24 Ramadhan 1431H.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Nash Al-Qur’an mengenai masalah ini menyebutkan:
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath-Thalaq: 6-7).
Dari ayat Al-Qur’an di atas nampak sekali kewajiban memberi nafkah kepada istri yang ditalak secara talak ba’in (tidak boleh merujuk) apabila dalam keadaan hamil sampai ia bersalin; dengan bersalin itulah masa ‘iddahnya habis dan selesailah kewajiban memberi nafkah kepadanya. Dan pada saat itu, istrilah yang memegang hak pilihan dan menentukan keputusan. Jika ia yang akan menyusui anaknya tanpa ada upah maka itu adalah haknya, dan jika di dalam penyusuan, mengurusi dan merawat anak itu ia menentukan harus diberi upah, maka itu juga adalah haknya.
Suami wajib bersepakat dengan istri atas upah yang harus ia bayarkan kepadanya sebagai imbalan mengasuh dan menyusui anaknya. Jika keduanya sudah mencapai kata sepakat, maka pengasuhan dan penyusuan diserahkan sepenuhnya kepada istri, jika tidak, maka sang ayah (suami) harus mencarikan seorang ibu lain yang siap menyusukan anaknya dengan kesepakatan upah sebagai imbuhannya. Lalu apabila sang istri mahu mengasuh dan menyusui dengan imbuhan yang disetujui oleh perempuan yang lain tadi, maka istri (ibu kandung anak) lebih berhak mengasuh dan menyusui anaknya daripada perempuan lain itu.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Nash Al-Qur’an mengenai masalah ini menyebutkan:
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6) لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath-Thalaq: 6-7).
Dari ayat Al-Qur’an di atas nampak sekali kewajiban memberi nafkah kepada istri yang ditalak secara talak ba’in (tidak boleh merujuk) apabila dalam keadaan hamil sampai ia bersalin; dengan bersalin itulah masa ‘iddahnya habis dan selesailah kewajiban memberi nafkah kepadanya. Dan pada saat itu, istrilah yang memegang hak pilihan dan menentukan keputusan. Jika ia yang akan menyusui anaknya tanpa ada upah maka itu adalah haknya, dan jika di dalam penyusuan, mengurusi dan merawat anak itu ia menentukan harus diberi upah, maka itu juga adalah haknya.
Suami wajib bersepakat dengan istri atas upah yang harus ia bayarkan kepadanya sebagai imbalan mengasuh dan menyusui anaknya. Jika keduanya sudah mencapai kata sepakat, maka pengasuhan dan penyusuan diserahkan sepenuhnya kepada istri, jika tidak, maka sang ayah (suami) harus mencarikan seorang ibu lain yang siap menyusukan anaknya dengan kesepakatan upah sebagai imbuhannya. Lalu apabila sang istri mahu mengasuh dan menyusui dengan imbuhan yang disetujui oleh perempuan yang lain tadi, maka istri (ibu kandung anak) lebih berhak mengasuh dan menyusui anaknya daripada perempuan lain itu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan