertentu atau untuk membatasi jumlah anak, maka kesepakatan mereka dilandasi oleh beberapa faktor atau sebab yang logis, seperti karena kondisi materi (ekonomi) mereka yang sangat sulit membuat mereka khawatir akan ketidak mampuan melaksanakan kewajiban memenuhi kebutuhan anak-anaknya, seperti menjaga kesehatan dan lain-lainnya.
Maka dari itu keduanya sepakat untuk menunda masa punya anak hinggga waktu yang lebih tepat bagi mereka, atau karena kekhawatiran mereka tidak mampu mendidik dan mengarahkan anak-anaknya dengan baik apabila anak mereka terlalu banyak, atau karena proses kehamilan dan kelahiran akan berpengaruh secara langsung terhadap kesehatan ibu (sang istri). Kesepakan seperti itu boleh-boleh saja dan tidak berdosa.
Cara-cara untuk menunda kehamilan atau untuk membatasi jumlah anak cukup banyak, ada yang sudah dikenal sejak dahulu dengan sebutan “al-’azal” (mengeluarkan sperma di luar vagina). Ini merupakan salah satu cara untuk mencegah kehamilan yang dibenarkan oleh para ahli fiqih dengan syarat persetuan istri.
Dalil yang mereka jadikan sandaran adalah hadits yang bersumber dari Usamah bin Zaid di dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim, bahwasanya ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya saya melakukan ‘azal dari istriku”.
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Kenapa kamu lakukan itu?” Ia menjawab, “Aku merasa sangat kasihan terhadap anaknya” atau “anak-anaknya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau ia berbahaya, niscaya akan membahayakan Bangsa Persia dan Romawi.”
Di dalam riwayat muttafaq ‘alaih disebutkan: “Kami pernah melakukan ‘azal pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Al-Qur’an masih diturunkan.”
Dua hadits tadi secara tegas membenarkan ‘azal sebagai cara untuk menghalangi kehamilan.
Cara yang lain adalah cara modern, yaitu:
- Memakan pil anti hamil, baik itu dilakukan oleh suami ataupun oleh istri.
- Melakukan pemandulan terhadap salah satu di antara suami-istri.
- Menentukan waktu persetubuhan pada hari-hati tertentu pada setiap bulan.
Menurut pendapat penulis, yang afdhalnya adalah tidak memberhentikan kehamilan atau melakukan pembatasan jumlah anak apabila tidak ada sebab-sebab yang mendasar yang mengharuskan untuk melakukan hal tersebut, karena tindakan seperti itu dapat berakibat mengurangi kwantitas atau jumlah kaum muslimin di hadapan makin membengkaknya jumlah musuh,
di mana Al-Qur’an memerintahkan agar kaum muslimin mengadakan persiapan melawan mereka dengan segala cara yang mungkin dilakukan, yang di antaranya adalah memperbanyak jumlah kaum muslimin.
Lain dari itu, mencegah kehamilan secara tuntas atau membatasi jumlah anak dengan jumlah kecil sekali sangat bertolak-belakang dengan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam,
تَنَاكَحُوْا تَنَاسَلُوْا، فَإِنِّيْ مُبَاهٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Berlomba-lombalah kamu menikah dan memperbanyak keturunan, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan kalian di hadapan semua umat pada hari kiamat kelak.”
Rasa takut dan khawatir akan kemiskinan, sakit atau lainnya terhadap masa depan anak-anak adalah suatu indikator (bukti) atas lemahnya iman seseorang kepada Tuhannya dan tidak adanya sikap tawakkal dan pasrah kepada-Nya.
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Sudah tidak diragukan lagi bahwa keturunan adalah merupakan salah satu tujuan kehidupan berumah-tangga, bahkan biasanya menjadi tujuan utama yang melingkupi cita-cita dan pemikiran masing-masing suami dan istri di saat mereka bersepakat untuk menikah.
Dan apabila terjadi kesepakatan di antara mereka berdua untuk menunda kelahiran dalam masa waktu tertentu atau untuk membatasi jumlah anak, maka kesepakatan mereka dilandasi oleh beberapa faktor atau sebab yang logis, seperti karena kondisi materi (ekonomi) mereka yang sangat sulit membuat mereka khawatir akan ketidak mampuan melaksanakan kewajiban memenuhi kebutuhan anak-anaknya, seperti menjaga kesehatan dan lain-lainnya.
Maka dari itu keduanya sepakat untuk menunda masa punya anak hinggga waktu yang lebih tepat bagi mereka, atau karena kekhawatiran mereka tidak mampu mendidik dan mengarahkan anak-anaknya dengan baik apabila anak mereka terlalu banyak, atau karena proses kehamilan dan kelahiran akan berpengaruh secara langsung terhadap kesehatan ibu (sang istri). Kesepakan seperti itu boleh-boleh saja dan tidak berdosa.
Cara-cara untuk menunda kehamilan atau untuk membatasi jumlah anak cukup banyak, ada yang sudah dikenal sejak dahulu dengan sebutan “al-’azal” (mengeluarkan sperma di luar vagina). Ini merupakan salah satu cara untuk mencegah kehamilan yang dibenarkan oleh para ahli fiqih dengan syarat persetuan istri.
Dalil yang mereka jadikan sandaran adalah hadits yang bersumber dari Usamah bin Zaid di dalam riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim, bahwasanya ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya saya melakukan ‘azal dari istriku”.
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Kenapa kamu lakukan itu?” Ia menjawab, “Aku merasa sangat kasihan terhadap anaknya” atau “anak-anaknya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau ia berbahaya, niscaya akan membahayakan Bangsa Persia dan Romawi.”
Di dalam riwayat muttafaq ‘alaih disebutkan: “Kami pernah melakukan ‘azal pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal Al-Qur’an masih diturunkan.”
Dua hadits tadi secara tegas membenarkan ‘azal sebagai cara untuk menghalangi kehamilan.
Cara yang lain adalah cara modern, yaitu:
- Memakan pil anti hamil, baik itu dilakukan oleh suami ataupun oleh istri.
- Melakukan pemandulan terhadap salah satu di antara suami-istri.
- Menentukan waktu persetubuhan pada hari-hati tertentu pada setiap bulan.
Menurut pendapat penulis, yang afdhalnya adalah tidak memberhentikan kehamilan atau melakukan pembatasan jumlah anak apabila tidak ada sebab-sebab yang mendasar yang mengharuskan untuk melakukan hal tersebut, karena tindakan seperti itu dapat berakibat mengurangi kwantitas atau jumlah kaum muslimin di hadapan makin membengkaknya jumlah musuh,
di mana Al-Qur’an memerintahkan agar kaum muslimin mengadakan persiapan melawan mereka dengan segala cara yang mungkin dilakukan, yang di antaranya adalah memperbanyak jumlah kaum muslimin.
Lain dari itu, mencegah kehamilan secara tuntas atau membatasi jumlah anak dengan jumlah kecil sekali sangat bertolak-belakang dengan sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam,
تَنَاكَحُوْا تَنَاسَلُوْا، فَإِنِّيْ مُبَاهٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Berlomba-lombalah kamu menikah dan memperbanyak keturunan, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan kalian di hadapan semua umat pada hari kiamat kelak.”
Rasa takut dan khawatir akan kemiskinan, sakit atau lainnya terhadap masa depan anak-anak adalah suatu indikator (bukti) atas lemahnya iman seseorang kepada Tuhannya dan tidak adanya sikap tawakkal dan pasrah kepada-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan