27 Ramadhan 1434 H. [MOD] -
Ustaz Abu Muhammad Harits, |
Bulan Rejab tahun ke sembilan hijrah. Panas menyengat kota Madinah. Pasir dan batu bagaikan bara api. Tetapi pada saat itu buah-buahan sedang ranum untuk dipetik. Sehingga betul-betul menggoda hati untuk tidak beranjak menikmati teduhnya naungan, menanti untuk dituai.
Sebab-sebab Peperangan
Setelah jatuhnya Makkah ke pangkuan Islam. Hilanglah keraguan terhadap risalah yang dibawa Manusia Agung, Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdul Muththalib SAW. Manusiapun memeluk Islam berbondong-bondong. Kaum musliminpun mulai tenang mempelajari syariat Islam di tempat masing-masing.
Tetapi, nun jauh di utara, di luar bumi Hijaz. Satu kekuatan besar mengancam perkembangan agama yang baru bersemi ini. Kekuatan empayar Rom.
Sebuah kekuatan imperial yang menguasai belahan bumi bahagian barat. Negara yang sudah memiliki strata peradaban yang maju untuk ukuran ketamadunan ketika itu. Jauh melampaui negara-negara Arab yang ada. Bahkan kekuatan kabilah Arab yang ada seperti Quraisy, tidak ada tandingannya berbandingnya kekuatan empayar Rom.
Setelah terbunuhnya utusan Rasulullah SAW, Al-Harits bin ‘Umair Al-Azdi di tangan Syurahbil bin ‘Amr Al-Ghassani, beliaupun mengirim pasukan Zaid bin Haritsah hingga terjadi pertempuran sengit di Mu’tah dengan gugurnya para panglima pasukan muslimin; Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Rawahah .
Akan tetapi peristiwa ini tidak diperhitungkan oleh Hercules, raja Rom ketika itu. Sehingga dia tidak merasa perlu melakukan perjanjian damai dengan kaum muslimin untuk menjaga keamanan wilayah kekuasaannya.
Bagi kabilah Arab lainnya yang menjadi jajahan Rom, peristiwa Mu`tah telah memberi pengaruh begitu dalam. Satu demi satu mereka melepaskan diri dari kekuasaan Rom.
Setelah melihat perkembangan inilah Hercules baru menyadari betapa perlunya menyiapkan pasukan untuk menumpas gerakan kaum muslimin agar tidak mengganggu kekuasaan Rom. Maka Hercules pun segera menggerakkan rakyatnya.
Sampailah berita ke kota Madinah tentang persiapan tentara Rom untuk menyerang kaum muslimin. Berita ini cukup membimbangkan para sahabat di Madinah. kebimbangan ini jelas dari dialog antara Umar al-Khattab dan seorang sahabat Ansar.
Pada saat itu, Rasulullah SAW sedang memboikot isteri-isterinya selama satu bulan dan menyendiri di tingkat atas rumah baginda.
Waktu itu, Umar al-Khattab dan sahabat Ansar itu saling bergiliran hadir di majlis Rasulullah SAW. Suatu ketika sahabat Ansar itu datang mengetuk pintu Umar. Umar lantas membuka pintu dengan bergegas dan berkata: “Ada apa? Apakah pasukan Ghassan (Rom) sudah menyerang?”
“Bukan. Ada yang lebih dahsyat dari itu. Rasulullah SAW menceraikan isteri-isteri baginda,” kata sahabat tersebut.
Inilah salah satu yang menunjukkan gentingnya keadaan saat itu.
Masjid Dhirar
Sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, ada seorang tokoh dari Khazraj digelar Abu Amir Ar-Rahib (Si Pendeta). Pada masa jahiliyah, dia memeluk agama Kristian dan membaca ilmu ahli kitab. Dia rajin beribadah ketika itu dan mempunyai kedudukan mulia dalam kalangan orang-orang Khazraj.
Setelah Rasulullah SAW tiba sebagai muhajirin di Madinah, dan kaum muslimin bersatu mendukung baginda, lalu Islam memiliki kemuliaan dan Allah memenangkan mereka dalam perang Badr, Abu Amir menelan kepahitan hingga diapun menampakkan permusuhan dan lari bergabung dengan orang-orang kafir Makkah, menghasut mereka agar memerangi Rasulullah SAW. Dia juga yang menggali lubang perangkap dalam peperangan hingga Rasulullah SAW jatuh di salah satu lubang perangkap tersebut.
Suatu ketika Abu Amir cuba memujuk orang-orang Ansar agar menyokong dan membelanya. Tetapi dia menerima cercaan dari orang-orang Ansar. Rasulullah SAW sendiri pernah mengajaknya kepada Islam dan membacakan al-Qur’an kepadanya, namun dia menolak dan menentang. Akhirnya Rasulullah SAW mendoakannya mati sebatang kara terusir dari tanah airnya.
Hal itu menjadi kenyataan. Ketika dia melihat kedudukan Rasulullah SAW semakin tinggi, dia lari ke Syam bergabung dengan Hercules, meminta bantuan kepadanya memerangi Nabi SAW. Hercules menjanjikan dan mengizinkannya tinggal di negerinya. Kemudian Abu Amir menulis surat kepada beberapa orang yang masih menyokongnya dari kalangan Ansar yang munafik. Dia menjanjikan bahawa akan ada bantuan untuk memerangi Rasulullah SAW serta mengembalikan kedudukannya di tengah-tengah kaumnya.
Untuk memudahkan perancangannya, Abu Amir memerintahkan penyokongnya untuk membuat satu markas mengintip keadaan kaum muslimin jika bantuan itu datang. Akhirnya merekapun segera membangun sebuah masjid yang berdekatan dengan Masjid Quba. Masjid itu selesai sebelum Rasulullah SAW berangkat menuju Tabuk.
Merekapun datang meminta agar Rasulullah SAW solat di masjid tersebut sebagai bukti bahawa baginda telah merestui. Mereka memberi alasan bahawa masjid itu dibangun untuk menampung kalau ada yang sakit dan mengalami kesusahan pada malam musim dingin serta orang-orang yang lemah.
Allah menjaga baginda agar tidak solat di sana, kata baginda: “Kami sedang dalam perjalanan. Kalau kami sudah kembali Insya-Allah (kami akan solat di sana).”
Ketika Rasulullah SAW dalam perjalanan kembali dari Tabuk, tinggal sehari atau dua hari lagi sebelum masuk ke Madinah, turunlah Jibril menerangkan keadaan masjid dhirar tersebut. Bahawasanya mereka mendirikan masjid tersebut di atas kekafiran, memecah belah kaum mukminin di masjid mereka. Akhirnya Rasulullah SAW mengirim beberapa orang untuk meruntuhkan masjid itu menjelang kedatangan beliau di Madinah.
Allah SWT berfirman menerangkan keadaan masjid ini, maksudnya:
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: Kami tidak menghendaki selain kebaikan. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” (Surah at-Taubah : ayat 107)
Dalam ayat ini Allah SWT menerangkan bahawa ada empat perkara yang mendorong mereka mendirikan masjid tersebut, iaitu:
1.Upaya menimbulkan mudarat bagi orang lain
2.Kekafiran kepada Allah dan membanggakan diri terhadap kaum muslimin
3.Memecah belah kaum mukminin
4.Merisik maklumat untuk mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, sebagai bantuan buat musuh-musuh Allah.
Allah SWT menggagalkan usaha mereka dan membuat tipu daya mereka sia-sia dengan memerintahkan Nabi-Nya SAW agar meruntuhkan serta memusnahkan masjid tersebut.
Allah SWT juga melarang Rasul-Nya SAW dan kaum mukminin solat di masjid tersebut dengan larangan yang sangat keras. Allah SWTberfirman, maksudnya:
“Janganlah kamu menegakkan solat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu solat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (surah at-Taubah : ayat 108)
Adapun sumpah yang mereka ucapkan sebagaimana dalam firman Allah SWT tersebut:
"Mereka sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.”
Justeru celaan terhadap mereka atas angan-angan keji dan kedustaan mereka. Maka sebab itulah Allah SWT berfirman:
“Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta.”
Dengan hancurnya masjid dhirar, semakin sempitlah ruang gerak kaum munafik. Jati diri mereka pun semakin jelas bagi kaum muslimin.
Persiapan Menuju Tabuk
Tabuk adalah daerah di pinggiran wilayah Syam ke arah kiblat (selatan), dari Madinah sekitar 12 marhalah. Menurut Yaqut al-Hamawi daerah ini terletak antara Wadil Qura dan negeri Syam. Daerah ini termasuk jajahan Bizantium (Rom) ketika itu.
Rasulullah SAW bertekad untuk memerangi Rom, padahal ketika itu musim panas begitu hebat. Keadaan ekonomi sedang melalui zaman sukar. Baginda sengaja menampakkan kepada kaum muslimin keinginan tersebut. Bahkan beliau mengajak kabilah-kabilah Arab dan orang-orang badui di sekitar baginda agar berangkat bersama-sama. Maka terkumpullah pasukan cukup besar, iaitu sekitar 30,000 orang. Namun masih ada beberapa orang yang tertinggal tanpa alasan, di antaranya Ka’b bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi’ dan Hilal bin Umayyah yang akan diceritakan pada bahagian lain Insya-Allah.
Walaupun keadaan serba sukar, Rasulullah SAW tetap mendorong kaum muslimin bersiap-siap untuk berperang. Padahal biasanya, apabila hendak berangkat berperang, beliau selalu menampakkan seolah-olah bukan untuk berperang. Beliau membangkitkan semangat orang-orang yang berharta agar berinfak pada jalan Allah. Maka berlumba-lumbalah para hartawan mengeluarkan hartanya untuk membiayai Jaisyul ‘Usrah (Pasukan yang kesulitan) tersebut.
Az-Zuhri dan ulama lainnya menceritakan:
Rasulullah SAW biasanya kalau ingin berangkat berperang, melakukan secara kiasan atau kata-kata lembut. Tetapi dalam perang Tabuk ini, baginda menyampaikan terang-terangan tujuan dan sasarannya agar kaum muslimin bersiap-siap. Beliau sampaikan bahawa yang dituju adalah Rom.
Pada suatu hari dalam situasi persiapan tersebut, Rasulullah SAW berkata kepada Jadd bin Qais, salah satu keluarga kabilah Bani Salimah: “Hai Jadd, apakah tahun ini engkau ada keinginan kepada kulit-kulit Banil Ashfar?”
Jadd menukas: “Ya Rasulullah, izinkanlah saya (tidak ikut berperang). Jangan anda jerumuskan saya dalam fitnah. Demi Allah, kaumku semua tahu bahwa tidak ada laki-laki yang paling besar kekagumannya kepada wanita daripada aku. Saya bimbang kalau saya melihat wanita Rom itu, saya tidak dapat bersabar.”
Rasulullah SAW pun meninggalkannya sambil berkata: “Saya beri izin untukmu.”
Tentang Jadd inilah turun firman Allah SWT, maksudnya:
“Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah”. Ketahuilah, bahawa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir.” (Surah at-Taubah : ayat 49)
Ada pula dari kalangan kaum munafikin yang mengatakan: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Mereka merasa tidak membutuhkan jihad serta meragukan kebenaran dan menimbulkan kegoncangan pada Rasulullah SAW. Maka Allah SWTmenurunkan firman-Nya, yang bermaksud:
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini’. Katakanlah: ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panas (nya),’ jikalau mereka mengetahui.” (Surah at-Taubah : ayat 81)
http://www.salafy.or.id
Tiada ulasan:
Catat Ulasan