9 Ramadhan 1431 H
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Sesungguhnya agama Islam tidak memerintahkan hukuman perbuatan zina itu dijatuhkan sebelum terpenuhinya salah satu dari dua hal:
Pengakuan pelaku secara sukarela dan tidak ada pemaksaan dalam melakukan perbuatan nista itu, (pengakuan itu) didorong oleh keinginan besar untuk mensucikan diri dari dosa.
Pengakuan secara sukarela seperti itu hampir dipastikan mustahil akan terjadi pada zaman sekarang, karena iman yang mampu membangkitkan seseorang untuk sanggup menahan perihnya deraan atau rajaman dalam rangka mensucikan diri dari dosa yang ia lakukan, (iman seperti) itu hampir tidak ada.
Peristiwa terjadinya perzinaan disaksikan oleh empat orang muslim yang adil, mereka semua menyaksikan secara pasti dan benar-benar melihat langsung paraktek hubungan seks yang dilakukan oleh dua lawan jenis (laki-laki dan perempuan). Hal ini juga merupakan perkara yang tidak mudah direalisasikan.
Maka dari itulah, tindakan gegabah dengan memvonis dalam masalah tersebut tidak dikehendaki (tidak dibenarkan), dan bisa jadi secara sepihak ada yang mengatakan “hukuman (sanksi) pidana zina itu sangat sadis.
” Untuk menanggapi tuduhan seperti itu kita katakan, sesungguhnya Allah Subhaanahu Wata'ala yang telah menciptakan manusia dan menentukan hukuman-hukuman seperti itu lebih mengetahui kemaslahatan mereka daripada manusia, (lebih mengetahui) kebaikan dan manfa’at di balik hukuman itu yang akan kembali kepada mereka sendiri.
Kalaulah hukuman itu dipandang keras atau sadis, maka sesungguhnya hal tersebut demi keamanan dan keselamatan masyarakat dari meluasnya suatu kriminalitas (tindak kejahatan zina) yang mengancam eksistensi kehormatan dan kesucian moral.
Sesungguhnya semua hukuman, apakah yang berasal dari perintah Allah ataupun berasal dari ide manusia pasti mengandung unsur menyakiti fisik atau jiwa, dan jika tidak begitu maka tidak dapat disebut hukuman.
Sanksi atau hukuman setiap tindak kejahatan itu berbeda, tergantung kepada besar dan bahayanya tindak kejahatan itu. Allah Subhaanahu Wata'ala Yang Maha Kuasa yang menetapkan hukuman perbutan zina, bahwa hukuman zina ghair muhshan (pelakunya masih berstatus bujangan) lebih ringan daripada hukuman zina muhshan (pelakunya sudah menikah), yaitu bagi pelaku zina ghair muhshan hukuman dera 100 cambukan.
Hukuman seperti itu adalah hukuman setimpal dengan perbuatan, karena Allah telah menjatuhkan kepada sekujur tubuh yang telah menikmati suatu kelezatan haram hukuman perih untuknya, supaya orang itu berfikir kembali di saat nafsunya berbisik kepadanya untuk melakukan kembali kenikmatan haram itu, berfikir akan kepedihan yang akan ia terima sesudah kelezatan haram tersebut. Maka dengan cara itu ia tidak jadi melakukan kembali tindak kejahatan nista itu lagi.
Kesaksian sekelompok kaum beriman dalam pelaksanaan hukuman zina terhadap pelaku itu menambah si terpidana makin lebih jera untuk mengulangi perbuatannya, dan sekaligus sebagai pelajaran bagi yang lain untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan keji yang diharamkan Allah Subhaanahu Wata'ala itu.
Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa, tatkala meringankan hukuman bagi pelaku zina ghair muhshan yang mungkin ia terlanjur melakukannya karena pengaruh dahsyat yang mendorongnya untuk mengetahui sesuatu yang belum pernah ia ketahui, maka Allah memperberat hukuman terhadap pezina muhshan yang telah biasa dan sudah melakukannya (secara sah).
Rahasia di balik hukuman keras terhadap pezina muhshan itu, sebagaimana penulis ketahui, ialah bahwa si muhshan telah mempunyai pengalaman berhubungan seks (secara sah), tentu ia tidak akan melakukan perbuatan keji yang telah ia ketahui bahwa Allah telah mengharamkannya kecuali memang dirinya telah mempunyai kesiapan (tabiat) untuk terus melakukannya.
Ini sudah barang tentu, akan makin mendorong tumbuh-kembangnya kekejian (perzinaan) itu. Maka, demi bersihnya masyarakat dari salah seorang anggotanya yang rusak, yang sulit untuk diperbaiki, maka hukumannnya adalah hukuman mati dengan cara rajam, melemparinya dengan batu hingga mati. Dan hukuman ini sudah terbukti efektifitasnya semenjak ditetapkan oleh Islam.
Sudah tidak diragukan lagi bahwa menjatuhkan hukuman seperti itu terhadap sejumlah tertentu dari para pelaku kriminal untuk kebaikan masyarakat adalah merupakan keputusan yang sangat bijak.
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Sesungguhnya agama Islam tidak memerintahkan hukuman perbuatan zina itu dijatuhkan sebelum terpenuhinya salah satu dari dua hal:
Pengakuan pelaku secara sukarela dan tidak ada pemaksaan dalam melakukan perbuatan nista itu, (pengakuan itu) didorong oleh keinginan besar untuk mensucikan diri dari dosa.
Pengakuan secara sukarela seperti itu hampir dipastikan mustahil akan terjadi pada zaman sekarang, karena iman yang mampu membangkitkan seseorang untuk sanggup menahan perihnya deraan atau rajaman dalam rangka mensucikan diri dari dosa yang ia lakukan, (iman seperti) itu hampir tidak ada.
Peristiwa terjadinya perzinaan disaksikan oleh empat orang muslim yang adil, mereka semua menyaksikan secara pasti dan benar-benar melihat langsung paraktek hubungan seks yang dilakukan oleh dua lawan jenis (laki-laki dan perempuan). Hal ini juga merupakan perkara yang tidak mudah direalisasikan.
Maka dari itulah, tindakan gegabah dengan memvonis dalam masalah tersebut tidak dikehendaki (tidak dibenarkan), dan bisa jadi secara sepihak ada yang mengatakan “hukuman (sanksi) pidana zina itu sangat sadis.
” Untuk menanggapi tuduhan seperti itu kita katakan, sesungguhnya Allah Subhaanahu Wata'ala yang telah menciptakan manusia dan menentukan hukuman-hukuman seperti itu lebih mengetahui kemaslahatan mereka daripada manusia, (lebih mengetahui) kebaikan dan manfa’at di balik hukuman itu yang akan kembali kepada mereka sendiri.
Kalaulah hukuman itu dipandang keras atau sadis, maka sesungguhnya hal tersebut demi keamanan dan keselamatan masyarakat dari meluasnya suatu kriminalitas (tindak kejahatan zina) yang mengancam eksistensi kehormatan dan kesucian moral.
Sesungguhnya semua hukuman, apakah yang berasal dari perintah Allah ataupun berasal dari ide manusia pasti mengandung unsur menyakiti fisik atau jiwa, dan jika tidak begitu maka tidak dapat disebut hukuman.
Sanksi atau hukuman setiap tindak kejahatan itu berbeda, tergantung kepada besar dan bahayanya tindak kejahatan itu. Allah Subhaanahu Wata'ala Yang Maha Kuasa yang menetapkan hukuman perbutan zina, bahwa hukuman zina ghair muhshan (pelakunya masih berstatus bujangan) lebih ringan daripada hukuman zina muhshan (pelakunya sudah menikah), yaitu bagi pelaku zina ghair muhshan hukuman dera 100 cambukan.
Hukuman seperti itu adalah hukuman setimpal dengan perbuatan, karena Allah telah menjatuhkan kepada sekujur tubuh yang telah menikmati suatu kelezatan haram hukuman perih untuknya, supaya orang itu berfikir kembali di saat nafsunya berbisik kepadanya untuk melakukan kembali kenikmatan haram itu, berfikir akan kepedihan yang akan ia terima sesudah kelezatan haram tersebut. Maka dengan cara itu ia tidak jadi melakukan kembali tindak kejahatan nista itu lagi.
Kesaksian sekelompok kaum beriman dalam pelaksanaan hukuman zina terhadap pelaku itu menambah si terpidana makin lebih jera untuk mengulangi perbuatannya, dan sekaligus sebagai pelajaran bagi yang lain untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan keji yang diharamkan Allah Subhaanahu Wata'ala itu.
Allah Yang Maha Agung lagi Maha Kuasa, tatkala meringankan hukuman bagi pelaku zina ghair muhshan yang mungkin ia terlanjur melakukannya karena pengaruh dahsyat yang mendorongnya untuk mengetahui sesuatu yang belum pernah ia ketahui, maka Allah memperberat hukuman terhadap pezina muhshan yang telah biasa dan sudah melakukannya (secara sah).
Rahasia di balik hukuman keras terhadap pezina muhshan itu, sebagaimana penulis ketahui, ialah bahwa si muhshan telah mempunyai pengalaman berhubungan seks (secara sah), tentu ia tidak akan melakukan perbuatan keji yang telah ia ketahui bahwa Allah telah mengharamkannya kecuali memang dirinya telah mempunyai kesiapan (tabiat) untuk terus melakukannya.
Ini sudah barang tentu, akan makin mendorong tumbuh-kembangnya kekejian (perzinaan) itu. Maka, demi bersihnya masyarakat dari salah seorang anggotanya yang rusak, yang sulit untuk diperbaiki, maka hukumannnya adalah hukuman mati dengan cara rajam, melemparinya dengan batu hingga mati. Dan hukuman ini sudah terbukti efektifitasnya semenjak ditetapkan oleh Islam.
Sudah tidak diragukan lagi bahwa menjatuhkan hukuman seperti itu terhadap sejumlah tertentu dari para pelaku kriminal untuk kebaikan masyarakat adalah merupakan keputusan yang sangat bijak.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan