14 Ramadhan 1431 H
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid
Memberi uang suap kepada qadhi atau hakim agar ia membungkam kebenaran atau memberlakukan kebatilan merupakan suatu kejahatan. Sebab perbuatan itu mengakibatkan ketidakadilan dalam hukum, penindasan orang yang berada dalam kebenaran serta menyebarkan kerusakan di bumi. Allah berfirman,
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188).
Dalam sebuah hadits marfu’ riwayat Abu Hurairah disebutkan,
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ فِي الْحُكْمِ.
“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam (urusan) hukum.”( Hadits riwayat Imam Ahmad, 2/387; Shahihul Jami’, 5069.)
Adapun jika tak ada jalan lain lagi selain suap untuk mendapatkan kebenaran atau menolak kezhaliman maka hal itu tidak termasuk dalam ancaman tersebut.
Saat ini, suap-menyuap sudah menjadi kebiasaan umum. Bagi sebagian pegawai, suap menjadi (income) pemasukan yang hasilnya lebih banyak dari gaji yang mereka peroleh. Untuk urusan suap menyuap, banyak perusahaan dan kantor yang mengalokasikan dana khusus.
Berbagai urusan bisnis atau mu’amalah lainnya, hampir semua dimulai dan diakhiri dengan tindakan suap. Ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi orang-orang miskin. Karena adanya suap, undang-undang dan peraturan menjadi tak berguna lagi.
Soal suap pula yang menjadikan orang yang berhak diterima sebagai karyawan digantikan oleh mereka yang tidak berhak.
Dalam urusan administrasi misalnya, pelayanan yang baik hanya diberikan kepada mereka yang mau membayar. Adapun yang tidak membayar, ia akan dilayani asal-asalan, diperlambat atau diakhirkan. Pada saat yang sama, para penyuap yang datang belakangan, urusannya selesai lebih dahulu.
Karena soal suap-menyuap, uang yang mestinya milik mereka yang bekerja, bertukar masuk ke dalam kantong orang lain.
Disebabkan oleh hal ini, juga hal lain maka tak heran jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon agar orang-orang yang memiliki andil dalam urusan suap-menyuap semuanya dijauhkan dari rahmat Allah.
Dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ
“Semoga laknat Allah atas penyuap dan orang yang disuap.”( Hadits riwayat Ibnu Majah , 2313; Shahihul Jami’, 5114.)
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid
Memberi uang suap kepada qadhi atau hakim agar ia membungkam kebenaran atau memberlakukan kebatilan merupakan suatu kejahatan. Sebab perbuatan itu mengakibatkan ketidakadilan dalam hukum, penindasan orang yang berada dalam kebenaran serta menyebarkan kerusakan di bumi. Allah berfirman,
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188).
Dalam sebuah hadits marfu’ riwayat Abu Hurairah disebutkan,
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ فِي الْحُكْمِ.
“Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam (urusan) hukum.”( Hadits riwayat Imam Ahmad, 2/387; Shahihul Jami’, 5069.)
Adapun jika tak ada jalan lain lagi selain suap untuk mendapatkan kebenaran atau menolak kezhaliman maka hal itu tidak termasuk dalam ancaman tersebut.
Saat ini, suap-menyuap sudah menjadi kebiasaan umum. Bagi sebagian pegawai, suap menjadi (income) pemasukan yang hasilnya lebih banyak dari gaji yang mereka peroleh. Untuk urusan suap menyuap, banyak perusahaan dan kantor yang mengalokasikan dana khusus.
Berbagai urusan bisnis atau mu’amalah lainnya, hampir semua dimulai dan diakhiri dengan tindakan suap. Ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi orang-orang miskin. Karena adanya suap, undang-undang dan peraturan menjadi tak berguna lagi.
Soal suap pula yang menjadikan orang yang berhak diterima sebagai karyawan digantikan oleh mereka yang tidak berhak.
Dalam urusan administrasi misalnya, pelayanan yang baik hanya diberikan kepada mereka yang mau membayar. Adapun yang tidak membayar, ia akan dilayani asal-asalan, diperlambat atau diakhirkan. Pada saat yang sama, para penyuap yang datang belakangan, urusannya selesai lebih dahulu.
Karena soal suap-menyuap, uang yang mestinya milik mereka yang bekerja, bertukar masuk ke dalam kantong orang lain.
Disebabkan oleh hal ini, juga hal lain maka tak heran jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memohon agar orang-orang yang memiliki andil dalam urusan suap-menyuap semuanya dijauhkan dari rahmat Allah.
Dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu, ia berkata, bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ
“Semoga laknat Allah atas penyuap dan orang yang disuap.”( Hadits riwayat Ibnu Majah , 2313; Shahihul Jami’, 5114.)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan