Oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Dasar hukumnya dalam masalah ini adalah firman Allah,
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua laki-laki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (Al-Baqarah; 282).
Ayat ini secaya jelas menegaskan bahwa kesaksian yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memastikan hak-hak (orang lain) adalah kesaksian dua orang laki-laki yang adil atau seorang lelaki dan dua orang perempuan. Topik masalah kesaksian adalah seperti topik dalam masalah harta warisan yang sering dijadikan sebagai bahan oleh musuh-musuh Islam untuk menyudutkan Islam, bahwa Islam telah merendahkan kedudukan kaum perempuan.
Sebenarnya, pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah (kesaksian) ini tidak ada kaitannya dengan masalah persamaan, melainkan karena keterpaksaan (darurat) yang mengharuskannya demikian, yaitu bahwa Islam telah membebaskan perempuan dari seluruh tanggung jawab materi (nafkah) supaya perempuan dapat berkonsentrasi melakukan misinya, terutama mendidik anak-anaknya yang banyak menyita kebanyakan waktunya di rumah, dan jauh dari pasar-pasar perniagaan yang di situ terjadi transaksi jual-beli.
Maka dari itu, kesaksian kaum perempuan di dalam transaksi keuangan itu jarang terjadi, karena sekalipun kaum perempuan singgah atau lewat di pasar-pasar, namun mereka tidak memperhatikan transaksi-transaksi yang sedang terjadi di antara kaum lelaki, karena mereka merasa bahwa masalah transaksi itu bukan urusan mereka. Ini dari satu sisi. Di sisi lain, karena perempuan sudah tidak dibebani urusan kehidupan material, maka mereka menjadi tidak memperhatikan masalah itu, dan biasanya daya ingat itu kurang siap untuk merekam segala sesuatu yang tidak menjadi perhatiannya.
Hal lain adalah bahwa fikiran kaum perempuan, karena diciptakan oleh Allah sedemikian rupa, selalu terpusatkan kepada masalah kehidupan suami-istri, urusan rumah dan mendidik anak serta kepada hal-hal yang ada hubungannya dengan kehidupan khusus yang berkaitan dengan kaum perempuan, adapun selain masalah-masalah yang seperti itu biasanya mereka kurang menjadikannya sebagai bahan untuk direkam di dalam ingatannya.
Jadi, lupa terhadap urusan-urusan material yang menjadi tanggungjawab kaum lelaki itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi bagi kaum perempuan. Oleh karena itu alasan ayat di atas, kenapa kesaksian dua orang perempuan sebagai ganti dari seorang laki-laki, adalah kemungkinan terjadinya kelupaan dari salah satunya. Maka dari itu ayat tersebut mengatakan, “Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
Jadi masalahnya adalah bukan masalah merendahkan kedudukan perempuan atau tidak mengakui keahlian mereka, dan dalam masalah itu juga tidak ada kesan merendahkan kedudukan mereka, sebagaimana diklaim oleh orang-orang yang suka mengaburkan Islam. Jadi, masalahnya adalah masalah kemungkinan akan terjadi kelupaan dalam perkara-perkara yang biasanya tidak menjadi perhatian kaum perempuan dan mereka tidak biasanya untuk merekamnya di dalam ingatannya.
Dasar hukumnya dalam masalah ini adalah firman Allah,
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua laki-laki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.” (Al-Baqarah; 282).
Ayat ini secaya jelas menegaskan bahwa kesaksian yang dapat dipertanggungjawabkan untuk memastikan hak-hak (orang lain) adalah kesaksian dua orang laki-laki yang adil atau seorang lelaki dan dua orang perempuan. Topik masalah kesaksian adalah seperti topik dalam masalah harta warisan yang sering dijadikan sebagai bahan oleh musuh-musuh Islam untuk menyudutkan Islam, bahwa Islam telah merendahkan kedudukan kaum perempuan.
Sebenarnya, pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah (kesaksian) ini tidak ada kaitannya dengan masalah persamaan, melainkan karena keterpaksaan (darurat) yang mengharuskannya demikian, yaitu bahwa Islam telah membebaskan perempuan dari seluruh tanggung jawab materi (nafkah) supaya perempuan dapat berkonsentrasi melakukan misinya, terutama mendidik anak-anaknya yang banyak menyita kebanyakan waktunya di rumah, dan jauh dari pasar-pasar perniagaan yang di situ terjadi transaksi jual-beli.
Maka dari itu, kesaksian kaum perempuan di dalam transaksi keuangan itu jarang terjadi, karena sekalipun kaum perempuan singgah atau lewat di pasar-pasar, namun mereka tidak memperhatikan transaksi-transaksi yang sedang terjadi di antara kaum lelaki, karena mereka merasa bahwa masalah transaksi itu bukan urusan mereka. Ini dari satu sisi. Di sisi lain, karena perempuan sudah tidak dibebani urusan kehidupan material, maka mereka menjadi tidak memperhatikan masalah itu, dan biasanya daya ingat itu kurang siap untuk merekam segala sesuatu yang tidak menjadi perhatiannya.
Hal lain adalah bahwa fikiran kaum perempuan, karena diciptakan oleh Allah sedemikian rupa, selalu terpusatkan kepada masalah kehidupan suami-istri, urusan rumah dan mendidik anak serta kepada hal-hal yang ada hubungannya dengan kehidupan khusus yang berkaitan dengan kaum perempuan, adapun selain masalah-masalah yang seperti itu biasanya mereka kurang menjadikannya sebagai bahan untuk direkam di dalam ingatannya.
Jadi, lupa terhadap urusan-urusan material yang menjadi tanggungjawab kaum lelaki itu adalah hal yang sangat mungkin terjadi bagi kaum perempuan. Oleh karena itu alasan ayat di atas, kenapa kesaksian dua orang perempuan sebagai ganti dari seorang laki-laki, adalah kemungkinan terjadinya kelupaan dari salah satunya. Maka dari itu ayat tersebut mengatakan, “Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.”
Jadi masalahnya adalah bukan masalah merendahkan kedudukan perempuan atau tidak mengakui keahlian mereka, dan dalam masalah itu juga tidak ada kesan merendahkan kedudukan mereka, sebagaimana diklaim oleh orang-orang yang suka mengaburkan Islam. Jadi, masalahnya adalah masalah kemungkinan akan terjadi kelupaan dalam perkara-perkara yang biasanya tidak menjadi perhatian kaum perempuan dan mereka tidak biasanya untuk merekamnya di dalam ingatannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan