16 Ramadhan 1431 H
Oleh: Syaikh
RENUNGAN KE- 26
Hukum qadha’ puasa ada beberapa macam:
Pertama: Perempuan yang haid dan yang nifas, serta orang yang bepergian, mereka boleh berbuka dan harus membayarnya (qadha’).
Kedua: Perempuan yang hamil dan yang menyusui, apabila mereka khawatir terjadi sesuatu kepada dirinya dan anaknya kemudian berbuka, pendapat yang kuat adalah hanya diwajibkan qadha’ saja, tidak usah fidyah (memberi makanan kepada fakir miskin). Allah berfirman,
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185).
Wanita yang hamil dan yang menyusui termasuk kelompok al marid (orang yang sakit).
Dan dalam hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi dengan sanad yang shahih dikatakan: Sesungguhnya Anas bin Malik pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ternyata Nabi sedang makan siang, seraya berkata, “Kesinilah.. ! Silahkan makan!” Anas menjawab, “Saya sedang puasa”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam berkata,
اِجْلِسْ أُحَدِّثْكَ عَنِ الصَّلاَةِ وَعَنِ الصِّيَامِ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ الْحُبْلىَ الصَّوْمَ.
“Duduklah, saya akan sampaikan kepada kamu tentang shalat dan puasa, sesungguhnya Allah ta’ala mengangkat separoh salat dan puasa dari orang yang bepergian, dan mengangkat puasa dari perempuan yang menyusui dan yang hamil” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An-Nasai’).
Sebagian ulama berkata: Mereka wajib qadha’ dan fidyah, dan berkata yang lainnya: Mereka wajib fidyah saja.
Perbedaan pendapat ini, apabila mereka khawatir terhadap anaknya.
Ketiga: Orang sakit, di sini ada dua macam:
Sakit ringan, seperti sakit demam, boleh ia berbuka tapi harus menggantinya bila sembuh, jika ia meninggal sebelum sembuh maka ahli warisnya tidak ada kewajiban berpuasa untuknya atau membayar fidyah, kecuali jika ia mempunyai kesempatan untuk mengqadha’ tapi ia lalai melaksanakannya.
Sakit berat yang kecil kemungkinan sembuh lagi, maka ia boleh berbuka tapi harus membayar fidyah untuk setiap harinya kepada orang miskin.
Keempat: Orang yang sudah tua renta, sudah pikun, lemah fisik dan akal, maka orang seperti ini tidak ada kewajiban puasa, qadha’ maupun fidyah.
Catattan Penting
Pertama: Apa yang terjadi pada sebagian orang di mana mereka menunda qadha’ sampai lewat Ramadhan berikutnya, hal ini tidak boleh berdasarkan perkataan Aisyah radhiallahu ‘anhu, “Saya pernah punya hutang puasa Ramadhan, tetapi tidak sempat saya bayar kecuali di bulan Sya’ban disebabkan sibuk melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut menunjukkan tidak boleh menunda qadha’ melebihi Ramadhan berikutnya karena akan semakin menumpuk kewajiban puasa, juga karena puasa Ramadhan adalah ibadah tahunan, maka tidak bisa ibadah untuk tahun ini dilaksanakan pada tahun berikutnya.
Kedua: Dalam qadha’ Ramadhan tidak disyaratkan terus menerus sebagaimana di pahami sebagian orang, akan tetapi boleh atau sah bila dilakukan dengan cara hari ini puasa besoknya tidak atau dengan cara yang disukai.
Ketiga: Disunnahkan untuk menyegerakan qadha’, agar segera bebas dari kewajiban; di samping itu yang namanya manusia selalu dikejar oleh yang satu ini yaitu mati; karena itu seyogyanya seseorang segera membersihkan diri dari tanggungan dan kewajibannya, dan menyiapkan persiapan yang matang untuk menuju ke sana (akhirat) sebelum disambar dengan yang satu itu (kematian).
Oleh: Syaikh
RENUNGAN KE- 26
Hukum qadha’ puasa ada beberapa macam:
Pertama: Perempuan yang haid dan yang nifas, serta orang yang bepergian, mereka boleh berbuka dan harus membayarnya (qadha’).
Kedua: Perempuan yang hamil dan yang menyusui, apabila mereka khawatir terjadi sesuatu kepada dirinya dan anaknya kemudian berbuka, pendapat yang kuat adalah hanya diwajibkan qadha’ saja, tidak usah fidyah (memberi makanan kepada fakir miskin). Allah berfirman,
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185).
Wanita yang hamil dan yang menyusui termasuk kelompok al marid (orang yang sakit).
Dan dalam hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi dengan sanad yang shahih dikatakan: Sesungguhnya Anas bin Malik pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ternyata Nabi sedang makan siang, seraya berkata, “Kesinilah.. ! Silahkan makan!” Anas menjawab, “Saya sedang puasa”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam berkata,
اِجْلِسْ أُحَدِّثْكَ عَنِ الصَّلاَةِ وَعَنِ الصِّيَامِ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ عَنِ الْمُسَافِرِ وَعَنِ الْمُرْضِعِ الْحُبْلىَ الصَّوْمَ.
“Duduklah, saya akan sampaikan kepada kamu tentang shalat dan puasa, sesungguhnya Allah ta’ala mengangkat separoh salat dan puasa dari orang yang bepergian, dan mengangkat puasa dari perempuan yang menyusui dan yang hamil” (HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An-Nasai’).
Sebagian ulama berkata: Mereka wajib qadha’ dan fidyah, dan berkata yang lainnya: Mereka wajib fidyah saja.
Perbedaan pendapat ini, apabila mereka khawatir terhadap anaknya.
Ketiga: Orang sakit, di sini ada dua macam:
Sakit ringan, seperti sakit demam, boleh ia berbuka tapi harus menggantinya bila sembuh, jika ia meninggal sebelum sembuh maka ahli warisnya tidak ada kewajiban berpuasa untuknya atau membayar fidyah, kecuali jika ia mempunyai kesempatan untuk mengqadha’ tapi ia lalai melaksanakannya.
Sakit berat yang kecil kemungkinan sembuh lagi, maka ia boleh berbuka tapi harus membayar fidyah untuk setiap harinya kepada orang miskin.
Keempat: Orang yang sudah tua renta, sudah pikun, lemah fisik dan akal, maka orang seperti ini tidak ada kewajiban puasa, qadha’ maupun fidyah.
Catattan Penting
Pertama: Apa yang terjadi pada sebagian orang di mana mereka menunda qadha’ sampai lewat Ramadhan berikutnya, hal ini tidak boleh berdasarkan perkataan Aisyah radhiallahu ‘anhu, “Saya pernah punya hutang puasa Ramadhan, tetapi tidak sempat saya bayar kecuali di bulan Sya’ban disebabkan sibuk melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut menunjukkan tidak boleh menunda qadha’ melebihi Ramadhan berikutnya karena akan semakin menumpuk kewajiban puasa, juga karena puasa Ramadhan adalah ibadah tahunan, maka tidak bisa ibadah untuk tahun ini dilaksanakan pada tahun berikutnya.
Kedua: Dalam qadha’ Ramadhan tidak disyaratkan terus menerus sebagaimana di pahami sebagian orang, akan tetapi boleh atau sah bila dilakukan dengan cara hari ini puasa besoknya tidak atau dengan cara yang disukai.
Ketiga: Disunnahkan untuk menyegerakan qadha’, agar segera bebas dari kewajiban; di samping itu yang namanya manusia selalu dikejar oleh yang satu ini yaitu mati; karena itu seyogyanya seseorang segera membersihkan diri dari tanggungan dan kewajibannya, dan menyiapkan persiapan yang matang untuk menuju ke sana (akhirat) sebelum disambar dengan yang satu itu (kematian).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan