Oleh Alwi Shahab
Beberapa saat setelah tentara Islam menaklukkan Jerusalem, Khalifah Umar bin Khattab pun ingin datang sendiri ke kota itu. Dia berangkat dari Damaskus menuju Kota Suci pertama umat Islam itu hanya dengan mengendarai seekor unta disertai pengawalnya. Sang Khalifah, seorang yang sangat rendah hati, sepakat dengan pengawalnya bahwa keduanya akan bergantian menunggang unta.
Pada waktu yang hampir bersamaan, uskup Jerusalem mengumumkan kepada para penduduk bahwa seorang pemimpin besar Islam akan datang. Ia juga menyerukan kepada warga kota untuk menyambutnya.
Ketika para penduduk telah berkumpul di pintu gerbang kota untuk menyambutnya, mereka tidak melihat adanya arak-arakan seperti layaknya kedatangan seorang khalifah. Sebaliknya, yang tampak dari kejauhan hanya dua orang, seorang menunggang unta dan seorang lagi mengawalnya. Ketika keduanya sampai di pintu gerbang, kebetulan giliran pengawal yang berada di atas unta. Orang banyak pun mengelu-elukannya. Kesalahpahaman ini berakhir setelah dijelaskan perjanjian antara khalifah dan pengawalnya saat berangkat menuju Jerusalem. Uskup yang merasa kagum dengan keadilan Khalifah Umar mengatakan kepadanya, ''Hari ini, disebabkan keadilan dan keimanan, tuan telah menerima kunci untuk masuk Kota Suci ini.
Tetapi, berapa lamakah kunci itu akan tetap di tanganmu?'' Umar pun menjawab, ''Kami memang telah mengambil alih tempat ini dengan empat sikap, yakni keimanan, keadilan, kebijakan, dan kebenaran. Selama empat sikap itu dimiliki umat Islam, mereka akan dapat mempertahankan kota ini. Tetapi, jika umat Islam tidak bisa mempertahankan empat sikap itu, maka tempat ibadah ini akan berpindah tangan.''
Dalam kondisi sekarang ini, kata-kata yang diucapkan Khalifah Umar itu patut kita renungkan. Islam memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Dan, untuk melaksanakannya diperlukan landasan iman yang mantap. Karena, apabila iman goyah, akan goyah pulalah tegaknya tiang keadilan. ''Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menjadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.'' (QS An-Nisa: 135).
Berdasarkan ayat itu, kita tidak diperbolehkan untuk ragu-ragu dalam menegakkan keadilan. Siapa saja yang ternyata bersalah ia harus dihukum, walaupun akan memberati diri kita sendiri. Bahkan, menurut Islam, segala bentuk permusuhan dan perbedaan pendapat dengan orang lain tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk tidak berbuat adil. ''Katakanlah yang sebenarnya, meskipun hal itu merugikanmu, '' demikian sabda Nabi dalam salah satu hadisnya. Nabi sendiri pernah marah ketika ada sahabatnya sengaja mendiamkan dan menutup-nutupi seorang pencuri, hanya karena ia putri seorang bangsawan Kuraisy. Kata Nabi, ''Sungguh, Allah telah menghancurkan umat sebelum kamu disebabkan apabila di antara mereka ada yang berkedudukan terhormat mencuri didiamkan, tetapi ketika rakyat kecil melakukannya dihukum.''
Beberapa saat setelah tentara Islam menaklukkan Jerusalem, Khalifah Umar bin Khattab pun ingin datang sendiri ke kota itu. Dia berangkat dari Damaskus menuju Kota Suci pertama umat Islam itu hanya dengan mengendarai seekor unta disertai pengawalnya. Sang Khalifah, seorang yang sangat rendah hati, sepakat dengan pengawalnya bahwa keduanya akan bergantian menunggang unta.
Pada waktu yang hampir bersamaan, uskup Jerusalem mengumumkan kepada para penduduk bahwa seorang pemimpin besar Islam akan datang. Ia juga menyerukan kepada warga kota untuk menyambutnya.
Ketika para penduduk telah berkumpul di pintu gerbang kota untuk menyambutnya, mereka tidak melihat adanya arak-arakan seperti layaknya kedatangan seorang khalifah. Sebaliknya, yang tampak dari kejauhan hanya dua orang, seorang menunggang unta dan seorang lagi mengawalnya. Ketika keduanya sampai di pintu gerbang, kebetulan giliran pengawal yang berada di atas unta. Orang banyak pun mengelu-elukannya. Kesalahpahaman ini berakhir setelah dijelaskan perjanjian antara khalifah dan pengawalnya saat berangkat menuju Jerusalem. Uskup yang merasa kagum dengan keadilan Khalifah Umar mengatakan kepadanya, ''Hari ini, disebabkan keadilan dan keimanan, tuan telah menerima kunci untuk masuk Kota Suci ini.
Tetapi, berapa lamakah kunci itu akan tetap di tanganmu?'' Umar pun menjawab, ''Kami memang telah mengambil alih tempat ini dengan empat sikap, yakni keimanan, keadilan, kebijakan, dan kebenaran. Selama empat sikap itu dimiliki umat Islam, mereka akan dapat mempertahankan kota ini. Tetapi, jika umat Islam tidak bisa mempertahankan empat sikap itu, maka tempat ibadah ini akan berpindah tangan.''
Dalam kondisi sekarang ini, kata-kata yang diucapkan Khalifah Umar itu patut kita renungkan. Islam memerintahkan kita untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Dan, untuk melaksanakannya diperlukan landasan iman yang mantap. Karena, apabila iman goyah, akan goyah pulalah tegaknya tiang keadilan. ''Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menjadi penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah sekalipun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.'' (QS An-Nisa: 135).
Berdasarkan ayat itu, kita tidak diperbolehkan untuk ragu-ragu dalam menegakkan keadilan. Siapa saja yang ternyata bersalah ia harus dihukum, walaupun akan memberati diri kita sendiri. Bahkan, menurut Islam, segala bentuk permusuhan dan perbedaan pendapat dengan orang lain tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk tidak berbuat adil. ''Katakanlah yang sebenarnya, meskipun hal itu merugikanmu, '' demikian sabda Nabi dalam salah satu hadisnya. Nabi sendiri pernah marah ketika ada sahabatnya sengaja mendiamkan dan menutup-nutupi seorang pencuri, hanya karena ia putri seorang bangsawan Kuraisy. Kata Nabi, ''Sungguh, Allah telah menghancurkan umat sebelum kamu disebabkan apabila di antara mereka ada yang berkedudukan terhormat mencuri didiamkan, tetapi ketika rakyat kecil melakukannya dihukum.''
Tiada ulasan:
Catat Ulasan