14 Ramadhan 1431 H
Oleh: Syaikh
RENUNGAN KE -22
Dalam sepuluh hari terakhir Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersungguh-sungguh terhadap hal-hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya, karena itu beliau beri’tikaf pada hari tersebut dan dipergunakannya untuk mencari Lailatul Qadar.
Dalam As-Shahihain, Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya dan mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli istrinya).” (HR. Al-Bukhari).
Imam Muslim menambahkan, “Dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya.”
Kalimat “wasadda mi’zarahu” maknanya adalah kiasan dari sebuah persiapan untuk beribadah dan bersungguh-sungguh padanya melebihi dari biasanya, artinya mengoptimalkan ibadah.
Seperti dikatakan dalam bahasa Arab Syadadtu lihadzal amri mi’zari yakni memperkuat dan mengencangkan kainku demi urusan ini.
Dan menurut pendapat lain maknanya adalah kiasan dari menjauhkan diri dari menggauli istrinya. Makna ini yang paling tepat karena kiasan seperti ini telah terkenal di kalangan orang Arab, sebagaimana dalam syairnya:
Suatu kaum apabila berperang
Mereka mengencangkan kainnya
Kemudian tidak menggauli istrinya
Kendatipun dalam keadaan suci
Dan makna “ahyal laila” ialah mengisi malam dengan melakukan shalat dan lainnya sebagaimana dikatakan dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku tidak tahu Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam membaca Al-Qur'an tamat (selesai) satu malam, juga qiyamullail semalam suntuk sampai Shubuh, serta puasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan.” (HR. An-Nasa’i).
Makna kalimat “ahyal lail” dapat diertikan melakukan qiyamullail pada sebagian besar malam atau semalam suntuk selain waktu Isya’ dan sahur, maka jadilah maksudnya menghidupkan sebagian besar malam.
Dan makna “wa aiqazha ahlahu” ialah beliau membangunkan istri-istrinya agar melakukan shalat qiyamullail, dan sudah dimaklumi bahwa beliau senantiasa membangunkan keluarganya di sepanjang tahun tetapi tidak untuk semalam suntuk, dalam Shahih Al-Bukhari dikatakan, “Pada suatu malam, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bangun dan berkata,
سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتْنَةِ مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ مَنْ يُوقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ يَا رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الْآخِرَةِ.
‘Subhanallah fitnah apa yang akan diturunkan pada malam ini .. dan apa yang akan diturunkan dari perbendaharaan.. dan siapa yang dapat membangunkan orang yang sedang tidur di kamarnya .
betapa banyak orang yang berpakaian di dunianya tetapi telanjang di akhiratnya.” (HR. Al-Bukhari).
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam membangunkan Aisyah radhiallahu ‘anhu apabila beliau hendak melakukan shalat witir, akan tetapi pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan beliau membangunkan keluarganya lebih tampak jelas dari hari-hari yang lainnya.
Oleh: Syaikh
RENUNGAN KE -22
Dalam sepuluh hari terakhir Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersungguh-sungguh terhadap hal-hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya, karena itu beliau beri’tikaf pada hari tersebut dan dipergunakannya untuk mencari Lailatul Qadar.
Dalam As-Shahihain, Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Bila masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya dan mengencangkan kainnya (menjauhkan diri dari menggauli istrinya).” (HR. Al-Bukhari).
Imam Muslim menambahkan, “Dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya.”
Kalimat “wasadda mi’zarahu” maknanya adalah kiasan dari sebuah persiapan untuk beribadah dan bersungguh-sungguh padanya melebihi dari biasanya, artinya mengoptimalkan ibadah.
Seperti dikatakan dalam bahasa Arab Syadadtu lihadzal amri mi’zari yakni memperkuat dan mengencangkan kainku demi urusan ini.
Dan menurut pendapat lain maknanya adalah kiasan dari menjauhkan diri dari menggauli istrinya. Makna ini yang paling tepat karena kiasan seperti ini telah terkenal di kalangan orang Arab, sebagaimana dalam syairnya:
Suatu kaum apabila berperang
Mereka mengencangkan kainnya
Kemudian tidak menggauli istrinya
Kendatipun dalam keadaan suci
Dan makna “ahyal laila” ialah mengisi malam dengan melakukan shalat dan lainnya sebagaimana dikatakan dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku tidak tahu Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam membaca Al-Qur'an tamat (selesai) satu malam, juga qiyamullail semalam suntuk sampai Shubuh, serta puasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan.” (HR. An-Nasa’i).
Makna kalimat “ahyal lail” dapat diertikan melakukan qiyamullail pada sebagian besar malam atau semalam suntuk selain waktu Isya’ dan sahur, maka jadilah maksudnya menghidupkan sebagian besar malam.
Dan makna “wa aiqazha ahlahu” ialah beliau membangunkan istri-istrinya agar melakukan shalat qiyamullail, dan sudah dimaklumi bahwa beliau senantiasa membangunkan keluarganya di sepanjang tahun tetapi tidak untuk semalam suntuk, dalam Shahih Al-Bukhari dikatakan, “Pada suatu malam, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bangun dan berkata,
سُبْحَانَ اللَّهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتْنَةِ مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَزَائِنِ مَنْ يُوقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ يَا رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي الْآخِرَةِ.
‘Subhanallah fitnah apa yang akan diturunkan pada malam ini .. dan apa yang akan diturunkan dari perbendaharaan.. dan siapa yang dapat membangunkan orang yang sedang tidur di kamarnya .
betapa banyak orang yang berpakaian di dunianya tetapi telanjang di akhiratnya.” (HR. Al-Bukhari).
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam membangunkan Aisyah radhiallahu ‘anhu apabila beliau hendak melakukan shalat witir, akan tetapi pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan beliau membangunkan keluarganya lebih tampak jelas dari hari-hari yang lainnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan