16 Ramadhan 1431 H
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid
Orang yang tidak takut kepada Allah, tentu tak peduli dari mana ia mendapatkan harta dan bagaimana ia menggunakannya. Yang menjadi pikirannya siang malam hanyalah bagaimana menambah simpanannya meski berupa harta haram, baik dari hasil pencurian, suap, ghasab (merampas),
pemalsuan, menjual sesuatu yang haram, kegiatan ribawi, memakan harta anak yatim, atau gaji dari pekerjaan haram seperti perdukunan, pelacuran, menyanyi, korupsi dari Baitul Mal umat Islam atau harta milik umum, mengambil harta orang lain secara paksa atau meminta di saat berkecukupan dan sebagainya.
Lalu dengan harta haram itu ia makan, berpakaian, berkendaraan, membangun rumah, atau menyewanya, melengkapi perabotannya serta membuncitkan perutnya dengan hal-hal yang haram tersebut.
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ.
“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka Neraka lebih pantas baginya.”( Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 19/136; Shahihul Jami’, 3594.)
Pada Hari Kiamat, ia akan ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan bagaimana ia menggunakannya. Di sana ia tentu akan mengalami kerugian dan kehancuran besar.
Karena itu, orang yang memiliki harta haram hendaknya segera berlepas diri daripadanya. Jika merupakan hak sesama manusia maka ia harus segera mengembalikannya kepada yang berhak, dengan memohon maaf dan kerelaan, sebelum datang suatu hari yang utang-piutang tidak lagi dibayar dengan uang, tetapi dengan pahala atau dosa.
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid
Orang yang tidak takut kepada Allah, tentu tak peduli dari mana ia mendapatkan harta dan bagaimana ia menggunakannya. Yang menjadi pikirannya siang malam hanyalah bagaimana menambah simpanannya meski berupa harta haram, baik dari hasil pencurian, suap, ghasab (merampas),
pemalsuan, menjual sesuatu yang haram, kegiatan ribawi, memakan harta anak yatim, atau gaji dari pekerjaan haram seperti perdukunan, pelacuran, menyanyi, korupsi dari Baitul Mal umat Islam atau harta milik umum, mengambil harta orang lain secara paksa atau meminta di saat berkecukupan dan sebagainya.
Lalu dengan harta haram itu ia makan, berpakaian, berkendaraan, membangun rumah, atau menyewanya, melengkapi perabotannya serta membuncitkan perutnya dengan hal-hal yang haram tersebut.
Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ.
“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka Neraka lebih pantas baginya.”( Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam Al-Kabir, 19/136; Shahihul Jami’, 3594.)
Pada Hari Kiamat, ia akan ditanya tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan bagaimana ia menggunakannya. Di sana ia tentu akan mengalami kerugian dan kehancuran besar.
Karena itu, orang yang memiliki harta haram hendaknya segera berlepas diri daripadanya. Jika merupakan hak sesama manusia maka ia harus segera mengembalikannya kepada yang berhak, dengan memohon maaf dan kerelaan, sebelum datang suatu hari yang utang-piutang tidak lagi dibayar dengan uang, tetapi dengan pahala atau dosa.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan