17 Zulhijjah 1431H
Oleh : Jarjani Usman
“Berpikir akan melahirkan pengetahuan, pengetahuan akan melahirkan perubahan keadaan hati, perubahan keadaan hati akan melahirkan kehendak, kehendak akan melahirkan perbuatan. Jadi, berpikir adalah asas dan kunci semua kebaikan” (Ibnul Qayyim).
Setiap bencana yang menimpa, akan menjadi kesengsaraan yang berpanjangan, khususnya bagi orang-orang yang mengabaikan potensi akalnya untuk berfikir.
Padahal kalau difikir lebih dalam, bencana itu bermakna dicabutnya beberapa kenikmatan secara tiba-tiba oleh Allah dari sebahagian manusia. Meskipun sudah dicabut, bukan berarti semua kenikmatan telah dicabut kerna masih banyak nikmat yang lain masih kekal.
Buktinya, masih begitu banyak kenikmatan yang disisakan untuk manusia baik yang berada di daerah yang sedang terjadi bencana, maupun yang berada di daerah yang tidak terjadi bencana.
Masih ada kenikmatan berupa fikiran sehat, juga kenikmatan dalam bentuk rasa simpat san semangat ingin menolong yang ditunjukkan sesama manusia. Juga ada kenikmatan dalam bentuk harapan baru, iaitu munculnya harapan akan bangkit lagi menjadi lebih baik setelah terkena bencana dn musibah. Dan berbagai kenikmatan lain yang kadangkala tidak terfikirkan dan tidak terhitung oleh manusia.
Lebih istimewa lagi bagi orang-orang beriman, ada kenikmatan iman, meskipun di saat menghadapi musibah. Iaitu, orang-orang tertentu itu masih merasa nikmat dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah, sehingga tidak dirundung putus asa.
Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, “Akan tetapi Allah itulah yang membuat iman terasa menyenangkan bagi kalian, membuatnya nampak indah di dalam hati kalian, dan yang membuat kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Mereka itulah orang-orang yang lurus. Sebuah keutamaan dan kenikmatan yang datang dari Allah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Hujurat: 7-8).
Dengan demikian, bila belum merasa senang dalam beribadah, juga belum merasa benci kepada kemungkaran, jangan harap kenikmatan iman akan dirasakan.
Kerana itu, perlu selalu berusaha meningkatkan keimanan, agar sempat merasakan kenikmatannya dalam keadaan apa saja.
Padahal kalau difikir lebih dalam, bencana itu bermakna dicabutnya beberapa kenikmatan secara tiba-tiba oleh Allah dari sebahagian manusia. Meskipun sudah dicabut, bukan berarti semua kenikmatan telah dicabut kerna masih banyak nikmat yang lain masih kekal.
Buktinya, masih begitu banyak kenikmatan yang disisakan untuk manusia baik yang berada di daerah yang sedang terjadi bencana, maupun yang berada di daerah yang tidak terjadi bencana.
Masih ada kenikmatan berupa fikiran sehat, juga kenikmatan dalam bentuk rasa simpat san semangat ingin menolong yang ditunjukkan sesama manusia. Juga ada kenikmatan dalam bentuk harapan baru, iaitu munculnya harapan akan bangkit lagi menjadi lebih baik setelah terkena bencana dn musibah. Dan berbagai kenikmatan lain yang kadangkala tidak terfikirkan dan tidak terhitung oleh manusia.
Lebih istimewa lagi bagi orang-orang beriman, ada kenikmatan iman, meskipun di saat menghadapi musibah. Iaitu, orang-orang tertentu itu masih merasa nikmat dalam menjalankan ketaatannya kepada Allah, sehingga tidak dirundung putus asa.
Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an, “Akan tetapi Allah itulah yang membuat iman terasa menyenangkan bagi kalian, membuatnya nampak indah di dalam hati kalian, dan yang membuat kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.
Mereka itulah orang-orang yang lurus. Sebuah keutamaan dan kenikmatan yang datang dari Allah, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Hujurat: 7-8).
Dengan demikian, bila belum merasa senang dalam beribadah, juga belum merasa benci kepada kemungkaran, jangan harap kenikmatan iman akan dirasakan.
Kerana itu, perlu selalu berusaha meningkatkan keimanan, agar sempat merasakan kenikmatannya dalam keadaan apa saja.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan