Liza Wahyuninto
http://celaledinwah yu.blogspot. com/
Sudah hampir 6 abad atau tepatnya 576 tahun lalu, tanggal 16 Desember 1251, sosok yang mendirikan aliran Maulawiyah ini meninggalkan dunia dengan segala kefanaannya. Namun nama dan karya-karyanya selalu menjadi pembicaraan yang tidak pernah ada habisnya. Kekaguman akan puisi maupun gazalnya, menempatkan dirinya sejajar pada deretan nama-nama tokoh satra terkenal di dunia.
Maulana Jalaluddin Rumi, begitulah namanya. Putra dari Bahauddin Walad yang diramalkan oleh Fariduddin al-Attar kelak akan menjadi sang guru siritual bagi dunia di masa depan. Dan tidak salah ramalan sang penulis karya “Musyawarah Burung” tersebut, Rumi hingga kini masih digandrungi baik karya-karyanya maupun pemikirannya.
Sejak kecil Rumi sudah akrab dengan peperangan, dan begitu merindukan perdamaian dan kemerdekaan. Invansi besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Mongol pada wilayah Asia bagian selatan menuntut Rumi kecil dan keluarga berpindah-pindah hingga akhirnya menetap di dataran Konya, Turki. Kehadiran Rumi dan keluarga di Konya disambut hangat oleh masyarakat, sampai akhirnya sepeninggal ayahnya, ia diangkat oleh raja menjadi guru spiritual.
Ajaran Rumi begitu mudah diterima oleh masyarakat, hal ini juga tidak mengherankan karena sedari kecil Rumi memang sudah akrab dan berada di lingkungan para sufi (darwis). Akan tetapi, faktor pendukung kenapa Rumi begitu mudah ajarannya diterima oleh masyarakat yaitu dikarenakan pada masa itu peperangan terjadi di mana-mana hingga membuat kejiwaan manusia pada zamannya mengalami sebuah ketakutan yang luar biasa. Rumi kemudian mengenalkan ajarannya lewat tarian sama’ untuk mencapai suatu ekstase. Ekstase inilah yang kemudian menjadi sorotan utama masyarakat hingga melupakan ketakutan-ketakutan yang menimpa mereka. Meskipun ada faktor lain, namun yang begitu faktor inilah yang lebih mencolok.
Rumi, Karya dan Perdamian Dunia
Sebagaimana tokoh-tokoh sufi lainnya, Rumi begitu mencintai keteraturan dan perdamaian. Perluasan wilayah yang dilakukan oleh bangsa Mongol secara kejam, mengetuk hati Rumi untuk menuangkan beberapa pemikirannya mengenai perdamaian. Dalam karya-karyanya, Rumi tidak hanya berpuisi dalam hal ini, beberapa gazal-gazal yang diciptakannya juga menceritakan kekejaman bangsa Mongol. Bagi Rumi, karya-karyanya ini merupakan kritik terhadap Mongol. Dalam sejarah hidupnya, Rumi hanya tercatat sekali mengangkat senjata untuk melawan Mongol sebelum kemudian ia diangkat menjadi penasehat oleh raja Mongol.
Masa kecil Rumi sesungguhnya mengalami beberapa kali terjadi pertempuran yang penuh kekerasan. Selama awal abad tiga velas, kota-kota utama di bagian Timur Khurasan acapkali terjebak dalam pergantian kekuasaan yang kejam d antara anggota-anggota suku Ghurid, Khawarezmian, dan Qarakhanid. Rumi menggambarkan ketentraman sosial yang bersifat kebinatangan di bawah Khawarazmsyah. Dalam Diwan-I ia berkata, “Kata adalah anak panah, lidah adalah busur orang-orang Khawarazmsyah” . Keadaan yang suram ini kemudian diperburuk menjadi kehancuran total ketika bangsa Mongol mulai mengadakan penyerangan secara serius ke berbagai wilayah sekitar 1220.
Kehidupan Rumi di tengah peperangan dan penindasan ikut pula mempengaruhi karya-karyanya. Tidak jarang dalam karya-karyanya ia mengungkapkan ketidak sepakatannya dalam hal penindasam terhadap kaum lemah. Karya-karya Rumi yang terangkum dalam Matsnawi merupakan pemikiran cemerlangnya mengenai kehidupan manusia. Di dalam karyanya tersebut, ia bercerita sosial politik, kebudayaan, spiritual, pendidikan dan lain-lain. Karena luasnya pemikiran Rumi dalam karya-karyanya, bangsa Persia menyebutkan, ”jika ada kitab suci setelah al-Qur’an, maka kitab itu adalah Matsnawi”.
Sebagai guru spiritual yang menggantikan posisi ayahnya, Rumi begitu dekat dengan kerajaan. Tidak jarang raja meminta nasehat atau pertimbangannya dalam menentukan kebijakan yang diambil. Namun, meskipun demikian tidak membuat Rumi lupa daratan, ia sama sekali tidak tertarik pada jabatan. Rumi memang berbeda dengan al-Ghazali, ia (baca : Rumi) lebih dekat dengan harta dan ia menggunakannya untuk kegiatan spiritualnya, sedangkan al-Ghazali begitu menghindari harta karena takut akan kesyubhatannya. Perbedaan yang mencolok ini tidak berpengaruh pada ketokohannya, karena keduanya bergerak pada bidangnya masing-masing.
Ajaran Rumi mengenalkan tarian sama’ atau whirling darwisy (tarian darwis berputar) untuk mencapai ekstasenya. tarian inilah yang aliran yang diciptakan oleh Rumi dengan aliran tasawuf yang lain. lewat tarian sama’, Rumi memasukkan inti sari dari ajarannya, yaitu penyatuan diri dengan Tuhan.
Karya-karya Rumi pada era modern hingga hari ini masih menarik untuk dikaji oleh masyarakat dunia. Sebut saja Iqbal, Animarie Schimel, R. A. Nicholshon dan Wiliam C. Chitick, merekalah yang termasuk tokoh-tokoh yang mengenalkan Rumi pada dunia hingga masuk ke Indonesia lewat Kuswaidi Syafi’i, D. Zawawi Imron, Acep Zam Zam Noor, Emha Ainun Nadjib dan Mustofa Bisri. Ketertarikan mereka mengkaji Rumi kemudian mempengaruhi karya-karya mereka, hingga tidak jarang kita mendengar Kuswaidi Syafi’i dan penyair lainnya merupakan penyair sufistik.
Terlepas dari sebutan penyair sufistik, sebetulnya yang membuat ketertarikan mereka (baca : Kuswaidi Syafi’i dan kawan-kawan) akan Rumi dan karya-karyanya adalah ditemukan kedamaian, penyadaran diri, serta totalitas dalam menyerahkan diri sehingga perdamian begitu lekat dalam angan-angan mereka.
Akankah Rumi Terlahir Kembali?
Lalu, siapakah Rumi masa depan? Rumi masa depan yaitu mereka yang mampu menciptakan perdamaian di dunia. Bisa jadi bila di Eropa, M. Iqbal, J. Arberry, R.A. Nicholshon dan Animarie Schimel adalah pembaharunya. Dan di Indonesia, Rumi modern adalah Kuswaidi Syafi’i, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, Acep Zam Zam Noor, Mustofa Bisri, Hasyim Wahid dan Zainal Arifin Thoha (alm). Karena merekalah yang aktif dan terus mengamalkan pemikiran Rumi meskipun tidak masuk menjadi pengikut aliran yang didirikannya (Maulawiyah) .
Rumi masa depan juga bisa diartikan orang-orang yang mengusung perdamaian dan menolak adanya peperangan dan diskriminasi. Semangat zaman Rumi yang mengusung perdamaian adalah segalanya, dan melalui cinta dapat menuju pada ekstase spiritual perlu untuk kembali dimunculkan. Akan tetapi, hal yang terpenting adalah mencoba untuk membaca dan memaknai pemikiran Rumi yang tertuang dalam karya-karyanya. Karena disadari atau tidak, masih banyak hal-hal yang belum diungkap di balik kekuatan karya-karya Rumi.
Akhirnya, ”melahirkan” Rumi adalah dengan cara melakukan pembacaan dan pengkajian terhadap karya-karya monumentalnya. Karena bagi Rumi, ia akan terus hidup selamanya dan akan terus ber-reinkarnasi. Sebagaimana dalam ungkapannya, Aku terus dan terus tumbuh seperti rumput/Aku telah alami tujuh ratus dan tujuh puluh bentuk/Aku mati dari mineral dan menjadi sayur-sayuran/ Dan dari sayuran Aku mati dan menjadi binatang/Aku mati dari kebinatangan menjadi manusia/Maka mengapa takut hilang melalui kematian?/Kelak aku akan mati/Membawa sayap dan bulu seperti malaikat/Kemudian melambung lebih tinggi dari malaikat –/Apa yang tidak dapat kau bayangkan/Aku akan menjadi itu.
(Penilis ialah Direktur Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Malang)