18 Syawal 1431H.
Oleh : Jarjani Usman
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya Allah yang kamu sembah” (QS. Al-Baqarah: 172).
Seorang ulama sufi bertanya kepada seorang sahabatnya yang telah menunaikan ibadah haji, “Ketika melakukan Ihram, apakah kamu bertekad mengharamkan dirimu terhadap semua yang diharamkan oleh Allah?” Pertanyaan itu membuat sahabatnya bersedih dan bahkan menangis, karena merasa tidak memiliki tekad demikian waktu itu. Akibatnya, ia merasa dirinya belum sempurna melaksanakan ibadah haji.
Pertanyaan semacam itu penting kiranya ditanyakan kepada diri kita, terutama yang akan berangkat ke Tanah Suci. Tujuannya agar benar-benar siap ketika melaksanakan ibadah Haji dan menjadi manusia yang berakhlak layaknya calon penghuni surga, sebagaimana balasan yang dijanjikan bagi yang mendapat haji mabrur.
Apalagi, ada di antara kita, meskipun telah menunaikan ibadah haji, belum berubah perangai buruknya. Perbuatan-perbuatan buruk yang pernah dilakukan sebelumnya masih gemar dilakukan, meskipun sudah dipanggil Haji. Bahkan, gelar Haji membuat sebahagian orang merasa dirinya telah berderajat lebih tinggi dari derajat orang-orang yang belum menunaikannya.
Padahal, tidak akan pernah bersatu antara yang baik dengan yang buruk. Sesuatu yang buruk, bila digunakan untuk yang baik, akan tertolak dengan sendirinya. Tak terkecuali bekal untuk beribadah haji. Bila dipaksa menggunakan yang buruk, maka akan lahir kejahatan-kejahatan lainnya, seperti rasa ujub, takabur, riya’, dan sejenisnya. Apalagi Allah memastikan bahwa yang diterimaNya hanya yang baik-baik saja. Dengan demikian, salah satu tanda belum hajinya seseorang bila belum bertekad untuk bertahan di jalur kebaikan.
Oleh : Jarjani Usman
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya Allah yang kamu sembah” (QS. Al-Baqarah: 172).
Seorang ulama sufi bertanya kepada seorang sahabatnya yang telah menunaikan ibadah haji, “Ketika melakukan Ihram, apakah kamu bertekad mengharamkan dirimu terhadap semua yang diharamkan oleh Allah?” Pertanyaan itu membuat sahabatnya bersedih dan bahkan menangis, karena merasa tidak memiliki tekad demikian waktu itu. Akibatnya, ia merasa dirinya belum sempurna melaksanakan ibadah haji.
Pertanyaan semacam itu penting kiranya ditanyakan kepada diri kita, terutama yang akan berangkat ke Tanah Suci. Tujuannya agar benar-benar siap ketika melaksanakan ibadah Haji dan menjadi manusia yang berakhlak layaknya calon penghuni surga, sebagaimana balasan yang dijanjikan bagi yang mendapat haji mabrur.
Apalagi, ada di antara kita, meskipun telah menunaikan ibadah haji, belum berubah perangai buruknya. Perbuatan-perbuatan buruk yang pernah dilakukan sebelumnya masih gemar dilakukan, meskipun sudah dipanggil Haji. Bahkan, gelar Haji membuat sebahagian orang merasa dirinya telah berderajat lebih tinggi dari derajat orang-orang yang belum menunaikannya.
Padahal, tidak akan pernah bersatu antara yang baik dengan yang buruk. Sesuatu yang buruk, bila digunakan untuk yang baik, akan tertolak dengan sendirinya. Tak terkecuali bekal untuk beribadah haji. Bila dipaksa menggunakan yang buruk, maka akan lahir kejahatan-kejahatan lainnya, seperti rasa ujub, takabur, riya’, dan sejenisnya. Apalagi Allah memastikan bahwa yang diterimaNya hanya yang baik-baik saja. Dengan demikian, salah satu tanda belum hajinya seseorang bila belum bertekad untuk bertahan di jalur kebaikan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan