Al-Irsyad Surabaya"
Sahabat, Ada sepenggal cerita dari sahabat Ibnu Mas’ud. Suatu saat Rasulullah saw berkata kepadanya, “Bacakan padaku Alquran!” “Bagaimana mungkin kubacakan Alquran untukmu, bukankah ia turun kepadamu?” jawab Ibnu Mas’ud. “Benar, namun aku ingin sekali mendengarnya dari orang lain,” jawab Rasulullah saw. Lantas Ibnu Mas’ud pun membaca surah An-Nisa’ hingga ayat (41) berikut: Bagaimanakah jika dari tiap umat Kami datangkan seorang saksi dan Kami bawa engkau sebagai saksi atas mereka.
Mendengar ayat tadi, Rasulullah pun bersabda, “Cukup, cukup sampai di sini…” Dan sekonyong-konyong air bening berleleran dari dua kelopak mata Beliau, menangis (HR. Bukhari).
Boleh jadi Sahabat, karena kita terlalu sering mendengar tangisan atau menyaksikan linangan air mata, sehingga peristiwa menangis dipandang biasa-biasa saja dalam kehidupan kita.
Padahal, menangis, sungguh, merupakan salah satu simbol dari tingkatan spiritualitas seorang hamba, yang tidak hanya terbatas sebagai ekspresi dari rasa sedih, kecewa, dan menyesal, tapi juga sebagai luapan rasa rindu yang menggebu dari seorang hamba kepada Khalik-nya.
Menangis adalah ungkapan paling jujur tentang suara batin manusia, yang melambangkan kepasrahan total seorang hamba pada Rabbnya.
Itulah sebabnya isak tangis gampang sekali menetes ketika ada kematian seseorang. Menangis adalah fenomena universal yang menghinggapi manusia sejagat; menangis juga merupakan peristiwa yang sangat manusiawi sekali, yang tidak hanya menimpa kita selaku manusia biasa, tapi juga seorang Nabi — sebagaimana terekam dalam kisah di atas.
Bahkan Sahabat, Rasulullah dikenal sebagai orang yang mudah sekali melelehkan air mata, yang juga ketika ditinggal mati istrinya tercinta Siti Khadijah dan anaknya Ibrahim dengan, tanpa meraung dan menjerit-jerit. Sebab, memang dilarang.
Sebagaimana halnya Rasulullah, bagi kita umat Islam menangis tidak hanya terhenti pada aspek manusiawinya belaka, tapi bagaimana ia juga tetap berdimensi agama, yang memantulkan ketaatan seorang hamba kepada Khalik-nya. Maka menangis menjadi amat sakral, yang semestinya tak pernah ada sebutan “air mata buaya”. Sebab, buayapun belum tentu pernah menangis. Karena menurut Abdullah Yusuf Ali — penulis The Holy Quran, menangis adalah ungkapan dari perasaan yang benar-benar khusyuk yang mudah tersentuh oleh kebenaran halus dan agung yang datang menyelinap ke dalam kalbu.
Sahabat, Ada sepenggal cerita dari sahabat Ibnu Mas’ud. Suatu saat Rasulullah saw berkata kepadanya, “Bacakan padaku Alquran!” “Bagaimana mungkin kubacakan Alquran untukmu, bukankah ia turun kepadamu?” jawab Ibnu Mas’ud. “Benar, namun aku ingin sekali mendengarnya dari orang lain,” jawab Rasulullah saw. Lantas Ibnu Mas’ud pun membaca surah An-Nisa’ hingga ayat (41) berikut: Bagaimanakah jika dari tiap umat Kami datangkan seorang saksi dan Kami bawa engkau sebagai saksi atas mereka.
Mendengar ayat tadi, Rasulullah pun bersabda, “Cukup, cukup sampai di sini…” Dan sekonyong-konyong air bening berleleran dari dua kelopak mata Beliau, menangis (HR. Bukhari).
Boleh jadi Sahabat, karena kita terlalu sering mendengar tangisan atau menyaksikan linangan air mata, sehingga peristiwa menangis dipandang biasa-biasa saja dalam kehidupan kita.
Padahal, menangis, sungguh, merupakan salah satu simbol dari tingkatan spiritualitas seorang hamba, yang tidak hanya terbatas sebagai ekspresi dari rasa sedih, kecewa, dan menyesal, tapi juga sebagai luapan rasa rindu yang menggebu dari seorang hamba kepada Khalik-nya.
Menangis adalah ungkapan paling jujur tentang suara batin manusia, yang melambangkan kepasrahan total seorang hamba pada Rabbnya.
Itulah sebabnya isak tangis gampang sekali menetes ketika ada kematian seseorang. Menangis adalah fenomena universal yang menghinggapi manusia sejagat; menangis juga merupakan peristiwa yang sangat manusiawi sekali, yang tidak hanya menimpa kita selaku manusia biasa, tapi juga seorang Nabi — sebagaimana terekam dalam kisah di atas.
Bahkan Sahabat, Rasulullah dikenal sebagai orang yang mudah sekali melelehkan air mata, yang juga ketika ditinggal mati istrinya tercinta Siti Khadijah dan anaknya Ibrahim dengan, tanpa meraung dan menjerit-jerit. Sebab, memang dilarang.
Sebagaimana halnya Rasulullah, bagi kita umat Islam menangis tidak hanya terhenti pada aspek manusiawinya belaka, tapi bagaimana ia juga tetap berdimensi agama, yang memantulkan ketaatan seorang hamba kepada Khalik-nya. Maka menangis menjadi amat sakral, yang semestinya tak pernah ada sebutan “air mata buaya”. Sebab, buayapun belum tentu pernah menangis. Karena menurut Abdullah Yusuf Ali — penulis The Holy Quran, menangis adalah ungkapan dari perasaan yang benar-benar khusyuk yang mudah tersentuh oleh kebenaran halus dan agung yang datang menyelinap ke dalam kalbu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan