24 Ramadhan 1431H.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Landasan hukum tentang wajib atau tidaknya hijab bagi perempuan muslimah adalah perbedaan penafsiran para ulama terhadap firman Allah Subhaanahu Wata'ala,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka (perempuan-perempuan muslimah) menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (An-Nur: 31).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa perhiasan yang biasa tampak dimaksud adalah celak.
Dalam riwayat lain beliau berpendapat bahwa perhiasan yang tampak itu adalah wajah, celak mata, perhiasan di tangan dan cincin. Sedangkan Sa’id bin Jubair dan Dhahhak berpendapat bahwa ma’na “perhiasan yang biasa tampak” yang di maksud di dalam ayat di atas adalah wajah dan tangan.
‘Atha’ berpendapat: kedua tangan dan wajah.
Sementara, Imam Auza’i berpendapat bahwa “perhiasan yang biasa nampak” adalah wajah dan kedua tangan.
Banyak para ulama, baik yang terdahulu atau pun yang belakangan berpendapat sama dengan pendapat di atas, mereka memperkuat pendapat mereka dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Asma’ binti Abu Bakar Shiddik ketika ia masuk kepada beliau dengan pakaian tipis, maka Rasulullah berpaling darinya sambil bersabda,
يَا أَسْمَاءَ، إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا. وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ.
“Wahai Asma’, perempuan itu apabila sudah mencapai usia haid (baca: baligh) tidak boleh tampak darinya selain ini”, Nabi sambil mengisyaratkan kepada wajah dan kedua tangannya.
Dan juga ada hadits di dalam Shahih Al-Bukhari dan lainnya yang bersumber dari riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membonceng Fadhal bin Abbas dalam perjalanan Hajjatul Wada’, tiba-tiba datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seorang perempuan cantik dari marga Khats’ami, sementara Fadhal selalu mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memegang dagu Fadhal guna memalingkan wajahnya dari perempuan tadi.
Di dalam riwayat Imam at-Tirmidzi diriwayatkan bahwa kerana peristiwa tersebut al-Abbas berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Engkau telah memutar (membengkokkan) leher anak pamanmu sendiri.” Maka Nabi bersabda, “Aku lihat seorang remaja putra dan remaja putri, lalu aku tidak dapat menjamin keduanya terhindar dari fitnah.”
Peristiwa atau kisah di atas terjadi sesudah lima tahun ayat hijab diturunkan, sekalipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh perempuan cantik itu untuk menutup wajahnya dan Nabi tidak mengingkari Fadhal yang secara berulang kali melihat kepadanya. Nabi hanya memalingkan wajah Fadhal dari perempuan itu setelah Nabi melihat Fadhal lama sekali menatapkan pandangannya kepada sang gadis cantik kerana dikhawatirkan akan terjadi fitnah. Maka dari itu ada hadits yang mengatakan bahwa pandangan pertama adalah rizki bagi laki-laki dan pandangan kedua adalah dosa.
Juga diperkuat dengan hadits yang menyatakan bahwa laki-laki yang akan melakukan shalat wajib menutup auratnya, sedangkan perempuan wajib menutup seluruh tubuhnya di waktu shalat selain wajah dan kedua tangannya. (Perempuan boleh membuka keduanya di dalam shalat).
Syeikh al-Muwaffaq di dalam kitabnya al-Mughni mengatakan: Tidak diperselisihkan di dalam madzhab (Hanbali) bahwasanya perempuan boleh membuka wajahnya ketika shalat dan bahwasanya ia (perempuan) hanya diperbolehkan membuka wajah dan kedua tangannya. Mengenai kedua tangan itu ada dua riwayat (pendapat) dan para ulama berbeza pendapat. Namun, kebanyakan mereka sepakat (sependapat) bahwasanya perempuan boleh melakukan shalat dengan wajah terbuka.
Mereka juga sependapat bahwasanya perempuan merdeka wajib menutup kepalanya apabila shalat dan bahwasanya apabila ia shalat, sedangkan seluruh kepalanya terbuka, maka ia wajib mengulangi shalatnya. (shalatnya tidak shah. pen.)
Sesungguhnya Islam tidak memerintahkan menutup wajah, Islam hanya memerintahkan menutup dada, dengan dalil firman Allah Subhaanahu Wata'ala,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya.” (An-Nur: 31).
Al-Jayb di dalam ayat itu ialah tutup pakaian yang di bagian dada, sedangkan al-Khimar adalah kerudung penutup kepala, leher dan dada. Masalahnya adalah bahwa kaum perempuan masa Jahiliyah biasa membuka kerudung mereka ke belakang bagian kepala dan membuka pakaian bagian dadanya agar kalung perhiasannya tampak, dan apabila berjalan mereka menghentakkan kakinya supaya gelang yang ada pada kaki mereka diketahui orang.
Maka setelah Allah Subhaanahu Wata'ala menurunkan perintah menutup dada dengan kerudung mereka agar bagian-bagian yang sensitif tidak nampak dan tidak mengundang perhatian dan fitnah, sebagaimana Dia firmankan: “Dan hendaklah mereka tidak menampakan perhiasannya kecuali apa yang (biasa) nampak”, maka kaum perempuan pada saat itu, sebagaiamana dituturkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Semoga Allah merahmati para perempuan kaum Muhajirin yang awal, kerana tatkala Allah menurunkan ayat “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya.” (An-Nur: 31) mereka langsung merobek pakaian khas mereka lalu mereka gunakan untuk menutup kepala.
Khumur adalah kata jamak dari khimar yang berarti kerudung atau tutup kepala, sedangkan juyub adalah kata jamak dari jaib yang berarti bagian dada pada pakaian yang boleh dibuka dan di kancing.
Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha menuturkan, ketika kami sedang berada di sisi Aisyah, ia berkata, “Mereka sedang membicarakan kaum perempuan suku Quraisy dan kelebihannya.” Di antara ungkapan Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah: “Sesungguhnya para perempuan kaum Quraisy itu mempunyai kelebihan (keutamaan) tersendiri, dan sesungguhnya aku, demi Allah, tidak pernah melihat kaum perempuan yang lebih utama daripada para perempuan kaum Anshar, lebih meyakini Kitabullah (Al-Qur’an) dan lebih beriman kepada Kitab yang diturunkan, iaitu ketika ayat di dalam Surah an-Nur (“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya”) diturunkan, para suami mereka langsung datang kepada istrinya masing-masing untuk membacakan yang diturunkan (tentang hijab) kepada mereka. Nampak seorang lelaki membacakannya kepada istri, putri, saudara perempuannya dan setiap keluarga dekatnya. Maka tidak ada seorang perempuan pun di antara mereka melainkan langsung mengambil kain khasnya lalu mereka lilitkan pada kepala mereka, kerana meyakini dan beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah Subhaanahu Wata'ala di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, sehingga berada di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutup kepala (berkerudung) hingga nampak seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak.”
Penulis kitab Al-Mughni menyebutkan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i bahwa seluruh tubuh perempuan itu aurat selain wajah dan kedua tangannya, maka selain yang dua ini wajib di tutup ketika shalat. Mereka berdalil dengan pendapat Ibnu Abbas di dalam menfasirkan firman Allah Subhaanahu Wata'ala: “Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasannya kecuali perhiasan yang (biasa) tampak darinya”, di mana Ibnu Abbas mengatakan ‘kecuali wajah dan kedua tangan’, dan kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perempuan yang sedang berihram (untuk haji mau pun umrah) memakai sarung tangan dan niqab (tutup wajah).
Alasan mereka, kalau seandainya wajah dan kedua tangan adalah aurat, niscaya tidak dilarang menutupnya. Dan juga keperluan selalu menuntut wajah terbuka untuk keperluan jual-beli dan tangan pun demikian untuk keperluan penyerahan dan pengambilan.
Sedangkan ulama lainnya, termasuk sebagian shahabat di dalam mengartikan firman Allah Subhaanahu Wata'ala ”Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasannya kecuali perhiasan yang (biasa) tampak darinya” mereka mengatakan bahwa yang dimaksud perhiasan yang biasa nampak adalah bukan wajah dan kedua tangan, namun yang lainnya.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa “perhiasan yang biasa tampak” adalah pakaian. Imam Ahmad rahimahullah pun menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan pada ayat itu adalah pakaian, dengan merujuk kepada ayat lain yang mengatakan:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai Bani Adam (manusia), pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid...” (Al-A’raf: 31).
(Pada ayat ini kata zinah berarti pakaian yang indah. Pent.)
Mereka juga merujuk kepada luasnya cakupan ayat hijab yang meliputi seluruh perempuan yang beriman, iaitu ayat pada firman Allah Subhaanahu Wata'ala,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, kerana itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).
Dan ayat pada firman Allah,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
“Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari balik tabir...” (Al-Ahzab: 53).
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku, “Jangan engkau ikuti penglihatan pertama dengan penglihatan berikutnya, karena milikmu hanya pandangan yang pertama dan yang berikutnya itu bukan hakmu.”
Juga hadits yang diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan seketika (yang jatuh pada perempuan), maka beliau menyuruhku agar aku mengalihkan pandanganku.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan At-Turmudzi).
Mereka juga merujuk kepada hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dia menuturkan: Ketika aku bersama Hafshah sedang duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Ibnu Ummi Maktum minta izin (masuk), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berlindunglah kalian di balik tabir.” (HR. Abu Daud).
Kemudian hadits yang menyatakan boleh memandang perempuan di saat berkeinginan meminangnya, sebab kalau sekiranya memandang (melihat) kepada perempuan itu boleh pada berbagai kesempatan, maka tidak ada artinya perintah secara khusus untuk memandang itu. Maka hal itu menunjukkan tidak boleh memandang kepada perempuan tanpa ada keperluan (yang dibenarkan oleh syara’).
Itulah dalil dan hujah masing-masing kedua kelompok ulama di dalam masalah di atas.
Dari uraian di atas jelas sekali perbezaan pandangan di kalangan ulama kaum muslimin dalam masalah boleh dan tidaknya perempuan membuka wajah dan kedua tangannya, dan sesungguhnya perbedaan pendapat itu ada dan sudah terjadi semenjak masa para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga masa kita sekarang.
Hal yang tidak boleh diragukan lagi adalah bahwa masing-masing kelompok mempunyai dalil-dalil tersendiri yang sangat jelas yang mereka jadikan sandaran, dan berdasarkan dalil-dalil itu pulalah mereka melihat bahwa pendapatnyalah yang benar, berdasarkan kemampuan daya nalar dan analisa mereka di dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits seputar masalah di atas.
Kita pun telah memaklumi bahwa seorang alim apabila melakukan suatu ijtihad dan ijtihadnya tepat, maka ia menda-pat dua pahala, dan jika hasil ijtihad yang ia lakukan kurang tepat, bahkan keliru, maka ia mendapat satu pahala.
Perlu ditegaskan di sini adalah bahwa para ulama yang berpendapat tidak haram bagi perempuan membuka wajah dan kedua tangannya, mereka tidak membolehkan membuka lebih dari itu kepada selain mahram. Sedangkan apa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum perempuan sekarang ini, seperti membuka kepala, leher, dada, kedua betis (kaki), lengan tangan dan anggota badan lainnya, maka dalam pandangan mereka adalah haram hukumnya, dan mereka sama sekali tidak membolehkannya kecuali dalam keadaan darurat, seperti kepada doktor dalam keperluan pemeriksaan di kala sakit.
Menurut hemat penulis bahwa tafsiran “kecuali perhiasaan yang biasa tampak” adalah pakaian yang sedang dipakai oleh perempuan, ini adalah pendapat yang tidak boleh diterima, kerana tidak ayat-ayat Al-Qur’an ataupun hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan larangan melihat kepada pakaian yang dikenakan oleh perempuan. Maka (menurut pendapat penulis) makna atau tafsiran firman Allah “kecuali perhiasaan yang biasa nampak” adalah wajah dan kedua tangan.
Apapun alasannya, sebaiknya setiap perempuan muslimah berupaya seboleh mungkin menyembunyikan (tidak menampakkan) perhiasaan hingga wajah sekalipun, agar terhindar dari kejahilan orang-orang jahil di zaman yang penuh dengan kerusakan ini.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Landasan hukum tentang wajib atau tidaknya hijab bagi perempuan muslimah adalah perbedaan penafsiran para ulama terhadap firman Allah Subhaanahu Wata'ala,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka (perempuan-perempuan muslimah) menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak darinya.” (An-Nur: 31).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa perhiasan yang biasa tampak dimaksud adalah celak.
Dalam riwayat lain beliau berpendapat bahwa perhiasan yang tampak itu adalah wajah, celak mata, perhiasan di tangan dan cincin. Sedangkan Sa’id bin Jubair dan Dhahhak berpendapat bahwa ma’na “perhiasan yang biasa tampak” yang di maksud di dalam ayat di atas adalah wajah dan tangan.
‘Atha’ berpendapat: kedua tangan dan wajah.
Sementara, Imam Auza’i berpendapat bahwa “perhiasan yang biasa nampak” adalah wajah dan kedua tangan.
Banyak para ulama, baik yang terdahulu atau pun yang belakangan berpendapat sama dengan pendapat di atas, mereka memperkuat pendapat mereka dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Asma’ binti Abu Bakar Shiddik ketika ia masuk kepada beliau dengan pakaian tipis, maka Rasulullah berpaling darinya sambil bersabda,
يَا أَسْمَاءَ، إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا. وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ.
“Wahai Asma’, perempuan itu apabila sudah mencapai usia haid (baca: baligh) tidak boleh tampak darinya selain ini”, Nabi sambil mengisyaratkan kepada wajah dan kedua tangannya.
Dan juga ada hadits di dalam Shahih Al-Bukhari dan lainnya yang bersumber dari riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membonceng Fadhal bin Abbas dalam perjalanan Hajjatul Wada’, tiba-tiba datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seorang perempuan cantik dari marga Khats’ami, sementara Fadhal selalu mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memegang dagu Fadhal guna memalingkan wajahnya dari perempuan tadi.
Di dalam riwayat Imam at-Tirmidzi diriwayatkan bahwa kerana peristiwa tersebut al-Abbas berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Engkau telah memutar (membengkokkan) leher anak pamanmu sendiri.” Maka Nabi bersabda, “Aku lihat seorang remaja putra dan remaja putri, lalu aku tidak dapat menjamin keduanya terhindar dari fitnah.”
Peristiwa atau kisah di atas terjadi sesudah lima tahun ayat hijab diturunkan, sekalipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruh perempuan cantik itu untuk menutup wajahnya dan Nabi tidak mengingkari Fadhal yang secara berulang kali melihat kepadanya. Nabi hanya memalingkan wajah Fadhal dari perempuan itu setelah Nabi melihat Fadhal lama sekali menatapkan pandangannya kepada sang gadis cantik kerana dikhawatirkan akan terjadi fitnah. Maka dari itu ada hadits yang mengatakan bahwa pandangan pertama adalah rizki bagi laki-laki dan pandangan kedua adalah dosa.
Juga diperkuat dengan hadits yang menyatakan bahwa laki-laki yang akan melakukan shalat wajib menutup auratnya, sedangkan perempuan wajib menutup seluruh tubuhnya di waktu shalat selain wajah dan kedua tangannya. (Perempuan boleh membuka keduanya di dalam shalat).
Syeikh al-Muwaffaq di dalam kitabnya al-Mughni mengatakan: Tidak diperselisihkan di dalam madzhab (Hanbali) bahwasanya perempuan boleh membuka wajahnya ketika shalat dan bahwasanya ia (perempuan) hanya diperbolehkan membuka wajah dan kedua tangannya. Mengenai kedua tangan itu ada dua riwayat (pendapat) dan para ulama berbeza pendapat. Namun, kebanyakan mereka sepakat (sependapat) bahwasanya perempuan boleh melakukan shalat dengan wajah terbuka.
Mereka juga sependapat bahwasanya perempuan merdeka wajib menutup kepalanya apabila shalat dan bahwasanya apabila ia shalat, sedangkan seluruh kepalanya terbuka, maka ia wajib mengulangi shalatnya. (shalatnya tidak shah. pen.)
Sesungguhnya Islam tidak memerintahkan menutup wajah, Islam hanya memerintahkan menutup dada, dengan dalil firman Allah Subhaanahu Wata'ala,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya.” (An-Nur: 31).
Al-Jayb di dalam ayat itu ialah tutup pakaian yang di bagian dada, sedangkan al-Khimar adalah kerudung penutup kepala, leher dan dada. Masalahnya adalah bahwa kaum perempuan masa Jahiliyah biasa membuka kerudung mereka ke belakang bagian kepala dan membuka pakaian bagian dadanya agar kalung perhiasannya tampak, dan apabila berjalan mereka menghentakkan kakinya supaya gelang yang ada pada kaki mereka diketahui orang.
Maka setelah Allah Subhaanahu Wata'ala menurunkan perintah menutup dada dengan kerudung mereka agar bagian-bagian yang sensitif tidak nampak dan tidak mengundang perhatian dan fitnah, sebagaimana Dia firmankan: “Dan hendaklah mereka tidak menampakan perhiasannya kecuali apa yang (biasa) nampak”, maka kaum perempuan pada saat itu, sebagaiamana dituturkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Semoga Allah merahmati para perempuan kaum Muhajirin yang awal, kerana tatkala Allah menurunkan ayat “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya.” (An-Nur: 31) mereka langsung merobek pakaian khas mereka lalu mereka gunakan untuk menutup kepala.
Khumur adalah kata jamak dari khimar yang berarti kerudung atau tutup kepala, sedangkan juyub adalah kata jamak dari jaib yang berarti bagian dada pada pakaian yang boleh dibuka dan di kancing.
Shafiyah binti Syaibah radhiyallahu ‘anha menuturkan, ketika kami sedang berada di sisi Aisyah, ia berkata, “Mereka sedang membicarakan kaum perempuan suku Quraisy dan kelebihannya.” Di antara ungkapan Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah: “Sesungguhnya para perempuan kaum Quraisy itu mempunyai kelebihan (keutamaan) tersendiri, dan sesungguhnya aku, demi Allah, tidak pernah melihat kaum perempuan yang lebih utama daripada para perempuan kaum Anshar, lebih meyakini Kitabullah (Al-Qur’an) dan lebih beriman kepada Kitab yang diturunkan, iaitu ketika ayat di dalam Surah an-Nur (“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya”) diturunkan, para suami mereka langsung datang kepada istrinya masing-masing untuk membacakan yang diturunkan (tentang hijab) kepada mereka. Nampak seorang lelaki membacakannya kepada istri, putri, saudara perempuannya dan setiap keluarga dekatnya. Maka tidak ada seorang perempuan pun di antara mereka melainkan langsung mengambil kain khasnya lalu mereka lilitkan pada kepala mereka, kerana meyakini dan beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah Subhaanahu Wata'ala di dalam Kitab Suci Al-Qur’an, sehingga berada di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutup kepala (berkerudung) hingga nampak seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak.”
Penulis kitab Al-Mughni menyebutkan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i bahwa seluruh tubuh perempuan itu aurat selain wajah dan kedua tangannya, maka selain yang dua ini wajib di tutup ketika shalat. Mereka berdalil dengan pendapat Ibnu Abbas di dalam menfasirkan firman Allah Subhaanahu Wata'ala: “Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasannya kecuali perhiasan yang (biasa) tampak darinya”, di mana Ibnu Abbas mengatakan ‘kecuali wajah dan kedua tangan’, dan kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perempuan yang sedang berihram (untuk haji mau pun umrah) memakai sarung tangan dan niqab (tutup wajah).
Alasan mereka, kalau seandainya wajah dan kedua tangan adalah aurat, niscaya tidak dilarang menutupnya. Dan juga keperluan selalu menuntut wajah terbuka untuk keperluan jual-beli dan tangan pun demikian untuk keperluan penyerahan dan pengambilan.
Sedangkan ulama lainnya, termasuk sebagian shahabat di dalam mengartikan firman Allah Subhaanahu Wata'ala ”Dan hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasannya kecuali perhiasan yang (biasa) tampak darinya” mereka mengatakan bahwa yang dimaksud perhiasan yang biasa nampak adalah bukan wajah dan kedua tangan, namun yang lainnya.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa “perhiasan yang biasa tampak” adalah pakaian. Imam Ahmad rahimahullah pun menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan pada ayat itu adalah pakaian, dengan merujuk kepada ayat lain yang mengatakan:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai Bani Adam (manusia), pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid...” (Al-A’raf: 31).
(Pada ayat ini kata zinah berarti pakaian yang indah. Pent.)
Mereka juga merujuk kepada luasnya cakupan ayat hijab yang meliputi seluruh perempuan yang beriman, iaitu ayat pada firman Allah Subhaanahu Wata'ala,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi (Muhammad), katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, kerana itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59).
Dan ayat pada firman Allah,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
“Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari balik tabir...” (Al-Ahzab: 53).
Juga hadits yang diriwayatkan dari Ali radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku, “Jangan engkau ikuti penglihatan pertama dengan penglihatan berikutnya, karena milikmu hanya pandangan yang pertama dan yang berikutnya itu bukan hakmu.”
Juga hadits yang diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang pandangan seketika (yang jatuh pada perempuan), maka beliau menyuruhku agar aku mengalihkan pandanganku.” (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan At-Turmudzi).
Mereka juga merujuk kepada hadits yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha dia menuturkan: Ketika aku bersama Hafshah sedang duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Ibnu Ummi Maktum minta izin (masuk), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berlindunglah kalian di balik tabir.” (HR. Abu Daud).
Kemudian hadits yang menyatakan boleh memandang perempuan di saat berkeinginan meminangnya, sebab kalau sekiranya memandang (melihat) kepada perempuan itu boleh pada berbagai kesempatan, maka tidak ada artinya perintah secara khusus untuk memandang itu. Maka hal itu menunjukkan tidak boleh memandang kepada perempuan tanpa ada keperluan (yang dibenarkan oleh syara’).
Itulah dalil dan hujah masing-masing kedua kelompok ulama di dalam masalah di atas.
Dari uraian di atas jelas sekali perbezaan pandangan di kalangan ulama kaum muslimin dalam masalah boleh dan tidaknya perempuan membuka wajah dan kedua tangannya, dan sesungguhnya perbedaan pendapat itu ada dan sudah terjadi semenjak masa para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga masa kita sekarang.
Hal yang tidak boleh diragukan lagi adalah bahwa masing-masing kelompok mempunyai dalil-dalil tersendiri yang sangat jelas yang mereka jadikan sandaran, dan berdasarkan dalil-dalil itu pulalah mereka melihat bahwa pendapatnyalah yang benar, berdasarkan kemampuan daya nalar dan analisa mereka di dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits seputar masalah di atas.
Kita pun telah memaklumi bahwa seorang alim apabila melakukan suatu ijtihad dan ijtihadnya tepat, maka ia menda-pat dua pahala, dan jika hasil ijtihad yang ia lakukan kurang tepat, bahkan keliru, maka ia mendapat satu pahala.
Perlu ditegaskan di sini adalah bahwa para ulama yang berpendapat tidak haram bagi perempuan membuka wajah dan kedua tangannya, mereka tidak membolehkan membuka lebih dari itu kepada selain mahram. Sedangkan apa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum perempuan sekarang ini, seperti membuka kepala, leher, dada, kedua betis (kaki), lengan tangan dan anggota badan lainnya, maka dalam pandangan mereka adalah haram hukumnya, dan mereka sama sekali tidak membolehkannya kecuali dalam keadaan darurat, seperti kepada doktor dalam keperluan pemeriksaan di kala sakit.
Menurut hemat penulis bahwa tafsiran “kecuali perhiasaan yang biasa tampak” adalah pakaian yang sedang dipakai oleh perempuan, ini adalah pendapat yang tidak boleh diterima, kerana tidak ayat-ayat Al-Qur’an ataupun hadits-hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan larangan melihat kepada pakaian yang dikenakan oleh perempuan. Maka (menurut pendapat penulis) makna atau tafsiran firman Allah “kecuali perhiasaan yang biasa nampak” adalah wajah dan kedua tangan.
Apapun alasannya, sebaiknya setiap perempuan muslimah berupaya seboleh mungkin menyembunyikan (tidak menampakkan) perhiasaan hingga wajah sekalipun, agar terhindar dari kejahilan orang-orang jahil di zaman yang penuh dengan kerusakan ini.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan