26 Ogos 2010

Refleksi Ramadhan : Lailatul Qadar

15 Ramadhan 1431 H
Oleh: Syaikh

RENUNGAN KE - 23

Aku berlindung kepada Allah dari godaan syetan yang terkutuk, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

“Hamim, demi kitab (Al-Qur'an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Kamilah yang memberi peringatan, pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ad-Dukhan: 1-6).

Al-Qur’anul Karim diturunkan Allah pada suatu malam yang penuh berkah sebagaimana Allah menjelaskannya dalam ayat di atas. Orang-orang Salaf seperti Ibnu Abbas, Qatadah, Said bin Zuber, Ikrimah, Mujahid dan yang lainnya meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan malam yang penuh berkah itu ialah lailatul qadar,

“fiha yufraqu kullu amrin hakim” (pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah) maksudnya pada malam itu semua perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti hidup, mati, selamat, celaka, untung, rugi, kemarau, kelaparan, dan yang lainnya telah Allah tentukan pada malam itu untuk sepanjang tahunnya.

Dan yang dimaksud dengan ditulis semua takdir pada malam lailatul qadar ialah –wallahu a’lam– dipindahkannya dari Lauhil Mahfuzh Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya seseorang diperlihatkan sedang menghamparkan permadani, bercocok tanam, padahal ia berada di ambang pintu kematian.” Yakni Allah mencatatnya hal tersebut pada malam lailatul qadar.

Dan menurut pendapat lain tentang segala perkara yang berhubungan dengan makhluk itu ialah Allah menjelaskannya pada malam itu kepada para malaikat. Allah Ta’ala berfirman secara khusus dalam surat Al-Qadr mengenai malam yang agung ini,

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr: 1-5).

Allah menamainya Lailatul Qadar dikarenakan besar kemuliaannya, agung kedudukannya di sisi Allah Ta’ala dan pada malam tersebut diampuni semua dosa serta ditutupi dari segala ‘aib, maka jadilah malam itu malam pengampunan, sebagai-mana dikatakan dalam Shahihain dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Siapa yang shalat malam pada lailatul qadar karena iman dan mengharap (pahala) Allah, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dan menurut pendapat lain dinamai Lailatul Qadar karena segala urusan qadha dan qadar makhluk ditentukan dan dicatat pada malam tersebut.

Al-Khalil bin Ahmad berkata, “Dinamai lailatul qadar karena bumi malam itu menjadi sempit dengan turunnya para malaikat,” dan ia berkata Al-Qadar salah satu maknanya ialah membatasi, sebagaimana firman-Nya,

“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata, ‘Tuhanku menghinakanku.” (Al-Fajr: 16).

Allah Ta’ala berfirman “wama adraka maa lailatul qadr” (tahukah kamu apa malam Lailatul Qadar itu) ini sebagai penghormatan kepada Lailatul Qadar dan sebagai penjelasaan akan agungnya malam tersebut.

“Lailatul qadri khairun min alfi syahrin” (Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan) yakni lebih baik dari 83 tahun 4 bulan –sebagaimana telah dijelaskan– dan ini merupakan sebuah karunia yang sangat besar tidak ada yang mengetahui kadarnya selain Rabbul Alamin.

Mencari Lailatul Qadar

Mencari Lailatul Qadar disunnahkan pada bulan Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir pada malam yang ganjil yaitu malam 21, 23, 25, 27, dan malam 29. Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

الْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ.

“Carilah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir pada (malam) ganjil” (HR. Al-Bukhari Muslim).

Dan dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

الْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى.

“Carilah dia pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, Lailatul Qadar (sangat mungkin) ada pada malam kesembilan, malam ketujuh, dan malam kelima.” (HR. Al-Bukhari).

Dengan demikian keberadaan malam Lailatul Qadar di malam ganjil lebih sangat memungkinkan. Dan dalam Shahih Al-Bukhari, Ubadah bin Shamit berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam keluar untuk menginformasikan (turunnya) Lailatul Qadar, tiba-tiba dua orang laki-laki muslim bertengkar, maka beliau berkata,

خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى فُلَانٌ وَفُلَانٌ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ.

‘Aku keluar karena ingin memberitahu kalian (turunnya) Lailatul Qadar, tapi tiba-tiba aku mendapatkan si fulan dan si fulan bertengkar, maka hal itu diangkat lagi (lupa) tetapi mudah-mudahan ada hikmah bagi kalian, maka carilah pada malam sembilan, tujuh, dan lima (dari sepuluh hari terakhir).” (HR. Al-Bukhari).

Hadits tersebut menunjukkan kesudahan yang jelek akibat pertengkaran dan berbantah-bantahan terutama dalam masalah agama, dan menyebabkan diangkatnya kembali kebaikan Allah.

Lailatul Qadar pada malam tujuh hari terakhir itu sangat memungkinkan, dikatakan dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma: “Sesungguhnya beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bermimpi melihat Lailatul Qadar pada tujuh hari terakhir”, Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam berkata,

أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ.

“Aku melihat mimpi kalian telah sepakat bahwa (Lailatul Qadar) jatuh pada malam ketujuh hari terakhir.” (HR. Al-Bukhari).

Dalam hadits lain dikatakan,

لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ.

“Lailatul Qadar (jatuh) pada malam kedua puluh tujuh”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Dan inilah pendapat kebanyakan para sahabat dan para ulama, sehingga Uba’i bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu sempat bersumpah bahwa Lailatul Qadar itu jatuh pada malam kedua puluh tujuh dan begitu juga Ibnu Abbas punya pendapat yang sama dengan Uba’i bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu dan beliau beristimbat dari berbagai sisi yaitu:

Umar radhiallahu ‘anhu mengumpulkan para sahabatnya termasuk Ibnu Abbas –pada waktu itu beliau masih kecil– mereka bertanya, “Kenapa anda kumpulkan dia bersama kami, dia kan masih kanak-kanak?” Jawab Umar,

“Dia adalah anak muda yang memiliki hati yang bersih dan otak yang cerdas serta memiliki lisan yang senantiasa ingin tahu.” Kemudian Umar bertanya kepada para sahabat tentang Lailatul Qadar, maka mereka sepakat bahwa malam tersebut jatuh pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas dan ia menjawab, “Pada malam kedua puluh tujuh.” “Kenapa?” Umar bertanya lagi.

Jawabnya, “Karena Allah menciptakan langit tujuh begitu juga bumi, Allah menjadikan hari ada tujuh, menciptakan manusia dari tujuh unsur, tawaf tujuh kali, sa’i tujuh kali, begitu juga melempar jumrah tujuh kali.”

Istimbat lain yang dapat memperkuat pendapat Lailatul Qadar jatuh pada malam kedua puluh tujuh adalah kalimat fiha dari firman-Nya “Tanazzalul malaikatu warruhu fiha” yaitu kalimat yang kedua puluh tujuh dari surat Al-Qadr.

Ada sebagian para ulama berargumentasi dengan cara matematika, Lailatul Qadar itu ada sembilan huruf dan Allah Ta’ala menyebutnya dalam surat Al-Qadar tiga kali, jadi 9 X 3 = 27 (dua puluh tujuh).

Dalil ini bukan dalil syar’i kita tidak terlalu butuh dengan dalil perhitungan seperti ini, sebenarnya sudah cukup bagi kita dengan dalil syar’i.

Dalil lain yang dapat memperkuat pendapat ini adalah mimpi beliau shallallahu ‘alaihui wasallam pada malam tersebut, dan pada pagi harinya beliau diperlihatkan sujud dalam keadaan basah dengan air campur tanah. Tetapi jatuhnya

Lailatul Qadar pada malam dua puluh tujuh itu dilihat dari sisi keseringannya –wallahu a’lam– bukan selamanya, bisa jadi pada suatu saat jatuh pada malam kedua puluh satu, sebagaimana dalam hadits Abu Sa’id yang telah disebutkan di muka, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam sujud di waktu Subuh hari kedua puluh satu dalam keadaan basah dengan air campur tanah.

Hal lain yang ada kaitannya dengan Lailatul Qadar adalah disunnahkan untuk memperbanyak doa, terutama doa yang telah diajarkan kepada Aisyah radhiallahu ‘anha ketika dia bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang harus aku katakan kalau aku menda-patkan Lailatul Qadar? Beliau menjawab, ‘Katakanlah:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي.

“Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, Engkau mencintai pengampunan, maka ampunilah aku.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Tanda-Tanda Lailatul Qadar

Pertama: Hadits Uba’i bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam mengkhabarkan bahwa dari tanda-tanda Lailatul Qadar apabila matahari terbit di pagi harinya tidak bersinar.” (HR. Muslim).

Kedua: Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ لاَ حَارَةَ وَلاَ بَارِدَةَ تُصْبِحُ الشَّمْسُ يَوْمَهَا حَمْرَاءَ ضَعِيْفَةً.

“Lailatul Qadar adalah malam yang cerah, tidak terasa panas dan tidak juga dingin, matahari di siang harinya kemerah-merahan dan tidak panas.” (HR. Ibnu Majah, At-Thayalisi, sanadnya shahih).

لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ بَلْجَةٌ لاَ حَارَةَ وَلاَ بَارِدَةَ، لاَ يُرْمَى فِيْهَا بِنَجْمٍ.

“Lailatul Qadar adalah malam yang cerah, tidak terasa panas dan tidak juga dingin, dan malam itu gugusan bintang tidak digunakan untuk melempar (syetan).” (HR. At-Thabrani dan Ahmad, dengan sanad hasan).

Demikianlah tiga hadits yang dapat menjelaskan tanda-tanda turunnya Lailatul Qadar, dan masih ada lagi hadits lain dengan sanad yang shahih diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu, kendatipun masih dikhawatirkan ke-munqhati’-annya (terputus sanadnya) akan tetapi ada syahid dan diperkuat oleh hadits-hadits yang telah disebutkan tadi, hadits tersebut adalah,

أَنَّهَا لَيْلَةٌ صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا وَهِيَ لَيْلَةٌ سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لَا بَرْدَ فِيهَا وَلَا حَرَّ وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا والشَّمْسُ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ.

“Sesungguhnya pada malam itu malam kelihatan cerah, terang, seakan-akan disinari dengan bulan, dialah malam yang tenang, cerah tidak ada awan, tidak terasa panas dan tidak juga dingin, dan gugusan bintang tidak digunakan untuk melempar (syetan), matahari terbit di pagi harinya sederhana tidak memiliki sinar yang kuat, laksana bulan purnama, dan syetan pun pada pagi hari itu tidak ada kesempatan untuk keluar bersama matahari.” (HR. Ahmad).

Hadits tersebut –sebagaimana disebutkan tadi– dikhawatirkan hadits munqhati’, dikarenakan Khalid bin Ma’dan tidak mendengar dari Ubadah bin Shamit, meskipun demikian tidak apa-apa karena ada syahid lain.

Sebagian para ulama menyebutkan tanda-tanda lain yang sama sekali tidak ada sumbernya, saya sebutkan di sini hanya sebagai penjelasan akan ketidakshahihannya tanda-tanda tersebut.

Ath-Thabari menyebutkan perkataan suatu kaum, “Tanda-tandanya adalah pohon-pohon pada merunduk hingga ketanah kemudian kembali lagi pada asalnya”, tanda ini tidak benar.

Sebagiannya lagi berkata, “Pada malam itu rasa air berubah yang tadinya asin menjadi manis”, ini juga tidak benar. Sebagiannya lagi berkata, “Pada malam itu ada cahaya di setiap tempat sehingga di tempat yang sangat gelap dan terdengar dari tempat tersebut ucapan salam”,

ini juga tidak benar kecuali apabila khusus ditunjukkan kepada sebagian orang yang Allah telah memilih mereka untuk mendapatkan cahaya dan salam dari para malaikat sebagai karomah, adapun ditunjukkan untuk umum, maka itu tidak benar karena bertentangan dengan syar’i, perasaan, dan kenyataan di lapangan.

Terakhir saya akhiri pembicaraan mengenai Lailatul Qadar ini dengan dua hal sebagai berikut:

Pertama: Seyogyanya orang yang mendapatkan Lailatul Qadar tidak memberitahu orang lain bahwa dirinya telah mendapatkannya, karena yang perlu diperhatikan adalah kesungguh-sungguhan dan keikhlasan baik ia mengetahuinya atau tidak, bisa jadi orang yang tidak mendapatkannya tetapi mereka sempat mencarinya dengan sungguh-sungguh, khusu’, berdoa, menangis dalam beribadah,

lebih baik di sisi Allah serta lebih besar pahala dan derajatnya daripada orang yang mengetahuinya.

Kedua: Menurut pendapat yang kuat, bahwa Lailatul Qadar tidak dikhususkan untuk umat tertentu, tetapi untuk semua umat, yang telah lalu dan yang sekarang. Imam An-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu: “Dia bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah Lailatul Qadar itu hanya pada zaman para nabi saja, bila mereka meninggal selesailah malam tersebut?’ Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam menjawab,

كَلاَّ، بَلْ هِيَ بَاقِيَةٌ.

“Tidak, bahkan Lailatul Qadar akan terus turun.” (HR. An-Nasa’i).

Hadits tersebut lebih shahih daripada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam kitabnya “Al-Muwattha” –sebagaimana yang telah disebutkan– bahwa telah diperlihatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam usia semua umatnya, seakan-akan ia meng-anggapnya sangat pendek, maka diberilah Lailatul Qadar di mana dia lebih baik dari seribu bulan.

Karena hadits tersebut shahih maka hadits itu membutuhkan ta’wil. Adapun hadits Abu Dzar itu tampak jelas bahwa Lailatul Qadar telah terjadi bersama para nabi, hal itu diperkuat oleh firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam Lailatul Qadar.” (Al-Qadar: 1).

Tidak dipungkiri bahwa Al-Qur’an pada hari diturunkannya membawa misi kenabian atas Muhammad shallallahu ‘alaihui wasallam padahal sebelumnya beliau bukan nabi sehingga malam tersebut menjadi malam lailatul qadar baginya.

Tiada ulasan: