10 September 2010

Analisa Bila Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jumaat .

1 Syawal 1431H.
http://www.alsofwah.or.id/

Muqaddimah

Segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Kami memuja-Nya, memohon bantuan-Nya dan mengharapkan ampunan-Nya dari kejelekan diri dan keburukan tingkah laku kami. Orang-orang yang dibimbing-Nya tidak kehilangan jejak dan orang yang disesatkan tidak akan mendapatkan petunjuk.

Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada qudwah dan panutan kita Muhammad bin Abdillah, segenap keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh kepada jalan dan jejak beliau sampai akhir zaman.

Telah terjadi perselisihan pendapat dikalangan para Ulama’ tentang permasalahan jika Hari Raya bertepatan dengan Hari Jum’at, di mana shalat Hari Raya jatuh pada hari yang sama dengan shalat Jum’at. Hal ini akan membawa implikasi apakah dengan Shalat Ied tersebut dapat menggugurkan shalat Juma’at atau tidak..??, lalu jika Shalat Jum’at gugur, apakah secara langsung dapat menggugurkan shalat Dzuhur atau tidak..?? Dua permasalahan yang hingga sekarang diperselisihkan di kalangan para Ulama’ bahkan terkesan seperti permasalahan yang tidak akan pernah tuntas dan kunjung berakhir.

Namun terlepas dari fenomena yang terjadi, dengan tetap menghargai pendapat yang saling berselisih dan tidak meningkari pendapat-pendapat tertentu, kami sengaja mengangkat tema dan topic ini yang sedang hangat ini dengan harapan para pembaca dan pengunjung situs kami mendapatkan gambaran yang jelas dan gamblang tentang permasalahan tersebut, berdasarkan dalil-dalil yang kuat yang bersumber dari Rasulullah Shallallaaahu ‘alaihi wa salam dan perbuatan para Shahabat serta penjelasan para Ulama.

Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk dan taufiq kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Wallaahu a’lamu bish shawab.

Antara Ied dan Jum’at

Sungguh Allah Subhanahu Wata'ala telah memberi keutamaan kepada sebagian makhluqNya di atas makhluqNya yang lain. Sebagian nabi dan rasulNya lebih utama dari nabi dan rasulNya yang lain, Sebagian tempat lebih baik dari tempat yang lain dan begitulah seterusnya.

Begitu juga Allah telah memberi keutamaan kepada sebagian hari dari hari-hari yang lain. Di antara hari yang diberi keutamaan oleh Allah dari hari-hari yang lain adalah Hari ‘Ied, baik ‘Iedul Adha ataupun ‘Iedul Fithri dan Hari Jum’at. Dua hari tersebut masing-masing punya banyak keutamaan. Di antara keutamaan dua hari besar tersebut adalah sebagai berikut :

Kedudukan dan Keutamaan Hari Jum’at :

1. Hari Jum’at adalah hari yang paling mulia

Ini berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam :

“ Sebaik- sebaik hari yang disinari oleh matahari adalah hari Jum’at ” ( HR. Muslim no.854)

2. Allah telah menjadikan peristiwa-peristiwa besar pada hari jum’at.
Sebagaiman lanjutan hadits Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam :

“Pada hari itu, Allah menciptakan Adam, pada hari itu Allah memasukkannya ke dalam surga, dan pada hari itu pula Allah mengeluarkan Adam darinya. Dan tidaklah hari Kiamat terjadi, kecuali pada hari jum’at ”. ( HR. Muslim no.854)
Dan juga peristiwa-peristiwa besar lainnya yang banyak disebutkan oleh hadits-hadits Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam.

3. Hari Jum’at adalah hari raya bagi umat Islam.
Dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu 'anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah bersabda :

“ Sesungguhnya hari ini (jum’at) adalah hari raya yang Allah jadikan untuk kaum muslimin” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang hasan)

4. Hari Jum’at memiliki banyak amalan khusus yang dilakukan pada hari tesebut.
Dan masih banyak keutamaan-keutamaan besar lainnya.

Kedudukan Hari Ied

Adapun hari raya ‘Ied, baik ‘Iedul Adha ataupun ‘Iedul Fithri maka dia adalah hari terbesar bagi kaum muslimin, dimana tidak ada hari besar lagi yang dirayakan pada tiap tahunnya kecuali dua hari raya tersebut. Di dua hari tersebut, kaum muslimin bergembira, berbahagia,berkumpul dan berada dalam satu rasa.

Sholat Jumat dan Sholat Ied

Hukum shalat Jumat adalah fardhu ain bagi setiap muslim, baligh, berakal,yang mukim dan tidak mempunyai udzur. Dan telah kaum muslimin telah sepakat mewajibkan shalat jumat.

Adapun hukum shalat ‘Ied, kaum muslimin juga telah sepakat bahwa shalat ‘Ied adalah disyari’atkan. Namun para ulama berbeda pendapat tentang apakah ia fardhu ‘ain ataukah fardhu kifayah ataukah sunnah. Pendapat yang menyatakan bahwa shalat ‘ied adalah fardhu ‘ain adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimah dan muridnya, Ibnu Qoyyim dan Syaikh Utsaimin dan yang lainnya rahimahumullah.

Hari Raya ‘Ied Bertepatan Dengan Hari Jum’at

Telah diisyaratkan di atas bahwa baik hari jum’at ataupun hari ‘ied, keduanya adalah hari raya. Di mana keduanya adalah hari berkumpulnya kaum muslimin, untuk melaksanakan shalat dengan berjamaah dan mendengar khutbah dan amalan-amalan yang lain.

Bagaimana bila dua hari raya terkumpul dalam satu hari? Wajibkah kaum muslimin untuk melaksanakan shalat ‘ied dan jumat di hari yang sama tersebut?
Para fuqaha telah menjawab dan menjelaskan masalah yang urgen ini, di mana masalah ini sering ditanyakan oleh kaum muslimin.

Pendapat Para Ulama Bila Hari Raya Bertepatan Dengan Jum’at

Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban shalat jum’at bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied. Apakah dia masih berkewajiban untuk shalat jum’at atau dia mendapat keringanan untuk meninggalkan shalat jum’at dan hanya shalat dzuhur.

Pendapat dari Madzhab Hanafiyyah

Yang terlihat dari madzhab Hanafiyyah adalah bahwa apabila hari ‘ied bertepatan dengan hari jumat, maka kewajiban shalat jumat tidak gugur, dan berpendapat wajibnya shalat jumat bagi setiap mukallaf yaitu laki-laki yang merdeka yang tidak bepergian.

Ibnu Abidin dalam Hasyiyahnya berkata : “ Adapun madzhab kami ( Hanafiyah ) maka keharusan keduanya ( shalat ‘ied dan jum’at)”

Dalam kitab Alhidayah disebutkan : “Bila dua hari raya ( ‘ied dan jum’at) bertepatan di satu hari, maka yang awal adalah sunnah dan yang kedua adalah fardhu, dan tidak boleh ditinggalkan salah satunya”

Dalam kitab Bada’i Asshona’i disebutkan bahwa shalat ied adalah sunnah dan shalat jumat adalah fardhu, jadi shalat jum’at tidaklah gugur, (karena dia adalah fardhu-red)
Dengan ini telah jelas dari perkataan dari sebagian ulama Hanafiyah bahwa kewajiban shalat jumat tidak gugur pada hari ‘iedul fithri atau ‘iedul adha, itu dikarenakan shalat ‘ied adalah sunnah sedangkan shalat jum’at adalah fardhu yang wajib dilaksanakan, berdasarkan firman Allah Ta'ala :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” ( Al-Jumu’ah : 9)

Maka perintah untuk bersegera untuk melaksanakan shalat jum’at bagi setiap yang mendengar panggilan adalah kewajiban, maka dia tidak gugur kewajibannya pada hari ‘ied sama dengan hari-hari lainnya.

Pendapat dari Madzhab Malikiyyah

Terlihat dari madzhab Malikikiyyah bahwa mereka berpendapat tidak gugurnya kewajiban shalat jum’at bagi penduduk kota dan sekitarnya bila mereka telah shalat ‘ied, walaupun telah diberi izin (keringanan) oleh imam, dimana Imam malik kurang sepakat dengan perbuatan Utsman radiyallahu 'anhu yang memberi keringanan bagi orang-orang yang tinggal di perbukitan.

Begitulah yang telah dihikayatkan oleh pensyarah kitab Mukhtashor Khalil bahwa mengikuti shalat ‘ied tidak membolehkan untuk meninggalkan shalat jum’at baik bagi yang tinggal di pemukiman atau yang tinggal di luarnya, dan bahwa izin keringanan dari imam tidak menjadikan bolehnya meninggalkan shalat jum’at. Adapun rukhshah (keringanan) yang diambil dari beberapa hadits untuk bolehnya meninggalkan shalat jum’at setelah ikut shalat ‘ied adalah khusus untuk orang-orang yang jauh dari pemukiman (yaitu orang-orang baduy) dan bagi orang-orang yang tidak wajib jum’at bagi mereka yang tingggal jauh dari keramaian, itulah yang dipaparkan oleh al-Hafidz Ibnu Abdil Barr rahimahullah.

Pendapat dari Madzhab Syafi’iyyah

Adapun yang terlihat dari masalah ini menurut madzhab Syafi’iyyah adalah bahwa mereka perpendapat shalat jum’at tidak gugur kewajibannya terhadap penduduk sebuah kota atau desa, tapi berpendapat bahwa mereka tetap wajib melaksanakan shalat jum’at. Keringanan untuk meninggalkan shalat jum’at setelah shalat ‘ied hanyalah bagi mereka yang tinggal jauh di pedalaman ( Badui), dan walau begitu yang utama bagi mereka adalah tetap menghadiri shalat jum’at.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan : “Imam Syafi’i dan sebagian Ashhab (kawan) berkata : Kalau hari jumat berbarengan dengan hari ‘ied dan penduduk desa (yang mana mereka berkewajiban shalat jum’at karena adzan sampai kepada mereka )hadir lalu mereka shalat ‘ied, maka kewajiban shalat jum’at tidak gugur bagi penduduk desa tanpa ada perbedaan pendapat. Adapun gugurnya bagi penduduk pedalaman (badui) terdapat dua pendapat, dan yang benar yang ditegaskan oleh imam Syafi’i pada kitab al-Umm dan pendapat Qodim (terdahulu) bahwa shalat jumat gugur… ”

Pendapat dari Madzhab Hanabilah

Adapun pendapat madzhab Hambali dalam masalah ini adalah bahwa orang yang telah melaksanakan shalat ‘ied disunahkan baginya untuk hadir pada shalat jum’at, namun bila mencukupkan diri dengan shalat ‘ied ( dan tidak mengikuti shalat jum’at) kemudian dia shalat dzuhur, maka itu tidak mengapa.

Abdullah ibn Ahmad rahimahullah pada kitab Masailnya berkata : “Saya bertanya kepada ayah saya (Imam Ahmad) tentang dua ‘ied yang terkumpul dalam satu hari, kemudian salah satu (shalatnya) ditinggalkan, beliau menjawab : Tidak mengapa. Saya berharap itu mencukupinya ”

Ibnu Quddamah rahimahullah berkata : “Apabila hari ‘ied jatuh pada hari jum’at, maka bila seseorang mecukupkan diri dengan shalat ‘ied dan dia shalat dzuhur maka itu boleh, kecuali bagi imam (yaitu wajib baginya untuk melaksanakan shalat jum’at -red)”

Ringkasan Pendapat Para Ulama Madzhab

Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa madzhab Hanafi adalah wajibnya shalat jum’at bagi setiap orang yang terkena kewajiban jum’at pada hari biasa (selain hari ‘ied). Begitu juga perkataan imam Malik dan yang mengikuti beliau tentang tidak gugurnya shalat jum’at bagi orang yang telah mengikuti shalat ‘ied, kecuali yang diisyaratkan bahwa keringanan untuk meninggalkan shalat jumat hanya bagi penduduk pedalaman.

Adapun Imam Syafi’i berpendapat gugurnya shalat jum’at hanya untuk orang yang jauh dari keramaian, adapun penduduk kota dan pedesaan maka wajib bagi mereka untuk shalat jum’at.

Adapun madzhab Hambali telah jelas, bahwa mereka berpendapat tidak wajibnya shalat jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied, namun itu sunnah. Dan dia wajib untuk shalat dzuhur.

Dari pemaparan diatas, kita bisa simpulkan bahwa kebanyakan ulama berpendapat wajibnya shalat jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied, kecuali imam Ahmad ibn Hambal yang tidak mewajibkannya. Hanya saja para ulama yang mewajibkan jum’at sebagian mereka ada yang mewajibkan shalat jum’at secara mutlak, dan ada yang memberikan keringanan bagi penduduk yang jauh dari pemukiman.

Dalil-Dalil Setiap Pendapat

1. Dalil Bagi Pendapat yang Mewajibkan Shalat Jum’at Secara Mutlaq
Adapun di antara dalil para ulama yang mewajibkan shalat jum’at secara mutlaq adalah sebagai berikut :

1. Keumuman firman Allah Subhanahu Wata'ala :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli” ( Al-Jumu’ah : 9)

2. Semua dalil yang menunjukkan wajibnya shalat jum’at, seperti hadits :

على كل محتلم رواح الجمعة و على كل من راح الجمعة الغسل .

“Wajib bagi setiap orang yang sudah bermimpi (baligh)untuk pergi shalat jum’at dan bagi setiap yang pergi untuk jum’at maka dia mesti mandi” (hadits shahih riwayat An-Nasa’i)

Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan wajibnya shalat jum’at.

3. Karena keduanya merupakan shalat wajib ( tergantung dengan perbedaan pendapat tentang wajibnya shalat ‘ied) dimana yang satu tidak bisa menggugurkan yang lain, seperti shalat dzuhur dengan shalat ied.
Dan dalil-dalil yang lainnya

2. Dalil Bagi Pendapat yang Mewajibkan Shalat Jum’at Bagi Penduduk Kota dan Pemukiman dan Memberi Keringanan Untuk Penduduk Pedalaman Untuk Meninggalkannya

Dalil mereka adalah sama dengan dalil pendapat sebelumnya tentang wajibnya shalat jum’at, kemudian ditambah dengan atsar dari Utsman radiyallahu 'anhu berikut ini, yaitu dari Abu Ubaid, beliau berkata : “Aku pernah melaksanakan shalat shalat ‘ied bersama Utsman ibn Affan yang bertepatan dengan hari jum’at, lalu beliau shalat sebelum khutbah. Kemudian beliau berkhutbah : “Wahai manusia ini adalah hari dimana dua hari raya berkumpul di dalamnya, maka barangsiapa yang datang dari desa-desa ingin menunggu shalat jum’at, maka lakukanlah dan barangsiapa diantara mereka yang ingin pulang, maka aku telah mengizinkannya” (HR. al-Bukhari)

3. Dalil Bagi Pendapat yang Tidak Mewajibkan Shalat Jum’at (Bagi Selain Imam Masjid) Namun Hanya Menyatakan Sunnah

1. Hadits Zaid ibn Arqam bahwa Muawiyyah bertanya kepadanya : “Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah dua hari raya yang yang berkumpul di satu hari?” jawabnya : “Ya” Muawiyah bertanya : “Lalu apa yang beliau kerjakan?” Dia menjawab : “Beliau mengerjakan shalat ‘ied kemudian beliau memberikan keringanan dalam hal shalat jum’at seraya bersabda :

من شاء أن يصلي فليصل

“Barangsiapa yang ingin shalat, hendaklah dia shalat ” (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Albani)

2. Hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Sallallahu 'Alahi Wasallam bersabda :

قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون

“Pada hari ini telah terkumpul dua hari raya, maka barangsiapa berkehendak, boleh untuk tidak ikut shalat jum’at, sedangkan kami akan melaksanakan shalat jum’at ” (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Albani)

3. Hadits Ibnu Umar, beliau bercerita : “Telah terkumpul dua hari raya dalam satu hari pada masa Rasulullah Sallallahi ‘alaihi Wasallam, beliau shalat ‘ied bersama orang-orang, kemudian bersabda :

من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها و من شاء أن يتخلف فليتخلف

“Barangsiapa yang mau mendatangi shalat jum’at silahkan mendatanginya, dan barangsiapa yang tidak mau mendatangi shalat jum’at silahkan tidak mendatanginya” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Albani)

4. Atsar yang diriwayatkan Atho ibn Abi Rabah, beliau berkata :

“Ibnu Zubair pernah shalat mengimami kami pada hari raya yang bertepatan dengan hari jum’at pada awal siang, lalu kami berangkat shalat jum’at, tapi beliau tidak keluar untuk shalat jum’at, maka kami shalat jum’at sendiri. Waktu itu Ibnu Abbas berada di Thaif, lalu begitu beliau datang kami tanyakan hal itu, beliaupun menjawab : “Ia telah melaksanakan sesuai dengan sunah”(HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Albani)

Dan masih banyak dalil-dalil lain yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih.
Pendapat inilah yang dipilih oleh al-Lajnah ad-Daimah dalam fatwanya.

Pendapat ini jugalah yang dipilih oleh sebagian ahli ilmu pada zaman ini diantaranya Syaikh Sa’id ibn ‘Ali al-Qahthani, Syaikh Husain al-Awaisyah, Abdul ‘Adzim al-Badawi,Abu Malik penulis kitab “Shahih Fiqh Sunnah” dan yang lainnya.

Fatwa al-Lajnah ad-Daimah

Setelah al-Lajnah ad-Daimah menyebutkan dan mempelajari hadits-hadits dan atsar-atsar tentang masalah ini, Lajnah menyimpulkan sebagai berikut : “Berdasarkan dari hadits-hadits yang marfu’ (terhubung) kepada Nabi dan juga atsar-atsar dari sebagian shahabat ini dan juga berdasarkan penetapan jumhur ahli ilmu dalam fiqih mereka, maka Lajnah menjelaskan hukum-hukun berikut :

1. Barangsiapa yang telah hadir shalat ‘ied, maka dia diberi rukhshah (keringanan) untuk tidak mengikuti shalat jum’at dan dia shalat dzuhur pada waktunya. Namun bila ia tidak mengambil keringanan dan shalat jum’at bersama orang-orang maka itu adalah lebih utama.

2. Barangsiapa yang tidak hadir shalat ‘ied maka dia tidak mendapatkan rukhshah (keringanan), maka wajib baginya untuk berangkat ke masjid untuk shalat jum’at. Kalau tidak terdapat jumlah jamaah yang mencukupi untuk shalat jum’at, maka dia shalat dzuhur.

3. Imam masjid jami’ wajib mendirikan shalat jum’at pada hari itu agar orang-orang yang ingin melaksanan shalat jum’at bisa melaksanakannya dan bagi orang yang tidak ikut melaksanakan shalat ied, kalau jumlah jamaah mencukupi untuk shalat jum’at (maka shalat jum’at-red) dan kalau tidak, maka shalat dzuhur.

4. Barangsiapa yang telah hadir shalat ‘ied dan mendapatkan keringanan untuk tidak hadir pada shalat jum’at, maka dia shalat dzuhur setelah masuk waktunya.

5. Di waktu ini, disyariatkan adzan hanya bagi masjid-masjid yang mendirikan shalat jum’at saja, maka tidak disyariatkan adzan untuk shalat dzuhur di hari ini.

6. Pendapat yang mengatakan bahwa barangsiapa yang hadir shalat ‘ied maka gugurlah baginya kewajiban shalat jum’at dan shalat dzuhur adalah pendapat yang tidak benar. Oleh karena itu para ulama tidak menganggapnya dan menghukumi bahwa pedapat itu salah dan ghorib (nyleneh), karena pendapat itu menyelisihi sunnah dan menggugurkan salah satu fardhu dari Allah tanpa dalil. Kemungkinan yang berpendapat seperti ini, dalam masalah ini belum sampai padanya sunan (hadits-hadits) dan atsar-atsar yang memberi rukhshah (keringanan) bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied untuk tidak hadir pada shalat jum’at, namun dia berkewajiban untuk shalat dzuhur.
Wallahu Ta’ala A’lam..

Adapun Syaikh Abdullah ibn Jibrin rahimahullah setelah beliau mempelajari pendapat para ulama, beliau lebih memilih pendapat Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa rukhshah meninggalkan shalat jum’at hanya bagi orang-orang yang tingal jauh dari pemukiman, seperti penduduk perbukitan dan semisalnya dan itu adalah sebagai keringanan bagi mereka.

Beliau juga menguatkan pendapat beliau dengan menjelaskan berbedanya keadaan manusia zaman dahulu dengan zaman sekarang, dimana zaman sekarang :

- Alat transportasi lebih mudah, dimana apabila zaman dahulu jarak yang jauh ditempuh dengan lelah dan dengan berjam-jam, namun sekarang hanya dengan hitungan detik dan nyaman

- Banyaknya masjid-masjid yang mendirikan shalat jum’at, dimana ini menambah kemudahan untuk melaksanakan shalat jum’at

Oleh karena itu beliau menjelaskan tidak bolehnya tasahul (menganggap remeh) dalam masalah Jum’at dan pemberian keringanan untuk meninggalkannya. Itu karena kesulitan sekarang menjadi lebih ringan. Wallahu Ta’ala A’lam.

[Sumber : Arro’yu as-Sadid Fima Idza Waafaqo Yaumul Jum’at Yaumal ‘Ied oleh Syaikh Abdullah al-Jibrin, Shahih Fiqhus Sunnah oleh Kamal ibn Sayyid Salim, Solatul Mukmin oleh Syaikh Sa’id al-Qahthani, www.saaid.net dan sumber lainnya]

Arab Saudi, Arab Teluk Rayakan Aidil Fitri Jumaat, 10 Sept.

1 Syawal 1431H.

Dubai (ANTARA News/Reuters) -- Arab Saudi dan sebagian besar rakan negara Arab Teluk-nya,juga akan merayakan Aidil Fitri pada Jumaat, untuk menandai berakhirnya bulan puasa Ramadhan, kata media regional, Rabu.

Kuwait, Qatar dan Uni Emirat Arab juga akan merayakan Aidill Fitri pada Jumat, menurut laporan media.

Pemilihan waktu Aidill Fitri boleh berbeza-beza di negara-negara yang berbeza tergantung pada penglihatan terhadap bulan baru, yang menandakan awal bulan dalam penanggalan Islam yang berdasarkan pada bulan.

Qian Lu Ji Qiong : Keldai di Guizhou Kehabisan Akal


30 Ramadhan 1431H.

Asal Usul:

Pada zaman dahulu kala, di provinsi Guizhou, atau yang dikenali dengan nama singkatnya Qian, tidak ada keldai. Pada suatu hari, seorang lelaki yang suka menjaga tepi kain orang, telah mengangkut seekor keldai dengan perahu ke kawasan tersebut. Bagaimanapun, orang di sana tidak tahu apa gunanya binatang yang begitu besar itu. Maka, mereka pun meninggalkannya di kaki sebuah gunung.

Seekor harimau yang bersiar-siar di gunung itu ternampak keldai tersebut, dan menyangkanya sebagai seekor raksasa yang ganas, kerana tubuhnya memang agak besar. Sang harimau itu pun menyembunyikan diri, sambil mengintai-intai di celah rimbun pokok. Tidak lama kemudian, ia pun cuba mendekati keldai itu dengan penuh cermat, tetapi tetap tidak tahu apa binatang itu sebenarnya.

Beberapa hari kemudiannya, tiba-tiba, keldai itu berteriak dengan kuat. Sang harimau itu berasa sangat takut hingga ia lari lintang pukang meninggalkan tempat itu. Fikirnya, "raksasa" itu mungkin terlalu lapar dan mahu memakannya.

Selepas memperhatikan keldai itu berulang-ulang kali, sang harimau itu menjadi semakin biasa dengan teriakannya. Ia mendapati bahawa keldai itu sebenarnya tidak memiliki apa-apa kebolehan pun selain daripada berteriak. Jadi, ia menjadi lebih berani untuk mendekati keldai itu, tetapi belum cukup berani untuk menyerangnya.

Lama-kelamaan, sang harimau itu menjadi semakin bebas berbuat sesuatu kepada keldai itu, hinggakan ia berani menyentuh keldai itu, bersandar padanya, malah bertindak seolah-olah mencabarnya. Keldai itu tidak dapat menahan kesabarnya lagi, lalu ia pun mengangkat kakinya, dan menendang sang harimau itu sekuat-kuatnya.

Tendangan ini membuatkan sang harimau itu menjadi sangat gembira, kerana melalui tindak balas itu, ia pasti bahawa keldai itu memang tidak ada apa-apa kepandaian lain. Maka, ia pun menerkam ke arah keldai itu, sambil mengaum dengan kuatnya, lalu menggigit lehernya hingga patah, dan memakan dagingnya habis-habis. Setelah selesai makan, barulah ia meninggalkan tempat itu dengan penuh kepuasan.

Catatan Keterangan:

Peribahasa "Qian Lu Ji Qiong" atau "Keldai di Guizhou Kehabisan Akal" ini membawa erti, kebolehan yang terhad digunakan hingga habis. "Keldai" yang disebut dalam cerita tersebut pula merujuk kepada orang atau golongan yang nampaknya sangat kuat atau berkuasa, tetapi sebenarnya tidak berupaya. CRI/-

Jangan terpedaya agenda Zionis membakar Al Quran

30 Ramadhan 1431H.
Nuruddin Muhammad

Pelbagai reaksi diberi rentetan pengisytiharaan bakar Al Quran yang bakal dilakukan oleh Dr Terry Jones dari Dove Dunia Outreach Centre di Florida Amerika menjelang sambutan 11 September.

Ironinya sehingga kini isu tragedi WTS 11 Septeber 2001 masih dalam fasa kekabutan mengenai punca sebenar keganasan tersebut. Jika ia dirancang oleh dua pemandu kapal terbang arab, bagaimana pula dengan bukti-bukti yang dinyatakan oleh para pengkaji forensik banguna di mana impak hentakan kapal terbang tidak berjaya menrunyuhkan bangunan sebaliknya terdapat kesan bahan letupan dari aras bawah tanah dan setiap latai arasnya?

Bagaimana pula dengan kenyataan-kenyataan berikut?

I can think of no faster way to unite the American people behind George W. Bush than a terrorist attack on an American target overseas. — Henry Kissinger (ahli sains politik AS, penerima anugerah nobel keamanan)

September Eleven was good for Israel. — Benjamin Netanyahu (Perdana menteri Israel)

Juga syarikat mesej pantas ODIGO melaporkan dua pekerjanya menerima isyarat letupan akan dibuat 2 jam sebelum peristiwa 11 September. ODIGO adalah syarikat berkaitan dengan Israel berpusat di New York.

Jelas, peristiwa ini masih jauh untuk dikaitkan dengan dunia Islam atau arab. Apatah lagi jika terus dikaitkan dengan sarana Al Quran dan pembakarannya diabsahkan.

Jelasnya ia juga bukan sikap sebenar kaum Kristian seluruh dunia walauapun majoriti mangsa tragedi adalahpenganut Kristian. Jika diteliti, saranan Gereja Dove World Outreach Center di Gainesville di Florida ini jelas adalah konspirasi besar Zionis untuk melaga-lagakan dua agama dalam masa yang sama menutuup kosnpirasi besar mereka.

Gereja ini telah melancarkan kempen dengan menggunakan slogan “Everybody Burn Quran Day” kononnya sebagai langkah memperingati mangsa tragedi 9/11 yang dikaitkan dengan sikap ganas kumpulan pelampau Islam.

Rakyat Malaysia perlu berbangga dengan sikap Perwakilan dari Sayap Pemuda Majlis Gereja-gereja Malaysia (CCM Youth) menyerahkan sebuah memorandum kpada Kedutaan Besar Amerika Syarikat hari ini dan menyeru kerajaan AS untuk menghentikan tindakan gereja di Florida tersebut daripada melakukan pembakaran Al-Quran pada 11 September 2010.

Memorandum setebal 8 mukasurat itu telah dihantar oleh lima orang yang diketuai oleh paderi Gereja Lutheran Bangsar Rev Sivin Kit, dan Moderator CCM Youth dan anggota Lembaga Eksekutif Chrisanne Chin, yang menyerahkan memorandum kepada Jeremy Nathan, Naib Penasihat Politik Kedutaan Besar AS di Kuala Lumpur.

Pemuda CCM sangat menentang ancaman oleh Dr Terry Jones dari Dove Dunia Outreach Centre, sebuah organisasi 50 orang di Gainesville, Florida, untuk membakar teks suci, Quran, pada hari peringatan serangan World Trade Center. Mereka mengutuk usaha untuk membakar teks suci agama lain sebagai satu penyelesaian yang salah.

CCM Youth juga mengulangi mengingatkan bahawa Dove Niat World Outreach Center tidak mewakili sentimen penganut Kristian di Malaysia, dan tidak bersetuju dengan tindakan membakar kitab suci mana-mana agama, tidak menyokong agenda provokatif atau menghina agama lain.

Terry Jones yang melancarkan kempen ini pernah turut menulis sebuah buku yang berjudul Islam is of the Devil, manakala pihak gerejanya turut menjual mug dan t-shirt yang menampilkan mesej tajuk buku tersebut sebagai usaha mempromosikan pelabelan Islam sebagai syaitan. Bagi menyebarkan mesej tersebut, pihak gereja turut melancarkan kempen melalui Youtube.

Persatuan Evangelis Kebangsaan (NAE) The National Association of Evangelicals juga mengeluarkan kenyataan agar Dover World Outreach membatalkan cadangan untuk memperingati tragedi 9/11 dengan membakar al-Quran. NAE adalah persatuan pendidikan Gospel di Amerika.

Umat Islam yang membantah sikap Islamofobia ini telah mengadakan beberapa siri demostrasi antara yang terhebat adalah di Masjid Milad Kabul ul-Nabi di Kabul Afghanistan.

Sikap reaksi melalu dengan membakar kitab suci agama lain adalah sikap tidak bertamadun yang sebenarnya merancakkan ketegangan kaum serta mengapikan semula islamofobia di Amerika.

Muhammad Nuruddin Bashah
Sekreteriat MUDA-Teras

Salam Idulfitri: Kekalkan hidup beragama

30 Ramadhan 1431H.
Nik Abdul Aziz Nik Mat

Firman Allah SWT (bermaksud):

“(Tuhan yang membuka jalan kemenangan itu) Dialah yang menurunkan semangat tenang tenteram ke dalam hati orang-orang yang beriman (semasa mereka meradang terhadap angkara musuh) supaya mereka bertambah iman dan yakin berserta dengan iman dan keyakinan mereka yang sedia ada; pada hal Allah menguasai tentera langit dan bumi (untuk menolong mereka) dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”

(Al-Quran, surah Al-Fath 48:4)

Segala kebesaran milik Allah SWT yang telah mengizinkan kita untuk terus berabdi dengan beribadat di sepanjang bulan Ramadhan dan seterusnya menyambut Hari Raya Idulfitri, 1 Syawal 1431H ini. Sesungguhnya kesempatan setiap Ramadhan disediakan oleh Allah SWT wajar dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dengan memperbanyakkan amal ibadah demi meningkatkan ketaqwaan selari dengan tujuan berpuasa.

Asas kehidupan manusia yang beriman dan bertaqwa sudah pasti berpandukan agama. Ini kerana ajaran agama menyediakan perlembagaan hidup yang sebenar. Maka kehidupan orang yang taqwa sudah pasti hidupnya selari dengan agama, yakni perlembagaan hidup yang berteraskan agama. Justeru kehidupan seorang yang beragama adalah terlalu jauh bezanya dengan kehidupan berpandukan perlembagaan buatan (digubal) manusia. Ini kerana tuan punya dunia ini telah menetapkan adanya hari pembalasan dan ini wajib diulang-ulang berbelas-belas kali setiap hari di dalam solat (maliki yaumid din). Oleh yang demikian, apalah sangat pihak yang menggubal perlembagaan, apakah mereka dapat menjamin bahawa roh perlembagaan yang digubal manusia itu dapat memuaskan hati pihak hakim di akhirat kelak iaitu Allah SWT? Tanpa ada sebarang keraguan di mahkamah Allah (without any shadow of doubt). Bolehkah perlembagaan buatan itu dapat menyelamatkan seseorang manusia itu daripada neraka Allah SWT?

Perlembagaan sebenar (alsirat al-mustaqim) ialah al-Quran yang kita tadarus, yang kita baca di dalam solat, di pejabat, di dalam perjalanan ke pasar atau ke mana-mana. Ia mengandungi nur iaitu cahaya.

Cahaya itu bukan cahaya matahari, bulan, bintang tetapi cahaya yang menyuluhi qalbu insan, bagi menentukan halal dan haram, dosa pahala, taat maksiat dan syurga neraka. Tanpa adanya cahaya ini manusia akan meraba-raba dalam kegelapan. Itulah gunanya al-Quran, iaitu untuk menimbal kelemahan-kelemahan manusia.

Sebab itu di dalam saat manusia berhibur pada hari ini, galak dengan makan minum, pakaian yang baru, manusia tetap disuruh, melaungkan Allahuakbar sekuat-kuatnya, di merata-rata tempat, bukan sahaja di masjid dan di surau. Ini kerana jika Allahuakbar adalah Akbar, terbesar, terpenting, maka segala urusan hidup lain menjadi kecil, boleh diketepikan bila bertembung dengan kehendak Allah SWT. Di negara kita, umat Islam masih agak terikat dengan budaya bertakbir di masjid dan di surau sahaja. Saya mencadangkan agar kita mempelopori suasana yang baru, berteraskan sunnah, iaitu kita bertakbir di mana-mana tempat (di mana yang sesuai).

InsyaAllah jika semangat takbir ini dihayati sepenuhnya, banyak permasalahan yang berlaku di dalam negara dapat diselesaikan. Masyarakat dapat hidup aman dan damai tanpa sebarang pertembungan yang melibatkan keturunan dan kebudayaan. Kita sudah tentu mengimpikan masyakarat di negara kita khususnya dapat hidup sejahtera tanpa sebarang gangguan dan ancaman yang terhasil dari perbezaan kaum dan keturunan. Melayu misalnya dapat menerima menantu dari keturunan Cina, India tidak merasa kekok untuk bemertuakan seorang Melayu bahkan Melayu dengan senang hati berjemaah dan berimamkan seorang Cina atau India yang Muslim. Ini boleh terhasil apabila semangat takbir dapat dilaksanakan sepenuhnya dan bukan hanya sekadar meniti di bibir semata-mata.

Alhamdulillah, ini dapat kita saksikan sepanjang Ramadhan khususnya apabila masjid-masjid dan madrasah-madrasah dipenuhi dengan kaum Muslimin. Tanpa mengira bangsa, semua kita melafazkan amiin apabila imam menghabiskan bacaan al-Fatihah. Kita tidak merasa kekok apabila bahu kita bersentuhan dengan saudara seagama dari kaum lain ketika mengerjakan solat. Kita tidak berasa janggal untuk menghulurkan salam kepada rakan sebelah yang berbeza keturunan. Persoalannya, kenapakah perasaan ini tidak muncul di luar masjid dan madrasah? Jawapannya, kerana kebesaran Allah SWT hanya diikrarkan di dalam masjid sahaja dan tidak dibawa keluar sebagai asas kehidupan.

Oleh yang demikian, besarlah harapan saya agar hari raya yang disambut pada tahun ini dan tahun-tahun yang seterusnya berjaya menjadi alat penyatuan di antara kaum yang berbeza dengan berteraskan kalimah takbir. Laungan takbir ini jauh lebih menjamin keselamatan dan keamanan jika dibandingkan dengan laungan perkauman yang dikumandangkan oleh golongan-golongan yang tertentu. Bahkan masyarakat non muslim sendiri pun tentunya merasa jauh lebih terjamin keselamatan dan ketenteraman mereka di bawah syiar Islam dibandingkan dengan syiar bangsa dan keturunan. Insya Allah, jika ini dihayati, matlamat untuk menyatu padukan masyarakat Malaysia akan tercapai.

Pada kesempatan ini juga, tidak lupa saya berpesan agar anak-anak Kelantan di perantauan dapat berhati-hati semasa pulang berhari raya, terutama di sepanjang perjalanan. Perlulah diingat bahawa kepulangan kita ditunggu-tunggu oleh orang yang tersayang. Janganlah pula kepulangan di hari raya disambut dengan kedukaan.

Akhir kata, marilah kita sama-sama berdoa agar setiap amalan yang kita lakukan sepanjang Ramadhan khususnya diterima sebagai amalan yang soleh dan akan diganjari oleh Allah SWT dengan sebaik-baik ganjaran.

Salam Idulfitri. Minal ’aidin wal faizin.

Tuan Guru Datuk Nik Abdul Aziz Bin Nik Mat,
Menteri Besar Kelantan.

I Syawal 1431

Rayakan Syawal, Jangan Tentang Usaha Nabi SAW

30 Ramadan 1431
Perutusan Hari Raya Presiden PAS

Allahuakbar, Allahukbar, Allahuakbar…
Lailaha Hilallah Wallahu Akbar,
Allahuakbar Walillahil Hamd.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dengan Nama Allah Tuhan Yang Maha Pemurah Lagi Penyayang;

Saya bagi pihak Parti Islam Se-Malaysia (PAS) mengucapkan kepada seluruh muslimin dan muslimat. Selamat menyambut Hari Raya Aidilfitri, hari raya kurnia Allah SWT bersempena dengan kita menunaikan ibadat puasa di bulan Ramadan. Menjadi kelaziman selepas menunaikan ibadat-ibadat yang besar. Allah Ta’ala, mengurniakan hari yang besar. Bagi sembahyang lima waktu dikurniakan hari Jumaat, bagi puasa Ramadan dikurniakan Hari Raya Aidilfitri dan bagi ibadat Haji dikurniakan Hari Raya Korban (Aidiladha).

Hari Raya Aidlifitri mempunyai keistimewaan yang tersendiri. Setelah umat Islam dididik, ditarbiyyah dengan mengerjakan ibadat puasa di bulan Ramadan, supaya menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Adalah juga menjadi suatu hikmah yang besar apabila Allah SWT memilih di bulan Ramadan ini berlakunya peristiwa al-Quran Karim diturunkan dan peristiwa peperangan Badar. Peristiwa pembukaan Mekah, diikuti dengan bulan Rejab, bulan Syawal dengan peristiwa Ahzab.

Ini menunjukkan bahawa kemuncak kepada taqwa yang ditarbiyyahkan melalui puasa Ramadan. Orang-orang yang beriman hendaklah menerima al-Quran Karim, satu-satunya petunjuk yang benar kerana ia (al-Quran) daripada Allah SWT. Setelah Allah SWT menyatakan tujuan ibadat puasa itu, supaya kamu (manusia) bertaqwa kepada Allah SWT.

Allah SWT juga menegaskan, “Kitab (al-Quran) ini tidak syak lagi memberi Petunjuk kepada orang-orang yang bertaqwa”. Dan hanya orang-orang yang bertaqwa yang menjadikan al-Quran Karim sebagai Petunjuk. Marilah kita mempelajari daripada menafsirkan al-Quran Karim secara praktikal atau amali yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Apabila beramal dengan al-Quran bukan sahaja mengaku menjadi seorang Islam yang mengucap dua kalimah syahadah. Tetapi, disertakan dengan keimanan yang sungguh-sungguh dan dalam masa yang sama menegakkan al-Quran itu menjadi Petunjuk dalam seluruh cara hidup individu, keluarga dan masyarakat.

Apabila Rasulullah SAW berusaha untuk mendirikan sebuah negara atau amalan politik. Ini menunjukkan bahawa seluruh al-Quran Karim tidak boleh dilaksanakan melainkan dengan adanya amalan (kuasa) politik yang menjadi syarat, kerana hukum-hukum yang ada dalam al-Quran Karim mensyaratkan adanya negara yang didirikan. Negara yang dilandaskan al-Quran Karim itu dan Petunjuk yang diajar oleh Rasulullah SAW supaya hukum-hukumnya diamalkan.

Para ulama’ mengatakan, “Apa yang tidak sempurna dari perkara yang wajib melainkan dengannya, maka ia (perkara itu) menjadi wajib”. Bagi mendirikan sembahyang syaratnya mestilah berwudhuk, maka berwudhuk untuk sembahyang yang wajib hukumnya wajib. Bagi menutup aurat yang wajib mestilah mempunyai pakaian yang lengkap bagi menutup aurat. Maka, mencari pakaian yang lengkap bagi menutup aurat hukumnya adalah wajib. Bagi melaksanakan seluruh perintah-perintah al-Quran Karim memerlukan amalan politik bagi mendirikan negara yang mendaulatkan Syariat (hukum) Allah. Maka, berpolitik mendirikan negara adalah wajib. Inilah yang dilakukan oleh Nabi SAW. Apabila di sana terdapat di kalangan manusia yang tidak boleh menerima petunjuk al-Quran Karim. Ini kerana, al-Quran itu menghalang hawa nafsu mereka untuk memerintah secara zalim dan diktator. Untuk mereka melakukan cara yang melampau dalam menyalahgunakan kuasa, menyalahgunakan nikmat harta negara yang diberi oleh Allah SWT. Meneguhkan kuasa menyebabkan seseorang itu boleh membuat apa sahaja.

Apabila al-Quran Karim menghalang kelakuan yang haram dan buruk itu, menyebabkan kumpulan-kumpulan yang mahu melakukan amalan itu menentang usaha Nabi SAW untuk mendirikan negara Islam. Maka, berlakulah pertembungan antara haq dan batil, di antara benar dan salah, di antara adil dan zalim. Inilah yang menimbulkan peristiwa Badar, yang menimbulkan pembukaan Mekah, yang menimbulkan peristiwa Ahzab.

Apa yang menarik, peristiwa-peristiwa ini melibatkan bangsa Arab, melibatkan orang-orang Yahudi Ahlil Kitab. Ini menunjukkan bahawa pertembungan yang melahirkan Furqan, yang membezakan haq dan batil, bukan di atas asas kebangsaan, bukan di atas asas ke negerian. Tetapi di atas asas prinsip aqidah Islam yang benar, yang menegakkan iman, yang menolak kufur, yang menegakkan Islam, yang menolak jahiliah, yang menegakkan adil yang menolak kezaliman.

Inilah semangat yang perlu dilahirkan dari Ramadan, semangat yang diperlukan lahir dari hari raya. Di sinilah hikmatnya, mengapa tiap-tiap hari raya kita bertakbir membesarkan Allah SAW dengan menyebut ‘Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar’ dan Allah sahaja Yang Maha Besar. Dan bagi Allah sahaja kepujian dan kita menyebut, “Tidak ada Tuhan yang sebenar melainkan Allah, Esa-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya, yang menolong hamba-Nya, yang berjuang untuk menegakkan Islam, yang menghancurkan bala tentera Ahzab. Yang menentang usaha bagi menegakkan Islam itu”.

Inilah semangat hari raya yang perlu disambut. Dalam masa yang sama, kita hendaklah mengukuhkan saf umat Islam itu sendiri. Khususnya, di kalangan mereka yang menegakkan Islam dengan mengeratkan hubungan persaudaraan di antara satu sama lain. Dan mereka yang terlanjur melakukan kesilapan hendaklah sedar dan insaf serta kembali ke pangkal jalan. Sebagaimana yang ditunjuk oleh generasi awal umat Islam yang membawa mereka kepada kemuliaan. Kemuliaan yang diberi oleh Islam sebagaimana yang dinyatakan oleh Khalifah Umar al-Khatab, “Kita adalah umat yang diberi kemuliaan oleh Allah dengan Islam, sekiranya kita mencari kemuliaan yang lain dari Islam, nescaya kita akan menerima penghinaan daripada Allah”.

Cukuplah, kehinaan yang menimpa umat Islam hari ini mereka diratah oleh kaum yang lain. Mereka sepatutnya menjadi contoh kepada umat yang lain, tiba-tiba mereka terpengaruh dengan umat yang lain. Marilah, kita kembali dengan semangat Ramadan, dengan semangat hari raya melahirkan umat yang dinyatakan oleh Allah, “Kamu adalah umat yang dijadikan oleh Allah untuk dikeluarkan kepada manusia, untuk menjadi contoh, untuk memimpin manusia, dengan ciri-ciri dan sifat-sifat kamu menyuruh kepada yang baik dan kamu mencegah kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah”.

Dan mudah-mudahan kita dapat melaksanakan kewajipan ini dengan penuh mendapat rahmat dan pertolongan dari Allah SWT sebagaimana yang dijanjikan, “Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang soleh, bahawa Allah yang menjadikan mereka itu golongan yang berkuasa, dan memerintah negara di atas muka bumi ini sebagaimana dikurniakan kepada umat yang terdahulu dan Allah menjadikan keadaan yang berubah, agama yang diredha ialah Islam ini berkuasa memerintah. Keadaan yang menakutkan bertukar menjadi keamanan. Mereka itu mengabdikan diri kepada Aku yakni Allah, dan mereka tidak menyengutui Aku yakni Allah dengan sesuatu yang lain. Dan sesiapa yang kufur selepas itu mereka itulah orang-orang yang fasiq.

Sekian.

Salam Hormat,

Dato’ Seri Tuan Guru Abdul Hadi Awang
Presiden Parti Islam Se-Malaysia (PAS)

Aliran trafik dijangka sesak lewat petang ini

30 Ramadhan 1431H.

Aliran trafik di beberapa lebuh raya utama kini semakin meningkat dan keadaan dijangka bertambah sesak menjelang lewat petang ini apabila semakin ramai warga kota memulakan perjalanan balik kampung sempena sambutan Aidilfitri esok.

Jurucakap trafik Lembaga Lebuhraya Malaysia (LLM), berkata kesesakan dijangka bermula lewat petang memandangkan hari ini masih ramai warga kota yang bekerja dan masing-masing akan memulakan perjalanan selepas waktu pejabat.

"Aliran menuju ke Kuantan dan Lebuhraya Pantai Timur masih lagi terkawal sekalipun jumlah kenderaan meningkat. Setakat ini tiada nahas jalan raya dilaporkan," katanya ketika dihubungi.

Sementara itu, laman web LLM melaporkan aliran trafik menghala ke selatan semakin sibuk terutama di antara Nilai dan Seremban.

Bagaimanapun, laluan trafik ke utara masih lancar sehingga tengah hari ini, kata laman web itu.

- Bernama

Bagaimana Kita Bersikap Jika Hari Raya ['Ied] Jatuh Pada Hari Jum'at..??

30 Ramadhan 1431
http://www.alsofwah.or.id/

Diantara sebagian kaum Muslimin ada yang bertanya-tanya tentang seputar apabila Hari Raya (Ied) bertepatan dengan hari Jum'at...Apakah bagi yang telah melakukan shalat Ied, tetap diharuskan shalat Jum'at..? Ataukah shalat Jum'at tersebut menjadi gugur..? Lalu bagi orang yang tidak shalat Jum'at, apakah ia tetap shalat Zhuhur atau tidak..? Oleh karena itu dalam rubrik konsultasi ini, sengaja kami angkat permasalahan tersebut yang kami nukilkan dari fatwa-fatwa para Ulama dengan harapan semoga bermanfaat.

1. Pertanyaan : Jika datang ‘Idul Fithri pada hari Jum’at apakah boleh bagiku untuk shalat ‘Id namun aku tidak shalat Jum’at, atau sebaliknya?

Jawab : Apabila Hari Raya bertepatan dengan hari Jum’at maka barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘id berjama’ah bersama imam gugur darinya kewajiban menghadiri shalat Jum’at, dan hukumnya bagi dia menjadi sunnah saja. Apabila dia tidak menghadiri shalat Jum’at maka tetap wajib atasnya shalat zhuhur.

Ini berlaku bagi selain imam. Adapun imam, tetap wajib atasnya untuk menghadiri Jum’at dan melaksanakannya bersama kaum muslimin yang hadir. Shalat Jum’at pada hari tersebut tidak ditinggalkan sama sekali. (Oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fauzan VIII/44)

2. Pertanyaan: Pada tahun ini bertemu dalam sehari dua hari raya, yaitu : Hari Jum’at dan ‘Idul Adh-ha. Manakah yang benar : Kita tetap melaksanakan shalat Zhuhur jika kita tidak shalat Jum’at, ataukah kewajiban shalat Zhuhur gugur apabila kita tidak shalat Jum’at?

Jawab: Barangsiapa yang melaksanakan shalat ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka dia diberi rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at pada hari tersebut, kecuali imam. Adapun imam, tetap wajib atasnya menegakkan shalat Jum’at bersama kaum muslimin yang hadir shalat Jum’at, baik yang sudah shalat ‘Id maupun tidak shalat ‘Id. Apabila tidak ada seorang pun yang hadir, maka gugurlah kewajiban Jum’at darinya, dan dia melaksanakan shalat Zhuhur. (Para ‘ulama yang berpendapat demikian) berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami berkata:


« شهدت معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال: أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم؟ قال: نعم، قال: فكيف صنع؟ قال: صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل، »


Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam, “Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua ‘Id bertepatan pada satu hari?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya lagi, “Bagaimana yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau mengerjakan shalat ‘Id kemudian memberikan rukhshah (keringanan) untuk shalat Jum’at. Beliau mengatakan, Barangsiapa yang hendak mengerjakan shalat (Jum’at), maka silakan mengerjakan shalat (Jum’at).” [HR. Ahmad (IV/372), Abu Dawud 1070, An-Nasa`i 1591, Ibnu Majah 1310. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Madini, Al-Hakim, dan Adz-Dzahabi. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud - Al-Umm no. 981.]

Juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya juga dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:


« قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون »


"Telah terkumpul pada hari kalian ini dua ‘Id. Barangsiapa yang mau maka itu sudah mencukupinya dari shalat Jum’at. Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id)." [HR. Abu Dawud 1073, Ibnu Majah 1311. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud - Al-Umm no. 983]

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa rukhshah (keringanan) tersebut untuk shalat Jum’at bagi barangsiapa yang telah menunaikan shalat ‘Id pada hari tersebut.

Sekaligus diketahui bahwa tidak berlaku rukhshah bagi imam, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut, “Sesungguhnya kita memadukan (dua ‘id).”

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma:


أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما


“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”

Barangsiapa yang tidak menghadiri shalat Jum’at bagi yang telah menunaikan shalat ‘Id, maka tetap wajib atasnya untuk shalat Zhuhur, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban shalat Zhuhur bagi yang tidak shalat Jum’at.


وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.


Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: ‘Abdullah bin Ghudayyan
Anggota: ‘Abdullah bin Qu’ud.

Adapun dalam fatwo 2140, Al-Lajnah menyatakan sebagai berikut :

Apabila ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka gugur kewajiban menghadiri shalat Jum’at bagi orang yang telah menunaikan shalat ‘Id. Kecuali bagi imam, kewajiban shalat Jum’at tidak gugur darinya. Terkecuali apabila memang tidak ada orang yang berkumpul/hadir (ke masjid) untuk shalat Jum’at.

Di antara yang berpendapat demikian adalah adalah : Al-Imam Asy-Sya’bi, Al-Imam An-Nakha’i, Al-Imam Al-Auza’i. Ini adalah madzhab shahabat ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Sa’id, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhum dan para ‘ulama yang sependapat dengan mereka. [Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta`]

3. Pertanyaan : Apa hukum shalat Jum’at jika bertepatan dengan hari ‘Id, apakah wajib menegakkannya atas seluruh kaum muslimin, ataukah hanya wajib atas sekelompok tertentu saja? Karena sebagian orang berkeyakinan bahwa apabila hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at berarti tidak ada shalat shalat Jum’at.

Jawab : Tetap wajib atas imam dan khathib shalat Jum’at untuk menegakkan shalat Jum’at, hadir ke masjid, dan shalat berjama’ah mengimami orang-orang yang hadir di masjid. Karena dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan shalat Jum’at pada hari ‘Id, beliau ‘alahish shalatu was salam melaksanakan shalat ‘Id dan shalat Jum’at. Terkadang beliau dalam shalat ‘Id dan shalat Jum’at sama-sama membaca surat Sabbihisma dan surat Al-Ghasyiyah, sebagaimana dikatakan oleh shahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat yang shahih dari beliau dalam kitab Shahih (Muslim).

Namun bagi orang yang yang telah melaksanakan shalat ‘Id, boleh baginya untuk meninggalkan shalat Jum’at dan hanya melaksanakan shalat Zhuhur di rumahnya atau berjama’ah dengan beberapa orang saudaranya, apabila mereka semua telah melaksanakan shalat ‘Id.

Apabila dia melaksanakan shalat Jum’at berjama’ah maka itu afdhal (lebih utama) dan akmal (lebih sempurna). Namun apabila ia meninggalkan shalat Jum’at, karena ia telah melaksanakan shalat ‘Id, maka tidak mengapa, namun tetap wajib atasnya melaksanakan shalat Zhuhur, baik sendirian ataupun berjama’ah. Wallahu Waliyyut Taufiq.(Oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XII/341-342)

Dalam fatwanya yang lain, ketika beliau mengingkari pendapat yang menyatakan bahwa jika ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at, maka bagi orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id gugur kewajiban shalat Jum’at dan shalat Zhuhur sekaligus, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan :
“Ini juga merupakan kesalahan yang sangat jelas. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan atas hamba-hamba-Nya shalat 5 waktu dalam sehari semalam, dan kaum muslimin telah berijma’ atas kewajiban tersebut. Yang kelima pada hari Jum’at adalah kewajiban shalat Jum’at. Hari ‘Id apabila bertepatan dengan hari Jum’at termasuk dalam kewajiban tersebut. Kalau seandainya kewajiban shalat Zhuhur gugur dari orang yang telah melaksanakan shalat ‘Id niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkan hal tersebut. Karena ini merupakan permasalahan yang tidak diketahui oleh umat. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan shalat Jum’at bagi orang yang sudah melaksanakan shalat ‘Id dan tidak menyebutkan gugurnya kewajiban shalat Zhuhur, maka diketahui bahwa kewajiban (shalat Zhuhur) tersebut masih tetap berlaku. Berdasarkan hukum asal dan dalil-dalil syar’i, serta ijma’ (kaum muslimin) atas kewajiban shalat 5 waktu dalam sehari semalam.

Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan shalat Jum’at pada (hari yang bertepatan dengan) hari ‘Id, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya dari shahabat An-Nu’man bin Basyir:


أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في صلاة الجمعة والعيد بسبح والغاشية، وربما اجتمعا في يوم فقرأ بهما فيهما


“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu membaca dalam shalat Jum’at dan shalat ‘Id surat Sabbihis dan surat Al-Ghasyiyah. Terkadang dua ‘Id tersebut bertemu/bertepatan dalam satu hari, maka beliau membaca dua surat tersebut dalam dua shalat (”Id dan Jum’at).”

Adapun apa yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Az-Zubair bahwa beliau melaksanakan shalat ‘Id kemudian tidak keluar lagi baik untuk shalat Jum’at maupun shalat Zhuhur, maka itu dibawa pada kemungkinan bahwa beliau memajukan shalat Jum’at, dan mencukupkan dengan itu dari mengerjakan shalat ‘Id dan shalat Zhuhur. Atau pada kemungkinan bahwa beliau berkeyakinan bahwa imam pada hari tersebut memiliki hukum yang sama dengan yang lainnya, yaitu tidak wajib keluar untuk melaksanakan shalat Jum’at, namun beliau tetap shalat Zhuhur di rumahnya. Kemungkinan mana pun yang benar, kalau pun taruhlah yang benar dari perbuatan beliau bahwa beliau berpendapat gugurnya kewajiban shalat Jum’at dan Zhuhur yang sudah shalat ‘Id maka keumuman dalil-dalil syar’i, prinsip-prinsip yang diikuti, dan ijma’ yang ada bahwa wajib shalat Zhuhur atas siapayang tidak shalat Jum’at dari kalangan para mukallaf, itu semua lebih dikedepankan daripada apa yang diamalkan oleh Ibnu Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu.(Oleh, Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah Majmu’, Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XXX/261-262)

4. Kenyataannya masalah ini terdapat perbedaan di kalangan ‘ulama rahimahumullah. Pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh As-Sunnah, bahwa..

Kita katakan, Apabila hari Jum’at bertepatan dengan ‘Id maka engkau wajib shalat ‘Id. Barangsiapa yang telah melaksanakan shalat ‘Id, maka bagi dia bebas memilih apakah dia mau hadir shalat Jum’at bersama imam, ataukah ia shalat Zhuhur di rumahnya.

Kedua, tetap wajib mengadakan shalat Jum’at di suatu negeri/daerah. Barangsiapa yang hadir maka dia shalat Jum’at, barangsiapa yang tidak hadir maka dia shalat Zhuhur di rumahnya.

Ketiga, pada hari itu shalat Zhuhur tidak dilaksanakan di masjid, karena yang wajib dilaksanakan adalah shalat Jum’at, sehingga tidak dilakukan shalat Zhuhur (di masjid). Inilah pendapat yang kuat, yang ditunjukkan oleh dalil-dalil As-Sunnah. (Oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb - Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)

[Sumber: http://www.assalafy.org]

Hukum Bila Hari Raya Bertepatan Dengan Hari Jum’at

30 Ramadhan 1431H.

Fatwa Lajnah Daimah berkaitan dengan hari raya apabila bertepatan dengan hari Jumat no: 21160 tanggal 8/11/1420 H.

Segala puji bagi Allah semata, Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi yang terakhir dan kepada keluarganya dan sahabatnya. Amma ba’du:

Telah banyak beredar pertanyaan berkaitan dengan apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat dimana telah bertemu dua hari raya: yaitu Idul Fitri atau Idul Adha dengan hari raya Jumat yang merupakan hari raya mingguan, maka apakah sholat Jumat wajib atas siapa yang telah menghadiri sholat Ied ataukah sholat Ied sudah cukup baginya sehingga dia hanya harus sholat Dzuhur sebagai gantinya, dan apakah wajib dikumandangkan azan untuk sholat dzuhur di masjid-masjid atau tidak? Dan beberapa pertanyaan lainnya, maka Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta berpendapat untuk mengeluarkan fatwa berikut:

Jawaban:

Dalam hal ini ada beberapa hadits yang marfu’ dan atsar yang mauquf diantaranya:

1-Hadits Zaid bin Arqam radliallahu anhu bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan radliallahu anhu bertanya kepadanya: Apakah kamu menyaksikan dua hari raya yang bertemu dalam satu hari? Dia menjawab: Ya, dia berkata: Bagaimana beliau melakukannya? Dia menjawab: (Beliau sholat Ied kemudian memberikan keringanan untuk sholat Jumat dengan bersabda: barangsiapa yang hendak sholat Jumat maka dia boleh sholat). Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasaie, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan dia berkata: (ini hadits yang shahih sanadnya namun tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dan ada penguatnya yang sesuai dengan syarat Muslim) dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, dan Imam Nawawi berkata dalam Al-Majmu’: (sanadnya baik).

2- Dan hadits penguat yang disebutkan diatas adalah hadits Abu Hurairah radliallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (telah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya, maka barangsiapa yang berkehendak tidak sholat Jumat maka sholat Ied sudah mencukupinya, namun kami menggabungkannya) hadits riwayat Al-Hakim sebagaimana diatas, dan diriwayatkan Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Al-Jarud, Al-Baihaqi, dan yang lainnya.

3- Hadits Ibnu Umar radliallahu anhu berkata: (telah berkumpul dua hari raya di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka beliau sholat dengan manusia kemudian bersabda: barangsiapa yang hendak mendatangi sholat Jumat maka dia boleh mendatanginya dan siapa yang tidak mendatanginya maka dia boleh meninggalkannya) Hadits riwayat Ibnu Majah, At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan lafal: (telah berkumpul dua hari raya dizaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: yaitu hari Idul Fitri dan Jumat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sholat Ied bersama mereka, kemudian beliau menghadap kepada mereka dan bersabda: wahai manusia sesungguhnya kalian telah mendapatkan kebaikan dan pahala dan kami akan menggabungkannya, maka barangsiapa yang hendak menggabungkan bersama kami maka hendaklah dia menggabungkan, dan barangsiapa yang hendak pulang kepada keluarganya maka dia boleh pulang).

4- Hadits Ibnu Abbas radliallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (telah berkumpul dua hari raya pada hari kalian ini maka barangsiapa yang hendak meninggalkan Jumat maka itu sudah mencukupinya namun kami menggabungkannya Insya Allah) Hadits riwayat Ibnu Majah, Al-Bushiri berkata: (sanadnya shahih dan para perawinya tsiqat).

5- Hadits mursal dari Dzakwan bin Shalih berkata: (telah berkumpul dua hari raya di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Jumat dan hari raya lalu beliau sholat kemudian bangun dan berkhutbah dihadapan manusia kemudia beiau berkata: sungguh kalian telah mendapatkan dzikir dan kebaikan namun kami tetap menggabungkannya, maka barangsiapa yang ingin duduk maka dia boleh duduk- yakni dirumahnya- dan siapa yang ingin menggabungkannya maka dia boleh menggabungkannya) hadits riwayat Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra.

6- Dan dari Atha bin Abi Rabah berkata: (Telah sholat bersama kami Ibnu Zubair hari raya pada hari Jumat pada awal siang kemudian kami datang untuk sholat Jumat namun beliau tidak keluar bersama kami, maka kamipun sholat sendiri, dan ketika itu Ibnu Abbas sedang berada di Thaif dan tatkala kami datang kami ceritakan hal itu kepada beliau, beliau berkata: dia telah menepati sunah) Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dengan lafal lain dengan tambahan di akhirnya: (Ibnu Zubair berkata: Aku melihat Umar bin Khathab apabila berkumpul dua hari raya beliau melakukan seperti itu).

7- Dan dalam Shahih Al-Bukhari rahimahullah dan Muwatha Imam Malik rahimahullah dari Abu Ubaid bekas hamba sahaya Ibnu Azhar berkata Abu Ubaid: (aku telah menyaksikan dua hari raya bersama Utsman bin Affan, saat itu hari Jumat, maka beliau sholat sebelum khutbah kemudia berkhutbah, lalu berkata: wahai manusia sesungguhnya ini adalah hari yang berkumpul padanya dua hari raya, maka barangsiapa yang ingin menunggu sholat Jumat dari penduduk desa-desa maka dia boleh menunggunya, dan siapa yang ingin kembali maka aku telah mengizinkannya).

8- Dari Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu berkata ketika berkumpul dua hari raya dalam satu hari: (barangsiapa yang ingin menggabungkan maka dia boleh menggabungkan, dan siapa yang ingin duduk (dirumah) maka dia boleh duduk) Sufyan berkata: (yakni duduk dirumahnya) Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Al-Mushannaf dan oleh Ibnu Abi Syaibah.

Kesimpulan:

Berdasarkan hadits-hadits yang marfu’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini dan atsar-atsar yang mauquf dari sejumlah sahabat radhiallahu anhum dan berdasarkan ketetapan jumhur ulama, maka Lajnah Daimah menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai berikut:

1- Barangsiapa yang telah menghadiri sholat Ied maka diberikan keringanan untuk tidak menghadiri sholat Jumat, dan dia cukup sholat Dzuhur di waktu Dzuhur, dan jika dia mengambil keazaman dengan sholat Jumat bersama manusia maka itu lebih utama.

2- Barangsiapa yang tidak menghadiri sholat Ied maka dia tidak mendapatkan keringanan ini, oleh itu tidak gugur kewajiban Jumat atasnya, maka dia wajib untuk menghadiri sholat Jumat, dan jika tidak cukup jumlah jamaah untuk sholat Jumat maka dia cukup sholat Dzuhur.

3- Wajib atas imam masjid Jumat mengadakan sholat Jumat pada hari itu sehingga bisa dihadiri oleh siapa yang hendak menghadirinya juga oleh siapa yang tidak menyaksikan sholat Ied jika jumlah jamaah sholat Jumat mencukupi, jika tidak maka diadakan sholat Dzuhur.

4- Barangsiapa yang telah menghadiri sholat Ied dan mengambil keringanan tidak menghadiri sholat Jumat maka dia sholat Dzuhur setelah masuk waktu Dzuhur.

5- Tidak disyariatkan pada waktu ini adzan kecuali dimasjid-masjid yang ditegakkan didalamnya sholat Jumat, maka tidak disyariatkan adzan untuk sholat Dzuhur pada hari itu.

6- Pendapat yang mengatakan bahwa siapa yang menghadiri sholat Ied gugur atasnya sholat Jumat dan sholat Dzuhur pada hari itu adalah pendapat yang tidak benar, oleh karena itu para ulama meninggalkannya dan menghukuminya sebagai pendapat keliaru dan asing karena menyelisihi sunah dan menggugurkan satu kewajiban Allah tanpa dalil, barangkali yang berpendapat demikian belum sampai kepadanya sunah-sunah dan atsar-atsar dalam masalah itu yang meringankan bagi siapa yang menghadiri sholat Ied untuk tidak menghadiri sholat Jumat, dan bahwa dia wajib untuk melaksanakan sholat Dzuhur Wallahu A’lam.

Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta:

Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh.
Anggota: Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadayan.
Anggota: Bakr bin Abdullah Abu Zaid.
Anggota: Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

PAS kecam Mahathir tuduh jual agama

30 Ramadhan 1431H.
Harakahdaily

KUALA LUMPUR, 9 Sept: PAS mengecam Tun Dr Mahathir Mohamad yang menuduh parti itu menjual agama untuk kepentingan politik sedangkan hakikat yang berlaku Umno yang perkudakan Islam untuk mencapai cita-cita politik.

“Tun Mahathir melahirkan kemarahan kepada PAS kerana insya Allah PAS akan mengganti Umno sedikit masa lagi,” kata Ketua Penerangan PAS Pusat, Ustaz Idris Ahmad.

Katanya, Mahathir sedar generasi baru hari ini mual dengan Umno, dan telah menjadikan PAS pilihan mereka dalam perjuangan walaupun bapa mereka ‘berkarat biru’ macam bekas perdana menteri itu.

“Kenapa PAS menjadi pilihan mereka, tidak lain dan tidak bukan kerana dasar Islam yang menjadi teras perjuangan PAS yang sentiasa segar, berbanding dengan dasar Umno yang sudah lapuk dan berkulat,” ujarnya.

Menurutnya, mereka yang menyokong Umno termasuk anak-anak Mahathir adalah mereka yang hanya berkepentingan untuk memenuhi tembolok dan perut sahaja sementara perjuangan untuk membela agama dan bangsa memang jauh ke belakang.

Justeru, tegasnya PAS menyangkal tuduhan Mahathir yang menyamakan PAS bekerjasama dengan bukan Islam sama seperti Umno dalam Barisan Nasional.

“Untuk maklumat Tun, PAS bekerjasama dengan Pakatan Rakyat dalam bentuk tahalluf yang tidak menggadaikan prinsip Islam yang PAS bawa sejak ditubuhkan.

“Umno berkawan dengan orang bukan Islam sehingga menggadaikan prinsip Islam. Selama 53 tahun Umno dalam kerajaan BN gagal mempertahankan Islam, malah imej Islam semakin buruk pada pandangan orang bukan Islam, rakan-rakan dalam parti komponen,” jelasnya.

BN, katanya semakin keliru pemahaman Islam mereka walaupun mereka lihat setiap tahun musabaqah al-Quran diadakan di negara ini tetapi isteri pemimpin Umno daripada muda sampai tua tidak menutup aurat.

Tambahnya, kalau perkara yang kecil macam itu pun Umno gagal memahamkan rakan-rakan BN, apakah lagi perkara yang lebih besar.

PAS, ujarnya ingin menegaskan dalam kerjasama politik yang pernah dilalui oleh PAS sejak kerajaan campuran Barisan Nasional, Angkatan Perpaduan Ummah, Barisan Alternatif dan Pakatan Rakyat, semuanya mengangkat martabat Islam.

Kerjasama PAS dalam Pakatan Rakyat telah berlaku proses Islamisasi yang lebih baik walaupun usia tidak sampai 3 tahun berbanding dengan Umno yang berkuasa lebih 53 tahun.

Justeru, tambahnya PAS mengharapkan Tun Mahathir masih normal dalam membuat penilaian dan perbandingan kejayaan PAS berbanding dengan Umno.

“Apakah Tun Mahathir sakit hati apabila masjid di bawah kerajaan Pakatan Rakyat penuh dengan majlis ilmu sedangkan masjid di bawah kerajaan Umno sudah menjadi kubur?

“Bukankah masjid zaman Tun berkuasa dahulu masjid dibelenggu, ahli jawatankuasa yang aktif dipecat dan diganti dengan AJK yang bukan ahli masjid yang rendah moral dan akhlak?” soalnya.

Katanya, bekas perdana menteri itu bertindak kerana masjid telah menjadi medan penyebaran ilmu yang merugikan Umno terutama selepas keputusan pilihan raya umum 1999.

Katanya lagi, Tun Mahathir juga pertikai kenapa PAS menyokong orang bukan Islam masuk ke masjid dan surau.

Jelasnya, PAS berpendirian demikian bukan kerana PAS membelakangkan hukum agama di mana sebelum satu keputusan hendak dibuat, PAS merujuk pada hukum dahulu, bukan menyatakan secara membuta tuli sahaja.

Pendirian itu, katanya selari dengan keputusan Majlis Fatwa Kebangsaan yang bersidang pada 1 Mac 2010.

“Tun perlu jujur, apakah tidak ada wakil rakyat BN yang masuk ke masjid?

“ Apakah hukum menjadi halal kalau wakil rakyat bukan Islam daripada BN masuk ke masjid dan berubah menjadi haram kalau daripada DAP, feqah mana yang Tun rujuk?” tanya beliau.

Secara sinis, katanya memanglah ‘feqah Umno’ bukan sahaja orang bukan Islam daripada DAP tidak boleh masuk, malahan ustaz PAS seperti Datuk Dr Haron Din, almarhum Datuk Ishak Baharom, Datuk Ismail Kamus pun tidak boleh masuk ke masjid atau surau untuk memberi ilmu kerana mereka ‘ulamak politik’.

“Kalau ustaz Umno bercakap supaya sokong Umno itu tidak politik, kalau cakap sokong Islam, maka ini politik,” ujarnya lagi.

Mengenai Mahathir membangkitkan PAS sudah tidak mahu kepada hudud sejak berkawan dengan DAP, beliau mempersoalkan adakah sekarang bekas perdana menteri itu pula menyokong hudud.

Katanya, mungkin Mahathir sudah lupa surat amaran yang pernah beliau hantar kepada kerajaan Kelantan supaya jangan melaksanakan kanun jenayah syariah di negeri itu.

“Malahan menuduh ini hudud PAS, bila dicabar pula mana hudud Umno sampai hari ini tidak timbul-timbul. Bukankah sebagai seorang Islam semacam Tun yang sudah meningkat umur tidak sepatut berfikiran begitu,” ujarnya lagi.