2 Ramadhan 1431H.
Oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Allah Yang Maha Kuasa dikala menciptakan masing-masing laki-laki dan perempuan, Dia menciptakan pada masing-masing mareka naluri, kecenderungan, bakat dan fungsi-fungsi anggota tubuh yang berbeda, sehingga masing-masing siap untuk melakukan tugas sesuai dengan yang disiapkan oleh-Nya. Maka dari itu, ketika seorang laki-laki ingin meniru sebagian karakter kaum perempuan, Allah hanya mencabut sifat kelelakian dari dirinya. Dan pada waktu perempuan berupaya melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum lelaki, yang sebenarnya bertentangan dengan kodrat jasmani dan jiwanya, maka sebenarnya ia telah menempuh jalan yang bertentangan dengat kodrat dirinya. Waktu dan tempat dalam pase kehidupan apapun tidak akan dapat merubah realitas kodrat itu sedikit pun, maka lelaki akan tetap lelaki dengan segala karakter kodratnya, baik ia mau ataupun tidak; perempuan pun demikian, tetap dengan segala karakter kodratinya sebagaimana Allah ciptakan. Maka dari itulah Allah Subhaanahu Wata'ala memberikan kelebihan kepada kaum lelaki atas kaum perempuan dalam masalah-masalah kehidupan, yang insya Allah akan penulis uraikan bersama faktor-faktor yang menuntutnya untuk itu. Di antara perbedaan itu ialah:
Perbedaan di Dalam Menanggung Beban Ekonomi
Telah penulis sebutkan pada kajian terdahulu bagaimana Islam memelihara kaum perempuan dari kenistaan dan menjauhkannya dari beban kerja keras dan bersusah payah. Islam membebaskannya dari seluruh beban kehidupan perekonomian, karena sebelum ia menikah, Islam mewajibkan kepada kerabat dekatnya (kaum lelaki) untuk menafkahinya, dan jika ia tidak mempunyai kerabat dekat lelaki maka yang menanggung nafkahnya adalah Baitul mal milik kaum muslimin. Dan sesudah menikah, Islam membebaskannya dari beban mencari penghidupan dan menyerahkan semuanya kepada tanggung jawab suami, sampai sekalipun sang istri itu seorang perempuan kaya. Maka sebelum suami mencampurinya, Islam mewajibkan kepada suami membayar mahar kepada istri dan menyediakan rumah sebagai tempat tinggalnya. Dan sesudah akad nikah, Islam membebankan kapada suami seluruh hak-hak perekonomian. Maka dari itu, perempuan muslimah benar-benar memperoleh derajat penghargaan dan penghormatan paling tinggi di bawah naungan Syari’at Islam; sementara di sisi lain, kaum lelaki mempunyai kelebihan atas mereka.
Perbedaan di Dalam Pembagian Harta Warisan
Teori yang dimiliki Islam di dalam pembedaan antara (bagian) laki-laki dan perempuan (dalam pembagian harta warisan) adalah teori ekonomi murni, yaitu teori yang dibangun di atas prinsip “Bahwa laki-lakilah yang bertanggung-jawab atas urusan keluarga dan dia pulalah yang menyandang beban menafkahi mereka, di samping tugas-tugas lain yang dibebankan kepadanya di masyarakat di mana perempuan tidak dibebani.” Maka kalau Islam memberikan kepada perempuan setengah dari bagian yang diterima laki-laki (1:2) dari harta warisan, sedangkan perempuan tidak bertanggungjawab untuk memberikan nafkah hingga terhadap dirinya sekalipun, dan sekalipun ia adalah perempuan kaya, maka yang demikian itu adalah puncak kebijaksanaan dan keadilan. Sebab tidak rasional kalau pembagian disamaratakan antara orang yang mempunyai tanggungan mengemban semua beban kehidupan perekonomian dengan orang yang tidak dibebani sedikitpun daripadanya.
Sungguh, Islam benar-benar sangat pemurah lagi toleran karena telah membebaskan perempuan dari segala beban perekonomian dan menyandangkan sepenuhnya di atas pundak laki-laki, lalu setelah itu Islam masih memberi kepada perempuan separoh bagian harta waris dari bagian yang diterima laki-laki. Jadi, tidak ada ruang untuk menuntut persamaan bagian perempuan dengan laki-laki dalam pembagian harta waris dan tidak juga ada tempat untuk dikatakan bahwa hal itu mengandung penghinaan terhadap kemanusian atau kedudukan perempuan, serta tidak ada artinya pula memojokkan Islam dalam masalah itu dan menjadikan masalah warisan sebagai sarana untuk menuduh bahwa pembagian yang seperti itu merendahkan martabat kaum perempuan. Bagaimana ungkapan seperti itu dilontarkan, padahal Islam sendiri telah memberikan kepada perempuan haknya di dalam harta warisan yang pada masa Jahiliyah mereka tidak mendapatkan bagian sedikit pun, juga pada bangsa-bangsa lainnya yang terdahulu dan pada sebagian bangsa modern sekarang ini. Sebagai contoh adalah yang terjadi di sebagian daerah Skandanivia, di negeri itu hingga sekarang masih membedakan antara kaum lelaki dan kaum perempuan dalam pembagian harta warisan, di mana laki-laki diberi lebih banyak daripada perempuan sekalipun mereka sama-sama menanggung beban perekonomian.
Sesudah itu semua, sesungguhnya pembedaan bagian harta waris antara laki-laki dan perempuan itu tidak pada setiap keadaan, karena Al-Qur’an telah menetapkan persamaan hak bagian harta warisan pada bagian ibu dan ayah apabila anaknya yang meninggal dunia itu meninggalkan beberapa anak laki-laki. Allah berfirman,
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ
“Dan dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.” (An-Nisa’: 11).
Demikian pula (kesamaan bagian) antara saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu jika saudara laki-laki itu tidak mempunyai asal laki-laki (ayah dan seterusnya) atau fara’ (anak laki-laki dan ke bawah) pewaris, maka masing-masing berhak menerima 1/6 dari harta waris. Kalau saudara seibu itu lebih dari dua orang, maka mereka semua mendapat bagian yang sama dari 1/3 bagian harta warisan, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian Allah berfirman,
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak pula meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari dua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (An-Nisa’: 12).
Yang jelas, bahwa ada beberapa kondisi yang tidak merealisasikan persamaan hak bagian antara laki-laki dan perempuan di dalam harta warisan, hal itu terjadi karena ada tanggungjawab memberi nafkah, yaitu tanggung jawab yang dipikulkan di atas pundak laki-laki, bertolak dari Qa’idah Syar’iyah: “Al-Ghunmu bil-ghurmi atau al-Ghurmu bil-ghunm”. Maksudnya adalah bahwa seseorang itu diberi sesuai dengan tanggungjawabnya, atau tanggungjawabnya itu sesuai dengan apa yang diberikan kepadanya. Maka dari itu, tidak adil kalau perempuan diberi sebesar bagian laki-laki, karena laki-laki sajalah yang menanggung tanggungjawab memberikan nafkah, sedangkan perempuan tidak.
Jadi, masalahnya di sini adalah dibangun berdasarkan prinsip keadilan bukan berdasarkan merendahkan mertabat dan kedudukan perempuan atau nilai sosialnya, sebagaimana anggapan orang-orang bodoh yang tidak mengerti hikmah tasyri’ (penetapan hukum Islam).
Oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Allah Yang Maha Kuasa dikala menciptakan masing-masing laki-laki dan perempuan, Dia menciptakan pada masing-masing mareka naluri, kecenderungan, bakat dan fungsi-fungsi anggota tubuh yang berbeda, sehingga masing-masing siap untuk melakukan tugas sesuai dengan yang disiapkan oleh-Nya. Maka dari itu, ketika seorang laki-laki ingin meniru sebagian karakter kaum perempuan, Allah hanya mencabut sifat kelelakian dari dirinya. Dan pada waktu perempuan berupaya melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum lelaki, yang sebenarnya bertentangan dengan kodrat jasmani dan jiwanya, maka sebenarnya ia telah menempuh jalan yang bertentangan dengat kodrat dirinya. Waktu dan tempat dalam pase kehidupan apapun tidak akan dapat merubah realitas kodrat itu sedikit pun, maka lelaki akan tetap lelaki dengan segala karakter kodratnya, baik ia mau ataupun tidak; perempuan pun demikian, tetap dengan segala karakter kodratinya sebagaimana Allah ciptakan. Maka dari itulah Allah Subhaanahu Wata'ala memberikan kelebihan kepada kaum lelaki atas kaum perempuan dalam masalah-masalah kehidupan, yang insya Allah akan penulis uraikan bersama faktor-faktor yang menuntutnya untuk itu. Di antara perbedaan itu ialah:
Perbedaan di Dalam Menanggung Beban Ekonomi
Telah penulis sebutkan pada kajian terdahulu bagaimana Islam memelihara kaum perempuan dari kenistaan dan menjauhkannya dari beban kerja keras dan bersusah payah. Islam membebaskannya dari seluruh beban kehidupan perekonomian, karena sebelum ia menikah, Islam mewajibkan kepada kerabat dekatnya (kaum lelaki) untuk menafkahinya, dan jika ia tidak mempunyai kerabat dekat lelaki maka yang menanggung nafkahnya adalah Baitul mal milik kaum muslimin. Dan sesudah menikah, Islam membebaskannya dari beban mencari penghidupan dan menyerahkan semuanya kepada tanggung jawab suami, sampai sekalipun sang istri itu seorang perempuan kaya. Maka sebelum suami mencampurinya, Islam mewajibkan kepada suami membayar mahar kepada istri dan menyediakan rumah sebagai tempat tinggalnya. Dan sesudah akad nikah, Islam membebankan kapada suami seluruh hak-hak perekonomian. Maka dari itu, perempuan muslimah benar-benar memperoleh derajat penghargaan dan penghormatan paling tinggi di bawah naungan Syari’at Islam; sementara di sisi lain, kaum lelaki mempunyai kelebihan atas mereka.
Perbedaan di Dalam Pembagian Harta Warisan
Teori yang dimiliki Islam di dalam pembedaan antara (bagian) laki-laki dan perempuan (dalam pembagian harta warisan) adalah teori ekonomi murni, yaitu teori yang dibangun di atas prinsip “Bahwa laki-lakilah yang bertanggung-jawab atas urusan keluarga dan dia pulalah yang menyandang beban menafkahi mereka, di samping tugas-tugas lain yang dibebankan kepadanya di masyarakat di mana perempuan tidak dibebani.” Maka kalau Islam memberikan kepada perempuan setengah dari bagian yang diterima laki-laki (1:2) dari harta warisan, sedangkan perempuan tidak bertanggungjawab untuk memberikan nafkah hingga terhadap dirinya sekalipun, dan sekalipun ia adalah perempuan kaya, maka yang demikian itu adalah puncak kebijaksanaan dan keadilan. Sebab tidak rasional kalau pembagian disamaratakan antara orang yang mempunyai tanggungan mengemban semua beban kehidupan perekonomian dengan orang yang tidak dibebani sedikitpun daripadanya.
Sungguh, Islam benar-benar sangat pemurah lagi toleran karena telah membebaskan perempuan dari segala beban perekonomian dan menyandangkan sepenuhnya di atas pundak laki-laki, lalu setelah itu Islam masih memberi kepada perempuan separoh bagian harta waris dari bagian yang diterima laki-laki. Jadi, tidak ada ruang untuk menuntut persamaan bagian perempuan dengan laki-laki dalam pembagian harta waris dan tidak juga ada tempat untuk dikatakan bahwa hal itu mengandung penghinaan terhadap kemanusian atau kedudukan perempuan, serta tidak ada artinya pula memojokkan Islam dalam masalah itu dan menjadikan masalah warisan sebagai sarana untuk menuduh bahwa pembagian yang seperti itu merendahkan martabat kaum perempuan. Bagaimana ungkapan seperti itu dilontarkan, padahal Islam sendiri telah memberikan kepada perempuan haknya di dalam harta warisan yang pada masa Jahiliyah mereka tidak mendapatkan bagian sedikit pun, juga pada bangsa-bangsa lainnya yang terdahulu dan pada sebagian bangsa modern sekarang ini. Sebagai contoh adalah yang terjadi di sebagian daerah Skandanivia, di negeri itu hingga sekarang masih membedakan antara kaum lelaki dan kaum perempuan dalam pembagian harta warisan, di mana laki-laki diberi lebih banyak daripada perempuan sekalipun mereka sama-sama menanggung beban perekonomian.
Sesudah itu semua, sesungguhnya pembedaan bagian harta waris antara laki-laki dan perempuan itu tidak pada setiap keadaan, karena Al-Qur’an telah menetapkan persamaan hak bagian harta warisan pada bagian ibu dan ayah apabila anaknya yang meninggal dunia itu meninggalkan beberapa anak laki-laki. Allah berfirman,
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ
“Dan dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak.” (An-Nisa’: 11).
Demikian pula (kesamaan bagian) antara saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu jika saudara laki-laki itu tidak mempunyai asal laki-laki (ayah dan seterusnya) atau fara’ (anak laki-laki dan ke bawah) pewaris, maka masing-masing berhak menerima 1/6 dari harta waris. Kalau saudara seibu itu lebih dari dua orang, maka mereka semua mendapat bagian yang sama dari 1/3 bagian harta warisan, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian Allah berfirman,
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak pula meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari dua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (An-Nisa’: 12).
Yang jelas, bahwa ada beberapa kondisi yang tidak merealisasikan persamaan hak bagian antara laki-laki dan perempuan di dalam harta warisan, hal itu terjadi karena ada tanggungjawab memberi nafkah, yaitu tanggung jawab yang dipikulkan di atas pundak laki-laki, bertolak dari Qa’idah Syar’iyah: “Al-Ghunmu bil-ghurmi atau al-Ghurmu bil-ghunm”. Maksudnya adalah bahwa seseorang itu diberi sesuai dengan tanggungjawabnya, atau tanggungjawabnya itu sesuai dengan apa yang diberikan kepadanya. Maka dari itu, tidak adil kalau perempuan diberi sebesar bagian laki-laki, karena laki-laki sajalah yang menanggung tanggungjawab memberikan nafkah, sedangkan perempuan tidak.
Jadi, masalahnya di sini adalah dibangun berdasarkan prinsip keadilan bukan berdasarkan merendahkan mertabat dan kedudukan perempuan atau nilai sosialnya, sebagaimana anggapan orang-orang bodoh yang tidak mengerti hikmah tasyri’ (penetapan hukum Islam).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan