SALAH satu tujuan dasar melatih jiwa adalah menghasilkan keseimbangan yang sehat dari masing-masing jiwa dan di antara jiwa-jiwa tersebut. Prinsip moral dan etika serta ajaran-ajaran dari kelompok sufi bertujuan memberikan jalan tengah. Yakni, disiplin diri, yang mendukung tujuan ini.
Sufi berusaha menghindari sikap berlebihan dalam kehidupan, baik itu menolak asketisisme ataupun kecanduan akan kesenangan dan materialisme. Praktik keagamaan dan spiritual ditujukan sebagai pendukung, bukan sebagai beban yang berat. Contohnya, berpuasa tidak diwajibkan jika kita dalam keadaan sakit atau sedang melakukan perjalanan.
Kita dapat mengganti hari puasa yang ditinggalkan pada saat kita dalam keadaan sehat dan menjalani kehidupan rutin yang normal. Kita dapat mempejari banyak hal dari fungsi pemberian gizi pada jiwa tumbuhan. Ketidakseimbangan di dalam pemberian gizi mengakibatkan kekurangan gizi dan kerakusan. Kita memiliki sisi spiritual yang serupa. Kekurangan gizi dalam hal spiritual, diakibatkan oleh kurangnya pemberian gizi spiritual, yang kerap diakibatkan oleh ketergantungan terhadap dunia atau pemilihan makanan “hampa kalori” yang tidak benar-benar bergizi (misalnya, membaca “junk food” dari buku-buku spiritualitas palsu, dan bukan kitab-kitab suci atau buku spiritual klasik). Salah pencernaan spiritual dapat diakibatkan oleh terlalu banyak membaca buku spiritual tanpa memadukan dan mempraktikkan isi buku tersebut.
Sebagian orang yang rakus secara spiritual, yang berpindah-pindah guru serta berganti-ganti teknik, selalu mencari yang lebih tinggi. Mereka bagaikan menggali sebuah sumur, yang bukannya menggali satu buah lubang sedalam seratus kaki pada satu tempat tertentu, melainkan menggali banyak lubang sedalam dua puluh lima kaki. Pendekatan manakah yang lebih dapat menghasilkan air?
Serupa dengan hal tersebut, naluri jiwa hewani akan hasrat, rasa takut, dan amarah dapat terselewengkan dan menjadi tidak seimbang. Penyelewengan ini semakin mempersulit untuk melayani dunia demi Tuhan, atau berada di dunia dan tetap mengingat Tuhan. Seseorang yang takut pada segala sesuatu tidak dapat menyelesaikan sesuatu pun, dan seseorang yang tidak merasa takut akan tersakiti oleh apa pun, adalah bagaikan seorang bayi yang bermain-main dengan kompor yang panas. Mereka yang tidak memiliki hasrat ataupun keinginan, biasanya tidak mendapatkan apa-apa. Sementara mereka yang memiliki hasrat berlebihan menjadi dikuasai oleh mereka.
Tujuan sufi adalah membangun kehidupan yang seimbang dari pekerjaan, pelayanan, kewajiban keluarga, ibadah, dan praktik-praktik sufi. Idealnya, kehidupan jasmaniah yang seimbang membawa kepada kehidupan batiniah yang seimbang. Acap kali suara dari keempat jiwa yang pertama lebih nyaring dari tiga yang terakhir. Yakni, kita biasanya memerhatikan secara langsung ketika kebutuhan jasmaniah kita menuntut. Kita juga memberikan perhatian yang segera terhadap tuntutan ego jiwa pribadi. Sayangnya, tuntutan dari jiwa-jiwa ini cenderung menghabiskan waktu dan energi kita karena mereka mengakar dalam dunia materi.
Kebutuhan spiritual kita lebih mudah diabaikan. Kebutuhan spiritual utama kita adalah mengungkapkan belas kasih kita dengan melayani orang lain dan mengingat Tuhan. Pelayanan yang tulus adalah bentuk ibadah. Praktik-praktik ini menjadi lebih mendalam hingga akhirnya kita berada dalam kondisi doa dan zikir yang konstan.
(Robert Frager. Hati , Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi, hal.295-297)
Sufi berusaha menghindari sikap berlebihan dalam kehidupan, baik itu menolak asketisisme ataupun kecanduan akan kesenangan dan materialisme. Praktik keagamaan dan spiritual ditujukan sebagai pendukung, bukan sebagai beban yang berat. Contohnya, berpuasa tidak diwajibkan jika kita dalam keadaan sakit atau sedang melakukan perjalanan.
Kita dapat mengganti hari puasa yang ditinggalkan pada saat kita dalam keadaan sehat dan menjalani kehidupan rutin yang normal. Kita dapat mempejari banyak hal dari fungsi pemberian gizi pada jiwa tumbuhan. Ketidakseimbangan di dalam pemberian gizi mengakibatkan kekurangan gizi dan kerakusan. Kita memiliki sisi spiritual yang serupa. Kekurangan gizi dalam hal spiritual, diakibatkan oleh kurangnya pemberian gizi spiritual, yang kerap diakibatkan oleh ketergantungan terhadap dunia atau pemilihan makanan “hampa kalori” yang tidak benar-benar bergizi (misalnya, membaca “junk food” dari buku-buku spiritualitas palsu, dan bukan kitab-kitab suci atau buku spiritual klasik). Salah pencernaan spiritual dapat diakibatkan oleh terlalu banyak membaca buku spiritual tanpa memadukan dan mempraktikkan isi buku tersebut.
Sebagian orang yang rakus secara spiritual, yang berpindah-pindah guru serta berganti-ganti teknik, selalu mencari yang lebih tinggi. Mereka bagaikan menggali sebuah sumur, yang bukannya menggali satu buah lubang sedalam seratus kaki pada satu tempat tertentu, melainkan menggali banyak lubang sedalam dua puluh lima kaki. Pendekatan manakah yang lebih dapat menghasilkan air?
Serupa dengan hal tersebut, naluri jiwa hewani akan hasrat, rasa takut, dan amarah dapat terselewengkan dan menjadi tidak seimbang. Penyelewengan ini semakin mempersulit untuk melayani dunia demi Tuhan, atau berada di dunia dan tetap mengingat Tuhan. Seseorang yang takut pada segala sesuatu tidak dapat menyelesaikan sesuatu pun, dan seseorang yang tidak merasa takut akan tersakiti oleh apa pun, adalah bagaikan seorang bayi yang bermain-main dengan kompor yang panas. Mereka yang tidak memiliki hasrat ataupun keinginan, biasanya tidak mendapatkan apa-apa. Sementara mereka yang memiliki hasrat berlebihan menjadi dikuasai oleh mereka.
Tujuan sufi adalah membangun kehidupan yang seimbang dari pekerjaan, pelayanan, kewajiban keluarga, ibadah, dan praktik-praktik sufi. Idealnya, kehidupan jasmaniah yang seimbang membawa kepada kehidupan batiniah yang seimbang. Acap kali suara dari keempat jiwa yang pertama lebih nyaring dari tiga yang terakhir. Yakni, kita biasanya memerhatikan secara langsung ketika kebutuhan jasmaniah kita menuntut. Kita juga memberikan perhatian yang segera terhadap tuntutan ego jiwa pribadi. Sayangnya, tuntutan dari jiwa-jiwa ini cenderung menghabiskan waktu dan energi kita karena mereka mengakar dalam dunia materi.
Kebutuhan spiritual kita lebih mudah diabaikan. Kebutuhan spiritual utama kita adalah mengungkapkan belas kasih kita dengan melayani orang lain dan mengingat Tuhan. Pelayanan yang tulus adalah bentuk ibadah. Praktik-praktik ini menjadi lebih mendalam hingga akhirnya kita berada dalam kondisi doa dan zikir yang konstan.
(Robert Frager. Hati , Diri, dan Jiwa: Psikologi Sufi untuk Transformasi, hal.295-297)
2 ulasan:
tajuk posting diatas sesuai dengan orang-orang jabatan agama selangor termasuk polis.
aah..betul tu..stuju2..hehe
Catat Ulasan