3 Ramadhan 1431H
Oleh : Syaikh
RENUNGAN KE-3 : Makna Puasa
Bila kita perhatikan dan kaji dengan serius, maka puasa memiliki makna dan tujuan yang agung, di antaranya:
Pertama: Puasa erat kaitannya dengan keimanan yang benar kepada Allah Subhaanahu Wata'aala. oleh karena itu, dikatakan “Puasa adalah ritual rahasia”, sebab memungkinkan seseorang tidak berpuasa dengan menyantap makanan dan minuman atau tidak disertai niat, meskipun dia tidak makan dan minum di siang harinya.
Jadi puasa adalah ritual batin yang bersifat rahasia antara hamba dan Rabbnya. Menahannya seseorang dari semua yang membatalkan puasa, padahal dia mampu untuk memperolehnya secara diam-diam, itu merupakan dalil akan kuatnya keyakinan dan keimanan kepada pengawasan Allah Subhaanahu Wata'aala. Inilah rahasia keimanan yang akan bisa diaplikasikan pada semua ibadah bukan di Ramadhan saja.
Perhatikan perintah wudhu dan mandi! Orang menger-jakannya atas dasar keimanan yang kuat kepada muraqabatullah (pengawasan Allah), andai dia shalat tanpa bersuci dulu sebelumnya pasti tidak ada yang tahu.
Perhatikan lagi perintah shalat! Bukankah dia diperintah membaca Al-Fatihah, Subhana Rabbial Adzim di saat ruku’, Rabbigh firli di saat duduk di antara dua sujud, dan Attahiyyat.. ketika tasyahhud, dan seterusnya, itu semuanya dibacakan dengan sirr (pelan, lirih) tidak terdengar oleh orang yang di sampingnya, bukankah karena keimanannya kepada ilmu Allah. Bagaimana jika tidak, apa yang terjadi dengan gerakan lisan dan bisikan hatinya.., begitupun dengan do’a dan dzikir bukankah tidak ada yang tahu kecuali Rabbnya..?
“Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia yang telah tersembunyi.” (Thaha: 7).
Kedua: Puasa mendidik orang merindukan hari akhir di mana dia meninggalkan sebagian urusan dunianya karena tergiur dengan apa yang ada di sisi Allah (pahala), dan standar ukhrawi sebagai ukurannya. Seperti orang tidak makan dan minum di bulan Ramadhan karena mencari balasan Allah di hari Akhir. Jadi puasa mendidik orang untuk selalu ingat kepada hari Akhir dan tidak terbuai oleh kelezatan dunia yang terbatas dan pana.
Di samping itu, puasa juga memberikan kenikmatan dan kenyamanan hidup, badan sehat, hati senang dan keimanan terus bertambah.
Adapun orang yang menjadikan standar dunia sebagai ukurannya, mereka melihat dengan sempit, bahwa tidaklah puasa itu kecuali menghalangi diri untuk memperoleh kelezatan dan kenikmatan dunia. Mereka sama sekali tidak melihat sisi ukhrawi, padahal itulah yang menjanjikan kelezatan dan kehidupan yang hakiki.
Ketiga: Puasa sebagai pembuktian berserah diri dan penghambaan kepada Allah Ta’ala karena dengan puasa seseorang dididik untuk mewujudkan ibadah yang benar kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, yang artinya :“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187).
Dengan ayat tersebut ash-shaim (orang yang berpuasa) dianjurkan makan dan minum bila datang waktu Magrib atau di saat sahur, serta dimakruhkannya puasa wishal (puasa tanpa buka). Kemudian bila seseorang makan tepat pada waktunya, hal tersebut dinilai sebagai ibadah. Begitu pun sebaliknya, manakala terbit matahari ia tidak boleh makan dan minum. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187).
Demikianlah Allah membina seorang muslim dalam mencapai kesempurnaan ibadah melalui puasa. Manakala Allah menyuruh makan pada waktu tertentu ia melaksanakan-nya, begitu pun sebaliknya. Permasalahannya bukan selera atau tabi’at seseorang, tetapi taat kepada Allah.
Ibadah kepada Allah adalah hakekat kemerdekaan, semakin sempurna ibadah seseorang semakin sempurnalah kemerdekaan. Berkata Iyad rahimahullah, “Sesuatu yang menjadikan mulia, serasa menginjakkan kaki pada gugusan bintang, Engkau kelompokan aku dalam untaian kata ‘Ya ibadi’, dan Engkau menjadikan Muhammad nabi untukku.”
Dan berkata yang lainnya: “Aku mengikuti semua kehendakku sehingga aku menjadi budaknya. Seandainya aku puas dengan yang ada tentu aku merdeka.”
Makna ini terbukti pada ibadah shalat, haji dan lainnya. Dia berdiri, ruku’, sujud, kemudian duduk lagi, dan seterusnya. Hal tersebut dilakukan sebagai pembuktian ibadah kepada Allah.
Pada ibadah haji tidak dilarang makan dan minum, tetapi dilarang dari perbuatan-perbuatan tertentu seperti hubungan suami istri, menutup kepala (untuk laki-laki), memotong kuku, pakai parfum, memotong rambut dan seterusnya. Kenapa demikian? Begitullah Allah menghendakinya, seandainya seseorang tidak makan dan minum di saat melaksanakan haji karena keyakinannya, tentu ia telah berbuat bid’ah, sama halnya dengan melaksanakan hal-hal yang dilarang. Kemudian bilamana telah selesai ihramnya ia harus mencukur atau merapikan rambutnya (tahallul), mandi serta memakai parfum dan memotong kukunya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka.” (Al-Hajj: 29).
Demikianlah seorang muslim dibina oleh Allah demi tercapainya makna berserah diri dan penghambaan kepada Allah, baik diketahui hikmahnya atau tidak.
Keempat: Puasa sebagai sarana pembinaan masyarakat.
Ketika puasa dilaksanakan secara bersama-sama, maka pelaksanaannya akan mudah dan ringan, seperti halnya di bulan Ramadhan, bahkan akan melahirkan kehidupan yang penuh kasih sayang di antara sesamanya.
Kita ambil sebuah perbandingan antara puasa sunnah dan puasa Ramadhan. Ketika melaksanakan puasa sunnah terkadang berat dan capek, berbeda halnya dengan puasa Ramadhan orang melakukannya dengan mudah dan tidak merasakan lelah, karena pada saat itu semua orang berpuasa, ketika ia pergi ke pasar orang-orang pada berpuasa, begitu juga di sekolah, di kantor, dan di tempat lain apalagi di rumah keluarganya sendiri. Jadi kebersamaan akan memberikan pengaruh yang kuat kepada seseorang untuk berbuat sesuatu, serta memperingan beban yang dipikulnya.
Oleh karenanya, tidak sedikit kita lihat orang-orang yang pergi ke negeri Kafir pada bulan Ramadhan baik karena tugas atau hendak berobat, mereka menghadapi cobaan yang besar, karena di samping kiri kanannya tidak berpuasa.
Sampai di sini jelaslah bahwa puasa mempunyai peranan penting dalam membina masyarakat, bisa membangkitkan semangat beramal serta mengubur atau meminimalisir potensi maksiat baik secara individu atau kolektif. Dan hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki kontribusi yang besar untuk perbaikan masyarakat menuju masyarakat yang Islami. Manakala masyarakat yang Islami telah lahir, maka fasad (kemaksiatan) tidak ada jalan baginya, akan tetapi tidak dipastikan di masyarakat Islami tidak ada kejahatan, karena di jaman sahabat saja ada yang mencuri, berzina, minum khamer, tapi yang perlu dicatat adalah kadar dan legitimasinya. Masyarakat Islami tidak mungkin melegitimasi bentuk-bentuk kemaksiatan seperti negara kafir. Mereka terus berupaya keras menghan-curkan umat Islam serta menghancurkan tatanan masyarakat Islami dengan berbagai cara di antaranya al-batstsul mubasyir (globalisasi), jelas hal ini sangat membahayakan dari sisi fikrah, aqidah, akhlak, dan peradaban.
Kesimpulannya, bahwa pembinaan masyarakat adalah bagian dari Maqasidul Islam (tujuan-tujuan umum agama Islam) dan puasa salah satu sarananya. Dampaknya sangat jelas, selain yang disebutkan tadi, tidak heran anak kecil di bawah usia baligh bisa menjalankan ibadah puasa, orang-orang fasiq serta orang-orang maksiat tidak bisa menjalankan kemaksiatannya dengan terang-terangan.
Oleh : Syaikh
RENUNGAN KE-3 : Makna Puasa
Bila kita perhatikan dan kaji dengan serius, maka puasa memiliki makna dan tujuan yang agung, di antaranya:
Pertama: Puasa erat kaitannya dengan keimanan yang benar kepada Allah Subhaanahu Wata'aala. oleh karena itu, dikatakan “Puasa adalah ritual rahasia”, sebab memungkinkan seseorang tidak berpuasa dengan menyantap makanan dan minuman atau tidak disertai niat, meskipun dia tidak makan dan minum di siang harinya.
Jadi puasa adalah ritual batin yang bersifat rahasia antara hamba dan Rabbnya. Menahannya seseorang dari semua yang membatalkan puasa, padahal dia mampu untuk memperolehnya secara diam-diam, itu merupakan dalil akan kuatnya keyakinan dan keimanan kepada pengawasan Allah Subhaanahu Wata'aala. Inilah rahasia keimanan yang akan bisa diaplikasikan pada semua ibadah bukan di Ramadhan saja.
Perhatikan perintah wudhu dan mandi! Orang menger-jakannya atas dasar keimanan yang kuat kepada muraqabatullah (pengawasan Allah), andai dia shalat tanpa bersuci dulu sebelumnya pasti tidak ada yang tahu.
Perhatikan lagi perintah shalat! Bukankah dia diperintah membaca Al-Fatihah, Subhana Rabbial Adzim di saat ruku’, Rabbigh firli di saat duduk di antara dua sujud, dan Attahiyyat.. ketika tasyahhud, dan seterusnya, itu semuanya dibacakan dengan sirr (pelan, lirih) tidak terdengar oleh orang yang di sampingnya, bukankah karena keimanannya kepada ilmu Allah. Bagaimana jika tidak, apa yang terjadi dengan gerakan lisan dan bisikan hatinya.., begitupun dengan do’a dan dzikir bukankah tidak ada yang tahu kecuali Rabbnya..?
“Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia yang telah tersembunyi.” (Thaha: 7).
Kedua: Puasa mendidik orang merindukan hari akhir di mana dia meninggalkan sebagian urusan dunianya karena tergiur dengan apa yang ada di sisi Allah (pahala), dan standar ukhrawi sebagai ukurannya. Seperti orang tidak makan dan minum di bulan Ramadhan karena mencari balasan Allah di hari Akhir. Jadi puasa mendidik orang untuk selalu ingat kepada hari Akhir dan tidak terbuai oleh kelezatan dunia yang terbatas dan pana.
Di samping itu, puasa juga memberikan kenikmatan dan kenyamanan hidup, badan sehat, hati senang dan keimanan terus bertambah.
Adapun orang yang menjadikan standar dunia sebagai ukurannya, mereka melihat dengan sempit, bahwa tidaklah puasa itu kecuali menghalangi diri untuk memperoleh kelezatan dan kenikmatan dunia. Mereka sama sekali tidak melihat sisi ukhrawi, padahal itulah yang menjanjikan kelezatan dan kehidupan yang hakiki.
Ketiga: Puasa sebagai pembuktian berserah diri dan penghambaan kepada Allah Ta’ala karena dengan puasa seseorang dididik untuk mewujudkan ibadah yang benar kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman, yang artinya :“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187).
Dengan ayat tersebut ash-shaim (orang yang berpuasa) dianjurkan makan dan minum bila datang waktu Magrib atau di saat sahur, serta dimakruhkannya puasa wishal (puasa tanpa buka). Kemudian bila seseorang makan tepat pada waktunya, hal tersebut dinilai sebagai ibadah. Begitu pun sebaliknya, manakala terbit matahari ia tidak boleh makan dan minum. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187).
Demikianlah Allah membina seorang muslim dalam mencapai kesempurnaan ibadah melalui puasa. Manakala Allah menyuruh makan pada waktu tertentu ia melaksanakan-nya, begitu pun sebaliknya. Permasalahannya bukan selera atau tabi’at seseorang, tetapi taat kepada Allah.
Ibadah kepada Allah adalah hakekat kemerdekaan, semakin sempurna ibadah seseorang semakin sempurnalah kemerdekaan. Berkata Iyad rahimahullah, “Sesuatu yang menjadikan mulia, serasa menginjakkan kaki pada gugusan bintang, Engkau kelompokan aku dalam untaian kata ‘Ya ibadi’, dan Engkau menjadikan Muhammad nabi untukku.”
Dan berkata yang lainnya: “Aku mengikuti semua kehendakku sehingga aku menjadi budaknya. Seandainya aku puas dengan yang ada tentu aku merdeka.”
Makna ini terbukti pada ibadah shalat, haji dan lainnya. Dia berdiri, ruku’, sujud, kemudian duduk lagi, dan seterusnya. Hal tersebut dilakukan sebagai pembuktian ibadah kepada Allah.
Pada ibadah haji tidak dilarang makan dan minum, tetapi dilarang dari perbuatan-perbuatan tertentu seperti hubungan suami istri, menutup kepala (untuk laki-laki), memotong kuku, pakai parfum, memotong rambut dan seterusnya. Kenapa demikian? Begitullah Allah menghendakinya, seandainya seseorang tidak makan dan minum di saat melaksanakan haji karena keyakinannya, tentu ia telah berbuat bid’ah, sama halnya dengan melaksanakan hal-hal yang dilarang. Kemudian bilamana telah selesai ihramnya ia harus mencukur atau merapikan rambutnya (tahallul), mandi serta memakai parfum dan memotong kukunya, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka.” (Al-Hajj: 29).
Demikianlah seorang muslim dibina oleh Allah demi tercapainya makna berserah diri dan penghambaan kepada Allah, baik diketahui hikmahnya atau tidak.
Keempat: Puasa sebagai sarana pembinaan masyarakat.
Ketika puasa dilaksanakan secara bersama-sama, maka pelaksanaannya akan mudah dan ringan, seperti halnya di bulan Ramadhan, bahkan akan melahirkan kehidupan yang penuh kasih sayang di antara sesamanya.
Kita ambil sebuah perbandingan antara puasa sunnah dan puasa Ramadhan. Ketika melaksanakan puasa sunnah terkadang berat dan capek, berbeda halnya dengan puasa Ramadhan orang melakukannya dengan mudah dan tidak merasakan lelah, karena pada saat itu semua orang berpuasa, ketika ia pergi ke pasar orang-orang pada berpuasa, begitu juga di sekolah, di kantor, dan di tempat lain apalagi di rumah keluarganya sendiri. Jadi kebersamaan akan memberikan pengaruh yang kuat kepada seseorang untuk berbuat sesuatu, serta memperingan beban yang dipikulnya.
Oleh karenanya, tidak sedikit kita lihat orang-orang yang pergi ke negeri Kafir pada bulan Ramadhan baik karena tugas atau hendak berobat, mereka menghadapi cobaan yang besar, karena di samping kiri kanannya tidak berpuasa.
Sampai di sini jelaslah bahwa puasa mempunyai peranan penting dalam membina masyarakat, bisa membangkitkan semangat beramal serta mengubur atau meminimalisir potensi maksiat baik secara individu atau kolektif. Dan hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki kontribusi yang besar untuk perbaikan masyarakat menuju masyarakat yang Islami. Manakala masyarakat yang Islami telah lahir, maka fasad (kemaksiatan) tidak ada jalan baginya, akan tetapi tidak dipastikan di masyarakat Islami tidak ada kejahatan, karena di jaman sahabat saja ada yang mencuri, berzina, minum khamer, tapi yang perlu dicatat adalah kadar dan legitimasinya. Masyarakat Islami tidak mungkin melegitimasi bentuk-bentuk kemaksiatan seperti negara kafir. Mereka terus berupaya keras menghan-curkan umat Islam serta menghancurkan tatanan masyarakat Islami dengan berbagai cara di antaranya al-batstsul mubasyir (globalisasi), jelas hal ini sangat membahayakan dari sisi fikrah, aqidah, akhlak, dan peradaban.
Kesimpulannya, bahwa pembinaan masyarakat adalah bagian dari Maqasidul Islam (tujuan-tujuan umum agama Islam) dan puasa salah satu sarananya. Dampaknya sangat jelas, selain yang disebutkan tadi, tidak heran anak kecil di bawah usia baligh bisa menjalankan ibadah puasa, orang-orang fasiq serta orang-orang maksiat tidak bisa menjalankan kemaksiatannya dengan terang-terangan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan