7 Ramadhan 1431 H
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Telah penulis katakan dahulu, bahwa melihat calon istri yang dipinang itu adalah masalah yang sangat penting untuk merealisasikan kehidupan suami-istri yang tenteram.
Di sini penulis ingin katakan, bahwa pemberian kebebasan penuh kepada calon istri untuk memilih calon pendamping hidupnya adalah juga merupakan perkara yang wajib, karena dialah yang akan mengarungi kehidupan bersama suaminya dan akan tetap tinggal berdampingan dengannnya sampai waktu yang Allah kehendaki.
Maka, memilih dan menentukan calon suami adalah haknya perempuan (calon istri).
Oleh karenanya, tidak ada hak bagi siapapun untuk memaksa putrinya menikah dengan seorang lelaki yang tidak disukainya.
Adapun tindakan pemaksaaan yang terjadi di sebagian negeri (di berbagai belahan bumi ini) terhadap perempuan yang dilakukan oleh walinya untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya adalah merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh Islam. Maka dari itu, ia punya hak untuk menolak lelaki itu bila ia menghendakinya.
Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa’i telah meriwayatkan dari riwayat Abdullah bin Buraidah yang bersumber dari ayahnya. Ayahnya menuturkan: “Pernah ada seorang putri remaja datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku telah menikahkan aku dengan putra saudaranya dengan maksud ingin menghilangkan rasa hinanya.
” Ia menuturkan: Maka Rasulullah memberikan kebebasan untuk memilih kepada perempuan itu, lalu perempuan itu berkata, “Sesungguhnya aku rela menerima apa yang telah diperbuat oleh ayahku, akan tetapi aku ingin mengajarkan kepada sekalian kaum perempuan, bahwa ayah tidak mempunyai hak sedikit pun (untuk memaksa putrinya).”
Jika seorang ayah saja tidak diperbolehkan menikahkan putrinya dengan lelaki yang tidak ia sukai, maka apa lagi orang lain selain ayahnya!
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَاْلبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا.
“Perempuan janda itu lebih berhak (menentukan pilihannya) daripada walinya, sedangkan perempuan gadis dimintai persetujuan, dan tanda persetujuannya adalah diam.”
Di dalam dua hadits di atas terdapat dalil yang sangat jelas sekali bahwa seorang gadis tidak boleh dipaksa menikah dengan orang yang tidak ia suka. Adapun perempuan janda, maka sudah jelas sekali, bahwa ia benar-benar mempunyai hak penuh untuk menolak atau menerima.
Tak ada seorang pun, termasuk ayahnya sendiri, yang boleh memaksanya menikah dengan orang yang tidak ia suka. Seorang gadis pun mempunyai hak penuh untuk menyatakan pendapatnya, menerima atau menolak.
Orang tua, termasuk sang ayah tidak mempunyai hak kecuali bermusyawarah dan memberikan masukan pendapat kepada putrinya pada fase pertama dari fase-fase kehidupannya, barangkali karena keawaman putrinya terhadap beberapa aspek penting tentang kehidupan ini yang belum ia ketahui, dan ia juga belum pernah memasuki fase percobaan di dalam hubungan bersuami-istri.
Maka fungsi wali berperan sebagai pembimbing dan pemberi nasihat yang ia pandang dapat menjadi kebaikan putrinya. Ketika Islam memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih calon pendamping hidupnya, sebenarnya mempunyai beberapa sasaran, yaitu:
Pertama, mengakui harga dan martabat perempuan; dia bukan barang dagangan yang bisa diperlakukan sekehendak sang wali.
Kedua, agar terjadi keharmonisan yang merupakan fundamen penting untuk mencapai kebagian berumah-tangga apabila pernikahan itu dilaksanakan berdasarkan pilihan dan kesepakatan dari pihak perempuan.
Ketiga, Sesungguhnya tindakan pemaksaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan kemauan seseorang, secara pasti dapat menyebabkan timbulnya berbagai problem.
Ketika seorang perempuan dipaksa untuk hidup bersama seorang suami yang tidak mendapat rasa cinta di dalam hatinya, maka itu berarti kegagalan untuk memperoleh kehidupan yang dikehendaki oleh Islam di mana ia telah menetapkan batasan-batasan dan aturan-aturan agar bisa dibangun di atas fundamen-fundamen kokoh, seperti rasa cinta, ketenangan dan ketentraman. Dan yang demikian itu tidak bisa diwujudkan dengan pemaksaan.
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Telah penulis katakan dahulu, bahwa melihat calon istri yang dipinang itu adalah masalah yang sangat penting untuk merealisasikan kehidupan suami-istri yang tenteram.
Di sini penulis ingin katakan, bahwa pemberian kebebasan penuh kepada calon istri untuk memilih calon pendamping hidupnya adalah juga merupakan perkara yang wajib, karena dialah yang akan mengarungi kehidupan bersama suaminya dan akan tetap tinggal berdampingan dengannnya sampai waktu yang Allah kehendaki.
Maka, memilih dan menentukan calon suami adalah haknya perempuan (calon istri).
Oleh karenanya, tidak ada hak bagi siapapun untuk memaksa putrinya menikah dengan seorang lelaki yang tidak disukainya.
Adapun tindakan pemaksaaan yang terjadi di sebagian negeri (di berbagai belahan bumi ini) terhadap perempuan yang dilakukan oleh walinya untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya adalah merupakan tindakan yang tidak dibenarkan oleh Islam. Maka dari itu, ia punya hak untuk menolak lelaki itu bila ia menghendakinya.
Ibnu Majah, Ahmad dan Nasa’i telah meriwayatkan dari riwayat Abdullah bin Buraidah yang bersumber dari ayahnya. Ayahnya menuturkan: “Pernah ada seorang putri remaja datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku telah menikahkan aku dengan putra saudaranya dengan maksud ingin menghilangkan rasa hinanya.
” Ia menuturkan: Maka Rasulullah memberikan kebebasan untuk memilih kepada perempuan itu, lalu perempuan itu berkata, “Sesungguhnya aku rela menerima apa yang telah diperbuat oleh ayahku, akan tetapi aku ingin mengajarkan kepada sekalian kaum perempuan, bahwa ayah tidak mempunyai hak sedikit pun (untuk memaksa putrinya).”
Jika seorang ayah saja tidak diperbolehkan menikahkan putrinya dengan lelaki yang tidak ia sukai, maka apa lagi orang lain selain ayahnya!
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu juga meriwayatkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا، وَاْلبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا.
“Perempuan janda itu lebih berhak (menentukan pilihannya) daripada walinya, sedangkan perempuan gadis dimintai persetujuan, dan tanda persetujuannya adalah diam.”
Di dalam dua hadits di atas terdapat dalil yang sangat jelas sekali bahwa seorang gadis tidak boleh dipaksa menikah dengan orang yang tidak ia suka. Adapun perempuan janda, maka sudah jelas sekali, bahwa ia benar-benar mempunyai hak penuh untuk menolak atau menerima.
Tak ada seorang pun, termasuk ayahnya sendiri, yang boleh memaksanya menikah dengan orang yang tidak ia suka. Seorang gadis pun mempunyai hak penuh untuk menyatakan pendapatnya, menerima atau menolak.
Orang tua, termasuk sang ayah tidak mempunyai hak kecuali bermusyawarah dan memberikan masukan pendapat kepada putrinya pada fase pertama dari fase-fase kehidupannya, barangkali karena keawaman putrinya terhadap beberapa aspek penting tentang kehidupan ini yang belum ia ketahui, dan ia juga belum pernah memasuki fase percobaan di dalam hubungan bersuami-istri.
Maka fungsi wali berperan sebagai pembimbing dan pemberi nasihat yang ia pandang dapat menjadi kebaikan putrinya. Ketika Islam memberikan kebebasan kepada perempuan untuk memilih calon pendamping hidupnya, sebenarnya mempunyai beberapa sasaran, yaitu:
Pertama, mengakui harga dan martabat perempuan; dia bukan barang dagangan yang bisa diperlakukan sekehendak sang wali.
Kedua, agar terjadi keharmonisan yang merupakan fundamen penting untuk mencapai kebagian berumah-tangga apabila pernikahan itu dilaksanakan berdasarkan pilihan dan kesepakatan dari pihak perempuan.
Ketiga, Sesungguhnya tindakan pemaksaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan kemauan seseorang, secara pasti dapat menyebabkan timbulnya berbagai problem.
Ketika seorang perempuan dipaksa untuk hidup bersama seorang suami yang tidak mendapat rasa cinta di dalam hatinya, maka itu berarti kegagalan untuk memperoleh kehidupan yang dikehendaki oleh Islam di mana ia telah menetapkan batasan-batasan dan aturan-aturan agar bisa dibangun di atas fundamen-fundamen kokoh, seperti rasa cinta, ketenangan dan ketentraman. Dan yang demikian itu tidak bisa diwujudkan dengan pemaksaan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan