19 Ramadhan 1431H.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Setelah Allah menjelaskan hukum tuduhan secara umum, Allah memberikan pengecualian tuduhan suami terhadap istrinya yang disebut li’aan. Disebut demikian, karena masing-masing suami dan istri, pada kesaksian kelima yang ia berikan mengutuk dirinya sendiri jika di dalam pengakuannya ia dusta. Apabila seorang suami menuduh istrinya telah berzina, namun tidak ada seorang saksi pun yang menyaksikan perbuatan itu selain dia, sedang ia tidak menerima perbuatan tersebut, maka ia memberikan kesaksian, yaitu dengan bersumpah empat kali atas nama Allah bahwasanya tuduhannya terhadap istrinya adalah benar. Kemudian pada kesaksiannya yang kelima ia menyatakan siap menerima kutukan Allah jika ia berdusta.
Istri yang tertuduh pun harus memberikan kesaksian (bila tidak mengakui tuduhan suaminya) dengan bersumpah atas nama Allah empat kali dan pada kesaksiannya yang kelima ia menambahkan siap menerima murka Allah, jika tuduhan suaminya itu benar. Maka dengan begitu sang istri dibebaskan dari ancaman hukuman zina dan diceraikan dari suaminya dengan talak ba’in (selama-lamanya) tidak boleh ada rujuk. Jika si istri sedang hamil, maka anaknya tidak dinasabkan kepada suami melainkan kepada istrinya saja.
Peristiwa yang melatarbelakangi turunnya hukum mula’anah tersebut di atas adalah peristiwa Hilal bin Umayyah, ia memberitahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa istrinya telah melakukan zina dengan lelaki lain.
Ada beberapa riwayat shahih mengenai peristiwa itu, di antaranya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya yang berasal dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menuturkan: Tatkala diturunkan ayat: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (Q.S.24:4). Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu yang merupakan salah seorang tokoh kaum Anshor terkemuka berkata, “Apakah seperti itu diturunkan wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Wahai segenap kaum Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh sesepuh kalian?” Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, jangan engkau cela dia, karena dia adalah seorang yang pencemburu; dan demi Allah, ia tidak pernah menikah kecuali dengan gadis, dan dia tidak pernah mentalak seorang perempuan pun kemudian menikahi bekas istrinya itu karena ada orang lain disebabkan kecemburuannya yang sangat tinggi.”
Lalu Sa’ad berkata, “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku benar-benar percaya bahwa ayat itu haq (benar) dan benar-benar dari sisi Allah. Hanya saja aku kaget, dan sesungguhnya kalau sekiranya aku temukan istri berselingkuh dan seorang lelaki sedang menyetubuhinya, aku tidak bisa mengusiknya kecuali setelah aku datang dengan empat orang saksi. Demi Allah, aku dan empat saksi itu tidak akan memergokinya kecuali kalau ia telah selesai memenuhi hajatnya (menyetubuhinya).”
Ibnu Abbas menuturkan: Tidak lama kemudian datanglah Hilal bin Umayyah. Ia pulang dari kebunnya di waktu petang, dan seketika ia mengetahui ada seorang lelaki dirumahnya. Ia telah melihat dengan kedua matanya dan ia dengar dengan kedua telinganya (akan apa yang terjadi), namun ia tidak memergokinya hingga pagi hari. Lalu ia pergi ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Ya Rasulullah, Sesungguhnya aku (kemarin) pulang kerumah di waktu Isya’ dan aku temukan di rumahku ada seorang lelaki, aku pun melihat dengan kedua mata kepalaku dan aku mendengar dengan kedua telingaku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tampak tidak suka terhadap berita yang disampaikan kepadanya dan beliau malah marah. Kaum Anshor pun berkumpul mengerumini beliau dan berkata, “Kami bebar-benar telah mendapat cobaan dengan apa yang telah dikatakan oleh Sa’ad bin Ubadah, hampir pasti Rasulullah akan meng-gampar Hilal bin Umayyah dan menolak kesaksiannya di tengah-tengah orang banyak.”
Lalu Hilal berkata, “Aku benar-benar berharap semoga Allah memberikan jalan keluar.” Kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, Aku benar-benar telah melihat perasaan beratmu terhadap apa yang aku beritakan, namun Allah mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah benar.” Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah hendak menyuruh agar aku dipukul, namun seketika Allah menurunkan wahyu-Nya. Dan biasanya kalau akan menerima wahyu para shahabat mengetahuinya pada raut wajah beliau. Maka pada saat itu turunlah ayat:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah bersumpah empat kali dengan nama Allah.” (An-Nur: 6).
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun gembira dan beliau kemudian bersabda, “Bergembiralah wahai Hilal, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar bagimu.”
Lalu Hilal berkata, “Sesungguhnya aku mengharapkannya begitu dari Tuhanku Allah Subhaanahu Wata'ala.” Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Panggil dia (istrinya).” Maka para sahabat pun menjemput dan membawanya ke hadapan Nabi, lalu beliau membacakan (ayat yang baru saja diturunkan itu) kepada keduanya sambil mengingatkan mereka berdua bahwa adzab di akhirat kelak itu lebih dahsyat daripada adzab di dunia.
Hilal pun kemudian berkata, “Demi Allah, ya Rasulallah”. Lalu ia bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa ia adalah orang yang benar. Maka pada sumpah yang kelima Hilal diingatkan, “Wahai Hilal, takutlah kepada Allah, karena sesungguhnya hukuman (adzab) dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat, dan sumpah yang kelima ini benar-benar memastikan adzab menimpamu (bila kamu berdusta).”
Maka Hilal berkata, “Demi Allah, Aku tidak akan diadzab oleh Allah atas sumpah (kelima ini) sebagaimana aku tidak akan didera karenanya.” Lalu ia pun melakukan sumpah yang kelima dengan menyatakan kutukan Allah terhadapnya bila ia berduta (dalam tuduhannya).
Setelah itu istrinya disuruh bersumpah: “Bersumpahlah kamu empat kali dengan nama Allah dengan menyatakan bahwa ia (suaminya) dusta.” Lalu pada sumpah yang kelima ia diingatkan, “Takutlah kamu kepada Allah, sesungguhnya adzab Allah di dunia ini lebih ringan daripada adzab-Nya di akhirat, dan sumpah yang kelima ini memastikan kamu ditimpa adzab (bila kamu berdusta).”
Maka perempuan itu pun terhenti sejenak, gugup dan hampir saja ia mengakui, tapi lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mencemarkan nama baik margaku.” Maka ia pun memberikan sumpahnya yang kelima dengan menyatakan bahwa murka Allah akan menimpanya bila suaminya adalah benar (di dalam tuduhannya).
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memisahkan pasangan suami-istri itu dan memutuskan agar tidak ada yang menisbatkan anak yang dikandungnya kepada seorang bapak pun dan anaknya tidak boleh dituduh anak zina, dan Barangsiapa yang menuduh anaknya (sebagai anak zina) maka ia harus didera. Nabi juga memutuskan bahwa suaminya sudah tidak berkewajiban memberinya tempat tinggal atau pun nafkah.
Yang demikian itu disebabkan pemisahan keduanya bukan disebabkan perceraian (talak) atau pun karena suaminya meninggal. Maka dari itu istri tidak mempunyai hak-hak apapun. Dan beliau bersabda, “Kalau nanti anaknya berambut kekuning-kuningan, berpaha kurus dan berbetis kecil, maka itu berati anak Hilal. Tetapi jika lahir dengan rambut tebal keriting, berkaki besar dan berpinggul lebar, maka anak itu adalah anak lelaki yang dituduh (berzina dengan istrinya).” Di kemudian hari kandungan itu dilahirkan dengan berambut keriting tebal, berkaki besar dan berpinggul lebar. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau sekiranya bukan karena sumpah, niscaya aku punya perhitungan terhadap dia (perempuan itu).”
Dari kisah ajaib di ataslah bermula kisah peristiwa li’an yang terjadi di dalam Islam. Kita bisa melihat bagaimana sesungguhnya Islam, di samping perhatiannya yang serius dalam upaya menjauhkan setiap apa saja yang dapat mencemarkan martabat dan kehormatan manusia muslim, juga sangat berhati-hati di dalam setiap masalah, terutama di dalam masalah yang menyangkut harga diri, agar kondisi masyarakat tetap terjaga kebersihannya dari berbagai tuduhan dan berbagai akibat buruk yang timbul karenanya.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Setelah Allah menjelaskan hukum tuduhan secara umum, Allah memberikan pengecualian tuduhan suami terhadap istrinya yang disebut li’aan. Disebut demikian, karena masing-masing suami dan istri, pada kesaksian kelima yang ia berikan mengutuk dirinya sendiri jika di dalam pengakuannya ia dusta. Apabila seorang suami menuduh istrinya telah berzina, namun tidak ada seorang saksi pun yang menyaksikan perbuatan itu selain dia, sedang ia tidak menerima perbuatan tersebut, maka ia memberikan kesaksian, yaitu dengan bersumpah empat kali atas nama Allah bahwasanya tuduhannya terhadap istrinya adalah benar. Kemudian pada kesaksiannya yang kelima ia menyatakan siap menerima kutukan Allah jika ia berdusta.
Istri yang tertuduh pun harus memberikan kesaksian (bila tidak mengakui tuduhan suaminya) dengan bersumpah atas nama Allah empat kali dan pada kesaksiannya yang kelima ia menambahkan siap menerima murka Allah, jika tuduhan suaminya itu benar. Maka dengan begitu sang istri dibebaskan dari ancaman hukuman zina dan diceraikan dari suaminya dengan talak ba’in (selama-lamanya) tidak boleh ada rujuk. Jika si istri sedang hamil, maka anaknya tidak dinasabkan kepada suami melainkan kepada istrinya saja.
Peristiwa yang melatarbelakangi turunnya hukum mula’anah tersebut di atas adalah peristiwa Hilal bin Umayyah, ia memberitahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa istrinya telah melakukan zina dengan lelaki lain.
Ada beberapa riwayat shahih mengenai peristiwa itu, di antaranya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanadnya yang berasal dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menuturkan: Tatkala diturunkan ayat: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (Q.S.24:4). Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu yang merupakan salah seorang tokoh kaum Anshor terkemuka berkata, “Apakah seperti itu diturunkan wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Wahai segenap kaum Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh sesepuh kalian?” Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, jangan engkau cela dia, karena dia adalah seorang yang pencemburu; dan demi Allah, ia tidak pernah menikah kecuali dengan gadis, dan dia tidak pernah mentalak seorang perempuan pun kemudian menikahi bekas istrinya itu karena ada orang lain disebabkan kecemburuannya yang sangat tinggi.”
Lalu Sa’ad berkata, “Ya Rasulallah, sesungguhnya aku benar-benar percaya bahwa ayat itu haq (benar) dan benar-benar dari sisi Allah. Hanya saja aku kaget, dan sesungguhnya kalau sekiranya aku temukan istri berselingkuh dan seorang lelaki sedang menyetubuhinya, aku tidak bisa mengusiknya kecuali setelah aku datang dengan empat orang saksi. Demi Allah, aku dan empat saksi itu tidak akan memergokinya kecuali kalau ia telah selesai memenuhi hajatnya (menyetubuhinya).”
Ibnu Abbas menuturkan: Tidak lama kemudian datanglah Hilal bin Umayyah. Ia pulang dari kebunnya di waktu petang, dan seketika ia mengetahui ada seorang lelaki dirumahnya. Ia telah melihat dengan kedua matanya dan ia dengar dengan kedua telinganya (akan apa yang terjadi), namun ia tidak memergokinya hingga pagi hari. Lalu ia pergi ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Ya Rasulullah, Sesungguhnya aku (kemarin) pulang kerumah di waktu Isya’ dan aku temukan di rumahku ada seorang lelaki, aku pun melihat dengan kedua mata kepalaku dan aku mendengar dengan kedua telingaku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tampak tidak suka terhadap berita yang disampaikan kepadanya dan beliau malah marah. Kaum Anshor pun berkumpul mengerumini beliau dan berkata, “Kami bebar-benar telah mendapat cobaan dengan apa yang telah dikatakan oleh Sa’ad bin Ubadah, hampir pasti Rasulullah akan meng-gampar Hilal bin Umayyah dan menolak kesaksiannya di tengah-tengah orang banyak.”
Lalu Hilal berkata, “Aku benar-benar berharap semoga Allah memberikan jalan keluar.” Kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, Aku benar-benar telah melihat perasaan beratmu terhadap apa yang aku beritakan, namun Allah mengetahui bahwa sesungguhnya aku adalah benar.” Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sudah hendak menyuruh agar aku dipukul, namun seketika Allah menurunkan wahyu-Nya. Dan biasanya kalau akan menerima wahyu para shahabat mengetahuinya pada raut wajah beliau. Maka pada saat itu turunlah ayat:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah bersumpah empat kali dengan nama Allah.” (An-Nur: 6).
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun gembira dan beliau kemudian bersabda, “Bergembiralah wahai Hilal, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar bagimu.”
Lalu Hilal berkata, “Sesungguhnya aku mengharapkannya begitu dari Tuhanku Allah Subhaanahu Wata'ala.” Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Panggil dia (istrinya).” Maka para sahabat pun menjemput dan membawanya ke hadapan Nabi, lalu beliau membacakan (ayat yang baru saja diturunkan itu) kepada keduanya sambil mengingatkan mereka berdua bahwa adzab di akhirat kelak itu lebih dahsyat daripada adzab di dunia.
Hilal pun kemudian berkata, “Demi Allah, ya Rasulallah”. Lalu ia bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa ia adalah orang yang benar. Maka pada sumpah yang kelima Hilal diingatkan, “Wahai Hilal, takutlah kepada Allah, karena sesungguhnya hukuman (adzab) dunia itu lebih ringan daripada adzab di akhirat, dan sumpah yang kelima ini benar-benar memastikan adzab menimpamu (bila kamu berdusta).”
Maka Hilal berkata, “Demi Allah, Aku tidak akan diadzab oleh Allah atas sumpah (kelima ini) sebagaimana aku tidak akan didera karenanya.” Lalu ia pun melakukan sumpah yang kelima dengan menyatakan kutukan Allah terhadapnya bila ia berduta (dalam tuduhannya).
Setelah itu istrinya disuruh bersumpah: “Bersumpahlah kamu empat kali dengan nama Allah dengan menyatakan bahwa ia (suaminya) dusta.” Lalu pada sumpah yang kelima ia diingatkan, “Takutlah kamu kepada Allah, sesungguhnya adzab Allah di dunia ini lebih ringan daripada adzab-Nya di akhirat, dan sumpah yang kelima ini memastikan kamu ditimpa adzab (bila kamu berdusta).”
Maka perempuan itu pun terhenti sejenak, gugup dan hampir saja ia mengakui, tapi lalu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mencemarkan nama baik margaku.” Maka ia pun memberikan sumpahnya yang kelima dengan menyatakan bahwa murka Allah akan menimpanya bila suaminya adalah benar (di dalam tuduhannya).
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memisahkan pasangan suami-istri itu dan memutuskan agar tidak ada yang menisbatkan anak yang dikandungnya kepada seorang bapak pun dan anaknya tidak boleh dituduh anak zina, dan Barangsiapa yang menuduh anaknya (sebagai anak zina) maka ia harus didera. Nabi juga memutuskan bahwa suaminya sudah tidak berkewajiban memberinya tempat tinggal atau pun nafkah.
Yang demikian itu disebabkan pemisahan keduanya bukan disebabkan perceraian (talak) atau pun karena suaminya meninggal. Maka dari itu istri tidak mempunyai hak-hak apapun. Dan beliau bersabda, “Kalau nanti anaknya berambut kekuning-kuningan, berpaha kurus dan berbetis kecil, maka itu berati anak Hilal. Tetapi jika lahir dengan rambut tebal keriting, berkaki besar dan berpinggul lebar, maka anak itu adalah anak lelaki yang dituduh (berzina dengan istrinya).” Di kemudian hari kandungan itu dilahirkan dengan berambut keriting tebal, berkaki besar dan berpinggul lebar. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau sekiranya bukan karena sumpah, niscaya aku punya perhitungan terhadap dia (perempuan itu).”
Dari kisah ajaib di ataslah bermula kisah peristiwa li’an yang terjadi di dalam Islam. Kita bisa melihat bagaimana sesungguhnya Islam, di samping perhatiannya yang serius dalam upaya menjauhkan setiap apa saja yang dapat mencemarkan martabat dan kehormatan manusia muslim, juga sangat berhati-hati di dalam setiap masalah, terutama di dalam masalah yang menyangkut harga diri, agar kondisi masyarakat tetap terjaga kebersihannya dari berbagai tuduhan dan berbagai akibat buruk yang timbul karenanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan