29 Julai 2013

Pejuang Sahur

20 Ramadhan 1434 H. [MOD] -
Oleh: Jarjani Usman
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya. Dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku” (HR. Tirmidzi).

Jam menunjukkan angka 3.30 pagi. Suasana masih gelap gulita. Seorang wanita tua bangun, meskipun terasa berat oleh rasa kantuk. Baru beberapa jam ia merebahkan badannya, setelah shalat malam. Tak dibangunkan suami dan anak-anaknya.  
Dalam hatinya, biarlah meneruskan tidur hingga waktu mendekati akhir sahur.  Ke kamar mandi ia menuju untuk cuci muka, dan selanjutnya bergegas ke dapur. Beras segera ditanak. Sayuran dicincang, dicampur dengan bumbu, dan di masak.  Begitu makanan matang dan dihidangkan, barulah suami dan anak-anaknya dibangunkan untuk makan.  Begitulah kerja rutin kebanyakan kaum ibu, sehingga pantas disebut pejuang sahur. Sayangnya, tak semua suami menyadari atau mau menghargainya.

Disebut kurang atau tak dihargai, karena setelah dibangunkan, ada suami kadangkala marah-marah karena nasinya masih terlalu panas.  Atau jengkel karena makanan keasinan.  Ada juga yang mengomel karena kopi kesukaan lupa dibuatkan.  

Menghadapi hal tidak mengenakkan seperti ini, sebahagian wanita memilih diam.  Menanggapinya berarti memperpanjang masalah, yang selanjutnya kembali akan menyudut dirinya juga.  Sedangkan sang suami,

meskipun berbuat demikian, masih mengagung-agungkan diri sebagai pengikut setia Nabi Muhammad SAW.
Padahal kalau membuka sejarah kehidupan Nabi SAW, tidak pernah memperbudak isterinya.  Rasulullah sangat menghargai isterinya.  Tak membentaknya, meskipun kadangkala dijumpai tak ada makanan untuk dimakan di rumahnya.  Semoga kita mau mencontoh teladan darinya.

Tiada ulasan: