9 Ramadhan 1431 H
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Melakukan kejahatan zina adalah tindakan buruk yang sangat memalukan dan membusukkan masyarakat, karena tersebarnya kejahatan zina akan mengakibatkan kebejatan moral, rumah tangga jadi hancur, keturunan tidak jelas, tidak ada kepercayaan dalam masalah kehormatan dan keturunan, serta ikatan-ikatan sosial jadi berantakan, di samping hubungan intim yang diharamkan itu sering menimbulkan kehamilan di luar nikah, maka sebagai akibatnya adalah,
karena takut malu, pembunuhan terhadap janin, baik dengan cara aborsi atau membuangnya sesudah dilahirkan di suatu tempat yang tidak jelas agar mudah mati, atau diletakkan (di pinggir jalan) supaya bisa hidup dengan tidak mengenal siapa ayah dan ibunya. Semua perbuatan itu adalah kejahatan yang mengancam pertumbuhan masyarakat, ketentraman dan kecemerlangannya.
Oleh karena itulah Islam menentukan berbagai sarana dan cara yang dapat menjaga individu agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan besar seperti itu. Sebagai contoh, Islam memerintahkan nikah kepada orang yang telah mampu, mengharamkan berdua-duaan antara dua lawan jenis yang bukan mahrom,
melarang tabarruj (menampakkan) kecantikan dan perhiasan di hadapan kaum laki-laki, membolehkan mahar sekalipun hanya seutas cincin dari besi atau mengajari hafalan Al-Qur’an (kepada istri). Semua itu merupakan benteng penghalang untuk mencegah terjadinya kejahatan zina.
Sekalipun demikian, ketika Islam menancapkan benteng-benteng tersebut, ia tidak akan berbelas-kasih terhadap orang yang melakukan kejahatan zina, demi terjaganya masyarakat dari pencemaran, agar ia tetap terpelihara kesucian dan kehormatannya.
Ayat Al-Qur’an telah menetapkan hukuman bagi pelaku kejahatan zina, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu suatu hukuman yang dapat memberikan jaminan untuk membendung tersebarnya kriminal zina yang mengancam stabilitas keamanan dan kebahagiaan masyarakat. Hukuman itu juga sebagai salah satu sarana untuk mensucikan masyarakat dari perbuatan keji itu.
Maka kalau Islam menentukan demikian beratnya hukuman perbuatan zina, maka itu sebenarnya untuk mencegah kebejatan moral dan tersebarnya seks bebas yang hingga sekarang pengaruhnya adalah tempat-tempat penampungan atau panti-panti sosial penuh dengan anak-anak haram, sebagaimana terjadi di berbagai negara di muka bumi ini; dan agar ada pembatas antara masyarakat muslim dan masyarakat komunis yang menjadikan kaum perempuan sebagai santapan yang mudah didapat oleh kaum pria, kehormatannya dirampas dan kesuciannya dinodai.
Karena Allah Subhaanahu Wata'ala mengetahui apa yang akan menimpa suatu masyarakat yang di dalamnya tersebar kriminal zina, seperti kekacauan dan kebejadan moral, maka Dia menetapkan hukuman kriminal zina adalah 100 cambukan bagi pelakunya yang masih berstatus single (bujangan),
laki-laki maupun perempuan, dan hukum rajam (dilempar dengan batu) hingga mati bagi pelaku zina yang berstatus sudah pernah menikah. Ketetapan itu disebutkan di dalam firman-Nya:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari kaum orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 2).
Hukuman zina yang ditetapkan di dalam ayat di atas, yaitu 100 deraan (cambukan) adalah bagi laki-laki atau perempuan yang masih bujangan yang belum pernah menikah. Maka apabila terjadi perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang dari mereka, hukum dera harus ditegakkan terhadap pelaku tanpa belas kasih kepadanya.
Kemudian, agar jiwa pelaku makin merasa terpukul dan hukuman itu dapat menjadi penghalang bagi orang lain untuk melakukan kejahatan zina yang mengancam kehormatan dan kemuliaan rumah tangga yang tentram, maka Al-Qur’an memerintahkan agar hukuman dilaksanakan di hadapan kesaksian khalayak, dihadiri oleh sekumpulan kaum orang-orang yang beriman.
Bahkan lebih dari itu, Al-Qur’an mengharamkan seorang mukmin menikah dengan perempuan pezina selagi ia belum bertobat, dan demikian pula diharamkan perempuan mukminah dinikahi oleh laki-laki pezina selagi lelaki itu belum bertobat.
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya jiwa (pribadi) laki-laki beriman itu lari dan menjauhkan diri dari pernikahan dengan perempuan pezina, dan demikian pula, perempuan beriman lari dan menjauhkan diri dari keterikatan dengan laki-laki pelaku kriminal zina. Di dalam masalah ini ayat Al-Qur’an mengatakan:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 3).
Disebutkan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah bahwa ada seorang laki-laki bernama Murtsad bin Abi Murtsad yang tugasnya membawa para tawanan dari Mekkah ke Madinah, dan ada seorang perempuan pelacur di Mekkah bernama ‘Inaq yang merupakan teman dekat Murtsad. Murtsad telah menjajikan kepada perempuan itu akan memberikan seorang laki-laki dari tawanan Mekkah yang akan ia bawa.
Murtsad menuturkan: “Maka aku pun datang dan bersembunyi di lindungan salah satu kebun di Mekkah pada malam yang terang bulan.” Ia melanjutkan: “Maka ‘Inaq datang dan mengetahui ada gelapnya bayangan di bawah tembok, maka setibanya di kebun itu ia berkata, “Apakah anda Murtsad?” Aku menjawab, “Ya, aku Murtsad.
” Lalu perempuan itu berkata, “Selamat datang, senang sekali berjumpa anda, mari bermalam di rumahku saja malam ini.” Murtad menjawab ajakan perempuan itu dengan mengatakan, “Hai ‘Inaq, Allah telah mengeramkan zina.” Maka dengan spontan ‘Inaq berkata, “Wahai para penghuni tenda, si lelaki ini membawa rahasia kalian!”
Murtsad berkata: Lalu aku masuk ke dalam kebun dan diikuti oleh delapan orang sampai akhirnya aku masuk suatu gua dan berteduh di situ. Dan perempuan itupun mencariku di kebun bersama para lelaki lainnya, hingga mereka pun sampai dan berada di atas kepalaku (di atas gua), lalu mereka kencing dan membasahi kepalaku, Allah membuat mereka tidak mengetahuiku.
Murtsad melanjutkan ceritanya: Setelah mereka pulang, maka aku pun kembali kepada temanku, lalu aku membawanya, dia adalah lelaki yang berat sekali, hingga akhirnya sampai di tempat (bernama) Adzkhur, dan disitulah aku melepas belenggu yang mengikatnya.
Maka aku membawanya ke Madinah dan ia selalu menolongku. Di Madinah aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, apakah boleh aku mengawini ‘Inaq?” (dua kali ia katakan), namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam dan tidak memberikan jawaban, hingga turunlah ayat: “Az-Zani la yankihu illa zaniyatan au musyrikan......” (Laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali perempuan yang berzina atau perempuan musyrik.....”)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hai Murtsad, laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali perempuan yang berzina atau perempuan musyrik, maka kamu jangan menikahinya.”
Oleh: Said Abdul Aziz al-Jandul
Melakukan kejahatan zina adalah tindakan buruk yang sangat memalukan dan membusukkan masyarakat, karena tersebarnya kejahatan zina akan mengakibatkan kebejatan moral, rumah tangga jadi hancur, keturunan tidak jelas, tidak ada kepercayaan dalam masalah kehormatan dan keturunan, serta ikatan-ikatan sosial jadi berantakan, di samping hubungan intim yang diharamkan itu sering menimbulkan kehamilan di luar nikah, maka sebagai akibatnya adalah,
karena takut malu, pembunuhan terhadap janin, baik dengan cara aborsi atau membuangnya sesudah dilahirkan di suatu tempat yang tidak jelas agar mudah mati, atau diletakkan (di pinggir jalan) supaya bisa hidup dengan tidak mengenal siapa ayah dan ibunya. Semua perbuatan itu adalah kejahatan yang mengancam pertumbuhan masyarakat, ketentraman dan kecemerlangannya.
Oleh karena itulah Islam menentukan berbagai sarana dan cara yang dapat menjaga individu agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan besar seperti itu. Sebagai contoh, Islam memerintahkan nikah kepada orang yang telah mampu, mengharamkan berdua-duaan antara dua lawan jenis yang bukan mahrom,
melarang tabarruj (menampakkan) kecantikan dan perhiasan di hadapan kaum laki-laki, membolehkan mahar sekalipun hanya seutas cincin dari besi atau mengajari hafalan Al-Qur’an (kepada istri). Semua itu merupakan benteng penghalang untuk mencegah terjadinya kejahatan zina.
Sekalipun demikian, ketika Islam menancapkan benteng-benteng tersebut, ia tidak akan berbelas-kasih terhadap orang yang melakukan kejahatan zina, demi terjaganya masyarakat dari pencemaran, agar ia tetap terpelihara kesucian dan kehormatannya.
Ayat Al-Qur’an telah menetapkan hukuman bagi pelaku kejahatan zina, baik laki-laki maupun perempuan, yaitu suatu hukuman yang dapat memberikan jaminan untuk membendung tersebarnya kriminal zina yang mengancam stabilitas keamanan dan kebahagiaan masyarakat. Hukuman itu juga sebagai salah satu sarana untuk mensucikan masyarakat dari perbuatan keji itu.
Maka kalau Islam menentukan demikian beratnya hukuman perbuatan zina, maka itu sebenarnya untuk mencegah kebejatan moral dan tersebarnya seks bebas yang hingga sekarang pengaruhnya adalah tempat-tempat penampungan atau panti-panti sosial penuh dengan anak-anak haram, sebagaimana terjadi di berbagai negara di muka bumi ini; dan agar ada pembatas antara masyarakat muslim dan masyarakat komunis yang menjadikan kaum perempuan sebagai santapan yang mudah didapat oleh kaum pria, kehormatannya dirampas dan kesuciannya dinodai.
Karena Allah Subhaanahu Wata'ala mengetahui apa yang akan menimpa suatu masyarakat yang di dalamnya tersebar kriminal zina, seperti kekacauan dan kebejadan moral, maka Dia menetapkan hukuman kriminal zina adalah 100 cambukan bagi pelakunya yang masih berstatus single (bujangan),
laki-laki maupun perempuan, dan hukum rajam (dilempar dengan batu) hingga mati bagi pelaku zina yang berstatus sudah pernah menikah. Ketetapan itu disebutkan di dalam firman-Nya:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari kaum orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 2).
Hukuman zina yang ditetapkan di dalam ayat di atas, yaitu 100 deraan (cambukan) adalah bagi laki-laki atau perempuan yang masih bujangan yang belum pernah menikah. Maka apabila terjadi perbuatan zina yang dilakukan oleh seorang dari mereka, hukum dera harus ditegakkan terhadap pelaku tanpa belas kasih kepadanya.
Kemudian, agar jiwa pelaku makin merasa terpukul dan hukuman itu dapat menjadi penghalang bagi orang lain untuk melakukan kejahatan zina yang mengancam kehormatan dan kemuliaan rumah tangga yang tentram, maka Al-Qur’an memerintahkan agar hukuman dilaksanakan di hadapan kesaksian khalayak, dihadiri oleh sekumpulan kaum orang-orang yang beriman.
Bahkan lebih dari itu, Al-Qur’an mengharamkan seorang mukmin menikah dengan perempuan pezina selagi ia belum bertobat, dan demikian pula diharamkan perempuan mukminah dinikahi oleh laki-laki pezina selagi lelaki itu belum bertobat.
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya jiwa (pribadi) laki-laki beriman itu lari dan menjauhkan diri dari pernikahan dengan perempuan pezina, dan demikian pula, perempuan beriman lari dan menjauhkan diri dari keterikatan dengan laki-laki pelaku kriminal zina. Di dalam masalah ini ayat Al-Qur’an mengatakan:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.” (An-Nur: 3).
Disebutkan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah bahwa ada seorang laki-laki bernama Murtsad bin Abi Murtsad yang tugasnya membawa para tawanan dari Mekkah ke Madinah, dan ada seorang perempuan pelacur di Mekkah bernama ‘Inaq yang merupakan teman dekat Murtsad. Murtsad telah menjajikan kepada perempuan itu akan memberikan seorang laki-laki dari tawanan Mekkah yang akan ia bawa.
Murtsad menuturkan: “Maka aku pun datang dan bersembunyi di lindungan salah satu kebun di Mekkah pada malam yang terang bulan.” Ia melanjutkan: “Maka ‘Inaq datang dan mengetahui ada gelapnya bayangan di bawah tembok, maka setibanya di kebun itu ia berkata, “Apakah anda Murtsad?” Aku menjawab, “Ya, aku Murtsad.
” Lalu perempuan itu berkata, “Selamat datang, senang sekali berjumpa anda, mari bermalam di rumahku saja malam ini.” Murtad menjawab ajakan perempuan itu dengan mengatakan, “Hai ‘Inaq, Allah telah mengeramkan zina.” Maka dengan spontan ‘Inaq berkata, “Wahai para penghuni tenda, si lelaki ini membawa rahasia kalian!”
Murtsad berkata: Lalu aku masuk ke dalam kebun dan diikuti oleh delapan orang sampai akhirnya aku masuk suatu gua dan berteduh di situ. Dan perempuan itupun mencariku di kebun bersama para lelaki lainnya, hingga mereka pun sampai dan berada di atas kepalaku (di atas gua), lalu mereka kencing dan membasahi kepalaku, Allah membuat mereka tidak mengetahuiku.
Murtsad melanjutkan ceritanya: Setelah mereka pulang, maka aku pun kembali kepada temanku, lalu aku membawanya, dia adalah lelaki yang berat sekali, hingga akhirnya sampai di tempat (bernama) Adzkhur, dan disitulah aku melepas belenggu yang mengikatnya.
Maka aku membawanya ke Madinah dan ia selalu menolongku. Di Madinah aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, apakah boleh aku mengawini ‘Inaq?” (dua kali ia katakan), namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam dan tidak memberikan jawaban, hingga turunlah ayat: “Az-Zani la yankihu illa zaniyatan au musyrikan......” (Laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali perempuan yang berzina atau perempuan musyrik.....”)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hai Murtsad, laki-laki yang berzina tidak mengawini kecuali perempuan yang berzina atau perempuan musyrik, maka kamu jangan menikahinya.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan