10 Ramadhan 1431H.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Setelah Islam menentukan batas maksimal di dalam berpologami, yaitu empat istri saja dan itupun dengan syarat mampu berlaku adil, Islam juga memperbolehkan bagi seorang tuan (majikan) tanpa batas mencampuri perempuan-perempuan hamba sahaya; karena itu adalah miliknya.
Para musuh Islam dengan berbagai kecenderungannya, dan dengan kehidupan hedonis yang tak mengenal batas, mereka menjadikan masalah mencampuri budak sahaya tersebut sebagai alat untuk menjelek-jelekkan Islam, di mana mereka beranggapan bahwa perbuatan seperti itu mengandung pelecehan terhadap martabat dan kehormatan para budak sahaya.
Mereka berpandangan demikian itu karena tidak mengetahui tujuan yang akan dicapai oleh Islam dibalik tasarri itu. Oleh karena itu mereka memandangnya sebagai tindakan pelecehan, sedangkan kita memandangnya sebagai suatau tujuan yang sangat mulia dari sekian tujuan-tujuan (maqashid) syari’at, sebab tujuan tersebut adalah membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia.
Sebagai penjelasan lebih lanjut terhadap hal yang masih belum diketahui oleh kebanyakan orang, terutama mereka yang tidak beriman kepada Islam, dan sebagai penjelasan terhadap hikmah (rahasia) di balik diperbolehkannya ber-tasarri tanpa batas tersebut adalah bahwa Islam sebenarnya tidak pernah mengadakan perbudakan dan tidak memerintahkannya; ketika Islam datang, perbudakan tengah menyebar luas di berbagai penjuru dunia, termasuk di Jazirah Arab itu sendiri.
Dengan berpijak pada prinsip gradual (bertahap) yang dijadikan Islam sebagai landasan dalam memecahkan berbagai prolematika yang telah mengakar di masyarakat, sesungguhnya Islam telah menanggulangi masalah perbudakan tersebut dengan penanggulangan yang sangat bijak dan bertujuan melumpuhkan sumber-sumber perbudakan lama secara mendasar, kecuali satu sumber, yaitu perbudakan tawanan peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir, baik pria maupun perempuan, yaitu berupa suatu tindakan yang diharuskan oleh prinsip mu’amalah dengan yang setimpal dalam peperangan.
Islam menetapkan tebusan (kaffarat) pembunuhan dengan tidak sengaja, yaitu membayar diyat kepada ahli waris yang terbunuh dan memerdekakan hamba sahaya.
Seorang budak boleh memerdekakan dirinya dengan membayar sejumlah bayaran sesuai dengan kesepakatan yang ia sepakati dengan majikannya.
Di antara kaffarat (tebusan) merusak sumpah adalah memerdekakan seorang hamba sahaya (budak).
Apabila seorang suami telah melakukan zhihar (menganggap istrinya sama dengan ibu kandungnya sendiri. Pent.), kemudian ia hendak merujuk kembali, maka ia tidak boleh melakukannya sebelum ia memerdekakan seorang hamba sahaya terlebih dahulu, jika ia mampu melakukannya.
Memerdekakan hamba sahaya dari keluarga dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Barangsiapa yang memperbudak seseorang dari kerabat dekat yang diharamkan, maka budak itu merdeka.”
Barangsiapa yang ber-nadzar akan memerdekakan budak sahaya apabila cita-cita tertentu yang ia inginkan tercapai, maka ia wajib memenuhi nadzarnya bila cita-citanya itu tercapai.
Melakukan jima’ (bersetubuh) pada siang bulan suci Ramadhan dengan sengaja, maka puasanya batal, dan di antara tebusannya adalah memerdekakan seorang budak sahaya.
Islam memerdekakan ibu (perempuan budak) yang melahirkan anak dari majikannya. Maksudnya adalah bahwa seorang perempuan budak apabila melahirkan seorang anak dari hasil pergaulannya dengan majikannya, maka anak tersebut dengan sendirinya menjadi merdeka semenjak sesaat ia dilahirkan, dan ibunya pun menjadi merdeka dengan kematian majikannya. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang perempuan budak apapun yang melahirkan anak dari hasil pergaulannya dengan majikannya, maka ia (majikan) tidak boleh menjualnya, tidak boleh menghibahkannya (kepada orang lain), dan tidak boleh mewariskannya (kepada ahli warisnya); dan ia boleh menggaulinya, lalu apabila ia (majikan) itu meninggal, maka si perempuan budak itu menjadi merdeka.”
Dari uraian di atas tampaklah rahasia (hikmah) Islam di balik dibolehkannya memiliki hamba sahaya (budak), yaitu sebagai salah satu sarana atau cara mengeringkan sumber-sumber perbudakan, agar semua manusia menjadi merdeka tidak menundukkan kepalanya kecuali hanya kepada Allah, dan agar setiap budak merasakan lezatnya kebebasan, dan supaya setiap manusia di tengah-tengah merasa sama dan sejajar, tidak ada yang lebih mulia daripada yang lain kecuali dengan taqwa.
Dari sini, jelaslah bahwa para musuh Islam tidak mengetahui tujuan-tujuan suci lagi mulia di balik diperbolehkannya memiliki budak sahaya di dalam Islam (budak tawanan perang).
Jadi, Islam tidak memerintahkan lebih daripada apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di dalam memperbudak para tawanan perang, baik laki-laki maupun perempuan dan tidak menyerahkan mereka ke negaranya kecuali dengan tebusan.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul
Setelah Islam menentukan batas maksimal di dalam berpologami, yaitu empat istri saja dan itupun dengan syarat mampu berlaku adil, Islam juga memperbolehkan bagi seorang tuan (majikan) tanpa batas mencampuri perempuan-perempuan hamba sahaya; karena itu adalah miliknya.
Para musuh Islam dengan berbagai kecenderungannya, dan dengan kehidupan hedonis yang tak mengenal batas, mereka menjadikan masalah mencampuri budak sahaya tersebut sebagai alat untuk menjelek-jelekkan Islam, di mana mereka beranggapan bahwa perbuatan seperti itu mengandung pelecehan terhadap martabat dan kehormatan para budak sahaya.
Mereka berpandangan demikian itu karena tidak mengetahui tujuan yang akan dicapai oleh Islam dibalik tasarri itu. Oleh karena itu mereka memandangnya sebagai tindakan pelecehan, sedangkan kita memandangnya sebagai suatau tujuan yang sangat mulia dari sekian tujuan-tujuan (maqashid) syari’at, sebab tujuan tersebut adalah membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia.
Sebagai penjelasan lebih lanjut terhadap hal yang masih belum diketahui oleh kebanyakan orang, terutama mereka yang tidak beriman kepada Islam, dan sebagai penjelasan terhadap hikmah (rahasia) di balik diperbolehkannya ber-tasarri tanpa batas tersebut adalah bahwa Islam sebenarnya tidak pernah mengadakan perbudakan dan tidak memerintahkannya; ketika Islam datang, perbudakan tengah menyebar luas di berbagai penjuru dunia, termasuk di Jazirah Arab itu sendiri.
Dengan berpijak pada prinsip gradual (bertahap) yang dijadikan Islam sebagai landasan dalam memecahkan berbagai prolematika yang telah mengakar di masyarakat, sesungguhnya Islam telah menanggulangi masalah perbudakan tersebut dengan penanggulangan yang sangat bijak dan bertujuan melumpuhkan sumber-sumber perbudakan lama secara mendasar, kecuali satu sumber, yaitu perbudakan tawanan peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir, baik pria maupun perempuan, yaitu berupa suatu tindakan yang diharuskan oleh prinsip mu’amalah dengan yang setimpal dalam peperangan.
Islam menetapkan tebusan (kaffarat) pembunuhan dengan tidak sengaja, yaitu membayar diyat kepada ahli waris yang terbunuh dan memerdekakan hamba sahaya.
Seorang budak boleh memerdekakan dirinya dengan membayar sejumlah bayaran sesuai dengan kesepakatan yang ia sepakati dengan majikannya.
Di antara kaffarat (tebusan) merusak sumpah adalah memerdekakan seorang hamba sahaya (budak).
Apabila seorang suami telah melakukan zhihar (menganggap istrinya sama dengan ibu kandungnya sendiri. Pent.), kemudian ia hendak merujuk kembali, maka ia tidak boleh melakukannya sebelum ia memerdekakan seorang hamba sahaya terlebih dahulu, jika ia mampu melakukannya.
Memerdekakan hamba sahaya dari keluarga dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Barangsiapa yang memperbudak seseorang dari kerabat dekat yang diharamkan, maka budak itu merdeka.”
Barangsiapa yang ber-nadzar akan memerdekakan budak sahaya apabila cita-cita tertentu yang ia inginkan tercapai, maka ia wajib memenuhi nadzarnya bila cita-citanya itu tercapai.
Melakukan jima’ (bersetubuh) pada siang bulan suci Ramadhan dengan sengaja, maka puasanya batal, dan di antara tebusannya adalah memerdekakan seorang budak sahaya.
Islam memerdekakan ibu (perempuan budak) yang melahirkan anak dari majikannya. Maksudnya adalah bahwa seorang perempuan budak apabila melahirkan seorang anak dari hasil pergaulannya dengan majikannya, maka anak tersebut dengan sendirinya menjadi merdeka semenjak sesaat ia dilahirkan, dan ibunya pun menjadi merdeka dengan kematian majikannya. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Seorang perempuan budak apapun yang melahirkan anak dari hasil pergaulannya dengan majikannya, maka ia (majikan) tidak boleh menjualnya, tidak boleh menghibahkannya (kepada orang lain), dan tidak boleh mewariskannya (kepada ahli warisnya); dan ia boleh menggaulinya, lalu apabila ia (majikan) itu meninggal, maka si perempuan budak itu menjadi merdeka.”
Dari uraian di atas tampaklah rahasia (hikmah) Islam di balik dibolehkannya memiliki hamba sahaya (budak), yaitu sebagai salah satu sarana atau cara mengeringkan sumber-sumber perbudakan, agar semua manusia menjadi merdeka tidak menundukkan kepalanya kecuali hanya kepada Allah, dan agar setiap budak merasakan lezatnya kebebasan, dan supaya setiap manusia di tengah-tengah merasa sama dan sejajar, tidak ada yang lebih mulia daripada yang lain kecuali dengan taqwa.
Dari sini, jelaslah bahwa para musuh Islam tidak mengetahui tujuan-tujuan suci lagi mulia di balik diperbolehkannya memiliki budak sahaya di dalam Islam (budak tawanan perang).
Jadi, Islam tidak memerintahkan lebih daripada apa yang dilakukan oleh bangsa-bangsa lain di dalam memperbudak para tawanan perang, baik laki-laki maupun perempuan dan tidak menyerahkan mereka ke negaranya kecuali dengan tebusan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan