16 Ramadhan 1431 H
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Pertanyaan dia atas adalah pertanyan yang sering dilontarkan. Jawabannya tidak terlalu banyak membutuhkan pemikiran. Suami adalah pemegang kendali keluarga, dialah yang mengembannya dan menanggung beban biaya mahar, nafkah rumah tangga dan semua urusan kehidupan matriel.
Maka kalau hak talak diberikan kepadanya adalah merupakan hal wajar yang sesuai dengan logika bahwa suamilah yang menanggung segala sesuatu. Sedangkan istri, sama sekali tidak dibebani sedikit pun dari beban kehidupan rumah tangga.
Selagi sang suami seorang diri yang mengemban setiap beban tanggung jawab kehidupan berumah tangga, maka sebagai haknya adalah otoritas mengakhirinya jika dipandang sudah tidak bisa mendatangkan kebahagiaan.
Dan hal lain lagi adalah bahwa laki-laki, biasanya mempunyai kemampuan untuk mengendalikan emosinya di saat terjadi pertikaan di antara dia dengan istrinya.
Lebih dari itu, ia mengetahui akibat buruk yang akan terjadi di kala ia menjatuhkan kata talak, seperti harus menanggung beban biaya yang cukup besar apabila akan menikah lagi, dan berbagai problem rumit yang akan muncul sesudahnya.
Maka dari itu, ia tidak akan mudah melontarkan kata cerai. Karena itu, merupakan suatu maslahat jika otoritas talak ada di tangan suami.
Kalau sekiranya otoritas talak itu ada di tangan perempuan, padahal perempuan biasanya mudah terpengaruh dan biasanya sisi emosinya lebih kuat daripada daya fikirnya, dan perempuan juga tidak menanggung tanggung jawab materi, baik kewajiban memberi nafkah ataupun lainnya.
Dan juga bila mempunyai ambisi untuk menempuh hidup baru dengan suami baru pula, maka ia tidak menghiraukan akibat-akibatnya. Jadi, kalau sekiranya talak itu menjadi otoritas perempuan niscaya ia akan mudah menjatuhakan talak.
Padahal tindakan mudah menjatuhkan talak itu merupakan perkara yang tidak disukai Allah. Oleh sebab itu semua, adalah sangat bijak kalau talak itu menjadi hak suami saja.
Lain halnya kalau ketika akad nikah sang istri memberikan syarat agar keputusan harus ada padanya, atau sang suami tidak membawanya ke negeri lain, atau tidak boleh dimadu, kemudian suami tidak konsisten dengan syarat yang ditentukan oleh istri di saat akad nikah itu, maka istri boleh menentukan pilihan apakah ia melakukan fasakh terhadap suami atau memilih tetap bersamanya.
Jika ia secara tegas mengatakan: “Aku memilih untuk hidup sendirian”, maka perceraian berarti talak satu. Kalau ia mencerai dirinya tiga kali (talak tiga), namun suami mengatakan
“aku hanya menerima talak satu saja”, maka ucapan suami tidak perlu dipedulikan dan itu berarti telah menjadi talak tiga, dan tidak boleh ada rujuk kecuali jika sang perempuan itu menikah lagi dengan lelaki lain secara sah.
Lalu jika terjadi perceraian dengan suami kedua tersebut, maka mantan suami (suami pertama) boleh melakukan nikah ulang dengannya.
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Pertanyaan dia atas adalah pertanyan yang sering dilontarkan. Jawabannya tidak terlalu banyak membutuhkan pemikiran. Suami adalah pemegang kendali keluarga, dialah yang mengembannya dan menanggung beban biaya mahar, nafkah rumah tangga dan semua urusan kehidupan matriel.
Maka kalau hak talak diberikan kepadanya adalah merupakan hal wajar yang sesuai dengan logika bahwa suamilah yang menanggung segala sesuatu. Sedangkan istri, sama sekali tidak dibebani sedikit pun dari beban kehidupan rumah tangga.
Selagi sang suami seorang diri yang mengemban setiap beban tanggung jawab kehidupan berumah tangga, maka sebagai haknya adalah otoritas mengakhirinya jika dipandang sudah tidak bisa mendatangkan kebahagiaan.
Dan hal lain lagi adalah bahwa laki-laki, biasanya mempunyai kemampuan untuk mengendalikan emosinya di saat terjadi pertikaan di antara dia dengan istrinya.
Lebih dari itu, ia mengetahui akibat buruk yang akan terjadi di kala ia menjatuhkan kata talak, seperti harus menanggung beban biaya yang cukup besar apabila akan menikah lagi, dan berbagai problem rumit yang akan muncul sesudahnya.
Maka dari itu, ia tidak akan mudah melontarkan kata cerai. Karena itu, merupakan suatu maslahat jika otoritas talak ada di tangan suami.
Kalau sekiranya otoritas talak itu ada di tangan perempuan, padahal perempuan biasanya mudah terpengaruh dan biasanya sisi emosinya lebih kuat daripada daya fikirnya, dan perempuan juga tidak menanggung tanggung jawab materi, baik kewajiban memberi nafkah ataupun lainnya.
Dan juga bila mempunyai ambisi untuk menempuh hidup baru dengan suami baru pula, maka ia tidak menghiraukan akibat-akibatnya. Jadi, kalau sekiranya talak itu menjadi otoritas perempuan niscaya ia akan mudah menjatuhakan talak.
Padahal tindakan mudah menjatuhkan talak itu merupakan perkara yang tidak disukai Allah. Oleh sebab itu semua, adalah sangat bijak kalau talak itu menjadi hak suami saja.
Lain halnya kalau ketika akad nikah sang istri memberikan syarat agar keputusan harus ada padanya, atau sang suami tidak membawanya ke negeri lain, atau tidak boleh dimadu, kemudian suami tidak konsisten dengan syarat yang ditentukan oleh istri di saat akad nikah itu, maka istri boleh menentukan pilihan apakah ia melakukan fasakh terhadap suami atau memilih tetap bersamanya.
Jika ia secara tegas mengatakan: “Aku memilih untuk hidup sendirian”, maka perceraian berarti talak satu. Kalau ia mencerai dirinya tiga kali (talak tiga), namun suami mengatakan
“aku hanya menerima talak satu saja”, maka ucapan suami tidak perlu dipedulikan dan itu berarti telah menjadi talak tiga, dan tidak boleh ada rujuk kecuali jika sang perempuan itu menikah lagi dengan lelaki lain secara sah.
Lalu jika terjadi perceraian dengan suami kedua tersebut, maka mantan suami (suami pertama) boleh melakukan nikah ulang dengannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan