18 Ogos 2010

Wanita di Bawah Naungan Islam : Mahar

7 Ramadhan 1431 H
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul

Mahar yang kita maksud adalah sesuatu yang bersifat materi yang diberikan oleh laki-laki kepada perempuan setelah adanya kesepakatan menikah sebagai simbol imbalan atas kesudian perempuan hidup bersamanya.

Mahar itu adalah hak penuh sang istri, tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk memanfa’atkannya tanpa seizin dari perempuan itu. Mahar itu bisa berbentuk emas atau perak dan bisa juga berupa uang kertas, dan boleh juga berupa hewan atau tumbuh-tumbuhan, atau apa saja yang bersifat material.

Namun, mahar seharusnya didasari kemudahan dan tidak menyusahkan (calon suami). Kita mempunyai suri tauladan yang baik, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa ketika Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menikah dengan Fatimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah bersabda kepada Ali, “Berilah ia sesuatu.” Ali menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi bersabda, “Mana baju besimu itu?”

Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah menikahi seorang pun di antara istri-istrinya, dan tidak pula menikahkan putri-putrinya dengan mahar lebih dari 12 Awqiyah.”

Mahar, selain bisa berupa sesuatu yang bersifat material, juga bisa berupa mengajari istri beberapa surat Al-Qur’an, sebagaimana Sahal bin Sa’ad meriwayatkan: bahwasanya ada seorang perempuan datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: “Aku datang untuk menyerahkan diriku kepadamu”.

Maka Rasulullah pun memandang dan mencermati perempuan itu, lalu beliau menundukkan kepalanya. Lalu tatkala perempuan itu mengetahui bahwa Rasulullah tidak memiliki keinginan apapun terhadapnya, maka perempuan itu duduk, dan seketika ada seorang lelaki di antara shahabat Nabi berdiri dan berkata,

“Hai Rasulullah, jika engkau tidak ingin menikahinya, maka nikahkanlah ia kepadaku.” “Apakah kamu mempunyai sesuatu?” Tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lelaki itu menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah.

” Lalu rasulullah bersabda, “Pulanglah engkau ke rumahmu, lalu lihat di sana barang kali ada sesuatu.” Maka lelaki itu pun pulang, kemudian kembali dan mengatakan, “Demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai apa-apa.” Rasulullah bersabda, “Cari, sekali pun berupa cincin dari besi.

” Lalu lelaki itu pulang, kemudian kembali kepada Rasulullah dan berkata, “Demi Allah, aku tidak mempunyai cincin dari besi, yang ada hanyalah kainku ini dan aku serahkan kepadanya separohnya.” Maka Rasulullah bersabda, “Apa yang bisa kamu lakukan terhadap kainmu itu? sebab jika kamu memakainya maka perempuan itu tidak akan mendapatkannya, dan jika ia memakainya,

maka kamu tidak memakai apa-apa.” Maka laki-laki itu duduk sampai cukup lama. Lalu lelaki itu berdiri dan pulang. Ketika Rasulullah melihat bahwa laki-laki itu pulang, beliau pun memanggilnya, tatkala ia kembali,

Rasulullah berkata: “Surah apa saja dari Al-Qur’an yang kamu miliki (hafal)?” Lelaki itu menjawab, “Saya punya beberapa hafalan surah Al-Qur’an.” (ia pun menyebutkannnya).

Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu bisa membacanya di luar kepala?” Ia jawab, “Ya.” Maka Nabi bersabda, “Pergilah kamu! Aku menikahkan kamu dengan perempuan ini dengan mahar surah-surah Al-Qur’an yang kamu hafal.”

Mahar yang telah disepakati itu menjadi wajib apabila disebutkan di dalam akad nikah, telah dilangsungkan dan ia wajib diserahkan kepada istri secara sempurna sesudah bercampur dengannya.

Adapun kalau sebelum bercampur, maka boleh diserahkan sebagiannya saja dan sebagian lain diserahkan nanti sesudah bercampur. Namun, tidak mengapabila diserahkan sepenuhnya sebelum bercampur.

Dan kalau terjadi perceraian sebelum terjadi hubungan (bercampur) maka si perempuan itu hanya mendapat separoh mahar yang telah disepakati, sedangkan separoh lagi dikembalikan kepada suami.

Dan suami boleh mengambil semua maharnya jika si istri merelakannya, atau diambil semuanya oleh istri jika suami merelakannya. Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman,

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ

“Dan jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang-orang yang memegang ikatan nikah.” (Al-Baqarah: 237).

Sesungguhnya Islam telah menganggap sikap mengalah dari pihak laki-laki (suami) atau dari pihak istri itu sebagai qurbah kepada Allah dan suatu keutamaan dan perbuatan baik, sebagaimana dijelaskan pada akhir ayat di atas, seraya difirmankan, “Dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa.

Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.” Maksudnya: Dan janganlah perceraian itu menjadi penyebab kamu lupa akan cinta, kesetiaan dan kedekatan di antara kamu.

Tiada ulasan: