14 Ramadhan 1431 H
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid
Pangkat dan kedudukan di tengah manusia, jika disyukuri merupakan salah satu nikmat Allah atas hamba-Nya. Di antara cara bersyukur atas nikmat ini adalah dengan menggunakan pangkat dan kedudukan tersebut buat mashlahat dan kepentingan umat. Ini merupakan realisasi dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ.
“Barangsiapa di antara kalian bisa memberi manfaat kepada saudaranya, hendaknya ia lakukan.”( Hadits riwayat Muslim,4/1726.)
Orang yang dengan pangkatnya bisa memberikan manfaat kepada saudaranya sesama muslim, baik dalam mencegah kezhaliman darinya atau mendatangkan manfaat untuknya, jika niatnya ikhlas tanpa diikuti perbuatan haram atau merugikan hak orang lain, ia akan mendapat pahala di sisi Allah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
اِشْفَعُوْا تُؤْجَزُوْا
“Berilah pertolongan, niscaya kalian diberi pahala.”( Hadits riwayat Abu Daud , 5132; Hadits ini terdapat dalam Shahihain, Fathul Bari, 10/450, Kitab Adab, Bab Ta’awanul Mukminin Ba’dhuhum Ba’dha.)
Tetapi ia tidak boleh mengambil upah dari pertolongan dan perantara yang ia berikan. Ini berdasarkan hadits marfu’ dari Abu Umamah,
مَنْ شَفَعَ لأَحَدٍ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً [عَلَيْهَا] فَقَبِلَهَا [مِنْهُ] فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيْمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا.
“Barangsiapa memberi pertolongan kepada seseorang, lalu ia diberi hadiah (atas pertolongan itu) kemudian (mau) menerimanya, sungguh ia telah mendatangkan suatu pintu yang besar di antara pintu-pintu riba.” ( Hadits riwayat Imam Ahmad, 5/261; Ta’awanul Mukminin; Shahihul Jami’, 6292.)
Sebagian orang menggunakan pangkat dan jabatannya untuk mengeruk keuntungan materi. Misalnya dengan mensyaratkan imbalan dalam pengangkatan kepegawaian seseorang atau dalam memindah-tugaskan pegawai dari satu daerah ke daerah lain, atau juga dalam mengobati pasien yang sakit dan hal lain yang semacamnya.
Menurut pendapat yang kuat, imbalan yang diterimanya itu hukumnya haram, berdasarkan hadits Abu Umamah sebagaimana telah disebutkan di muka.
Bahkan secara umum hadits itu mencakup pada penerimaan imbalan yang tidak disyaratkan di muka ( Diambil dari keterangan Syaikh Abdul Aziz bin Baz secara lisan. )
Cukuplah orang yang berbuat baik itu mengharap imbalannya dari Allah kelak pada hari Kiamat.
Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Al-Hasan bin Sahal meminta pertolongan dalam suatu keperluan, sehingga ia ditolaknya. Laki-laki itu berterima kasih kepada Al-Hasan.
Tetapi Al Hasan bin Sahal berkata, “Atas dasar apa engkau berterima kasih kepada kami? Kami memandang bahwasanya pangkat wajib dizakati, sebagaimana harta wajib dizakati.”( Al-Adab Asy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih, 2/176. )
Perlu dicatat, ada perbedaan antara mengupah dan menyewa seseorang untuk melakukan tugas, mengawasi atau menyempurnakannya dengan menggunakan pangkat dan kedudukannya untuk tujuan materi.
Yang pertama, jika memenuhi persyaratan syari’at diperbolehkan karena termasuk dalam bab sewa-menyewa, sedang yang kedua hukumya haram.
Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid
Pangkat dan kedudukan di tengah manusia, jika disyukuri merupakan salah satu nikmat Allah atas hamba-Nya. Di antara cara bersyukur atas nikmat ini adalah dengan menggunakan pangkat dan kedudukan tersebut buat mashlahat dan kepentingan umat. Ini merupakan realisasi dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ.
“Barangsiapa di antara kalian bisa memberi manfaat kepada saudaranya, hendaknya ia lakukan.”( Hadits riwayat Muslim,4/1726.)
Orang yang dengan pangkatnya bisa memberikan manfaat kepada saudaranya sesama muslim, baik dalam mencegah kezhaliman darinya atau mendatangkan manfaat untuknya, jika niatnya ikhlas tanpa diikuti perbuatan haram atau merugikan hak orang lain, ia akan mendapat pahala di sisi Allah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
اِشْفَعُوْا تُؤْجَزُوْا
“Berilah pertolongan, niscaya kalian diberi pahala.”( Hadits riwayat Abu Daud , 5132; Hadits ini terdapat dalam Shahihain, Fathul Bari, 10/450, Kitab Adab, Bab Ta’awanul Mukminin Ba’dhuhum Ba’dha.)
Tetapi ia tidak boleh mengambil upah dari pertolongan dan perantara yang ia berikan. Ini berdasarkan hadits marfu’ dari Abu Umamah,
مَنْ شَفَعَ لأَحَدٍ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً [عَلَيْهَا] فَقَبِلَهَا [مِنْهُ] فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيْمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا.
“Barangsiapa memberi pertolongan kepada seseorang, lalu ia diberi hadiah (atas pertolongan itu) kemudian (mau) menerimanya, sungguh ia telah mendatangkan suatu pintu yang besar di antara pintu-pintu riba.” ( Hadits riwayat Imam Ahmad, 5/261; Ta’awanul Mukminin; Shahihul Jami’, 6292.)
Sebagian orang menggunakan pangkat dan jabatannya untuk mengeruk keuntungan materi. Misalnya dengan mensyaratkan imbalan dalam pengangkatan kepegawaian seseorang atau dalam memindah-tugaskan pegawai dari satu daerah ke daerah lain, atau juga dalam mengobati pasien yang sakit dan hal lain yang semacamnya.
Menurut pendapat yang kuat, imbalan yang diterimanya itu hukumnya haram, berdasarkan hadits Abu Umamah sebagaimana telah disebutkan di muka.
Bahkan secara umum hadits itu mencakup pada penerimaan imbalan yang tidak disyaratkan di muka ( Diambil dari keterangan Syaikh Abdul Aziz bin Baz secara lisan. )
Cukuplah orang yang berbuat baik itu mengharap imbalannya dari Allah kelak pada hari Kiamat.
Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Al-Hasan bin Sahal meminta pertolongan dalam suatu keperluan, sehingga ia ditolaknya. Laki-laki itu berterima kasih kepada Al-Hasan.
Tetapi Al Hasan bin Sahal berkata, “Atas dasar apa engkau berterima kasih kepada kami? Kami memandang bahwasanya pangkat wajib dizakati, sebagaimana harta wajib dizakati.”( Al-Adab Asy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih, 2/176. )
Perlu dicatat, ada perbedaan antara mengupah dan menyewa seseorang untuk melakukan tugas, mengawasi atau menyempurnakannya dengan menggunakan pangkat dan kedudukannya untuk tujuan materi.
Yang pertama, jika memenuhi persyaratan syari’at diperbolehkan karena termasuk dalam bab sewa-menyewa, sedang yang kedua hukumya haram.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan