7 Safar 1433H. [MOD] -
Oleh: Jarjani Usman
“Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Qashash: 77).
Di saat orang lain ditakdirkan hidup di antara kita, kebersamaan kadangkala tak termaknakan secukupnya. Tidak jarang, kesempatan untuk bersama dirubah menjadi ajang permusuhan. Akibatnya, hidup bermakna perpecahan, yang melahirkan ketidakdamaian. Ketidakdamaian membuat hidup yang singkat semakin singkat, kebahagiaan menjadi kesengsaraan, kesempatan menjadi kesempitan, dan persaudaraan menjadi permusuhan.
Padahal telah diingatkan, hidup di dunia ini tak lebih dari sekali. Seperti setiap hari bisa disaksikan atau didengar, satu-satu di antara kita pergi menghadap Ilahi. Tak jarang juga secara beramai-ramai, seperti saat terjadi musibah gempa dan tsunami. Tak ada yang kembali, meskipun serak suara dan habis airmata menangisinya.
Seandainya musibah yang menimpa orang sebelumnya senantiasa diingat sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup ini, sungguh besar makna hidup ini yang bisa dipungut oleh orang-orang yang masih tersisa. Sekurang-kurangnya, hidup dijadikan saat-saat untuk menjaga kebersamaan dengan orang-orang yang masih hidup. Hidup adalah saat berbagi kenikmatan sebagai rezeki dari Allah dan mensyukurinya. Yang demikian bisa membuat kita bukan hanya mampu menangis di saat orang lain mengalami kematian, tetapi juga memberi kesempatan seluas-luasnya bagi kita untuk mempersiapkan diri sebelum mati.
Serambi Indonesia/-
Oleh: Jarjani Usman
“Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Qashash: 77).
Di saat orang lain ditakdirkan hidup di antara kita, kebersamaan kadangkala tak termaknakan secukupnya. Tidak jarang, kesempatan untuk bersama dirubah menjadi ajang permusuhan. Akibatnya, hidup bermakna perpecahan, yang melahirkan ketidakdamaian. Ketidakdamaian membuat hidup yang singkat semakin singkat, kebahagiaan menjadi kesengsaraan, kesempatan menjadi kesempitan, dan persaudaraan menjadi permusuhan.
Padahal telah diingatkan, hidup di dunia ini tak lebih dari sekali. Seperti setiap hari bisa disaksikan atau didengar, satu-satu di antara kita pergi menghadap Ilahi. Tak jarang juga secara beramai-ramai, seperti saat terjadi musibah gempa dan tsunami. Tak ada yang kembali, meskipun serak suara dan habis airmata menangisinya.
Seandainya musibah yang menimpa orang sebelumnya senantiasa diingat sebagai bagian tak terpisahkan dari hidup ini, sungguh besar makna hidup ini yang bisa dipungut oleh orang-orang yang masih tersisa. Sekurang-kurangnya, hidup dijadikan saat-saat untuk menjaga kebersamaan dengan orang-orang yang masih hidup. Hidup adalah saat berbagi kenikmatan sebagai rezeki dari Allah dan mensyukurinya. Yang demikian bisa membuat kita bukan hanya mampu menangis di saat orang lain mengalami kematian, tetapi juga memberi kesempatan seluas-luasnya bagi kita untuk mempersiapkan diri sebelum mati.
Serambi Indonesia/-
Tiada ulasan:
Catat Ulasan