24 Ogos 2010

Refleksi Ramadhan : Umrah di Bulan Ramadhan

13 Ramadhan 1431 H
Oleh: Syaikh

RENUNGAN KE- 20

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ.

“Umrah ke umrah berikutnya dapat menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antara keduanya, dan haji mabrur, tidak ada balasannya selain surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits tersebut menunjukkan besarnya keutamaan umrah untuk setiap saatnya. Tetapi umrah di bulan Ramadhan memi-liki pahala yang berlipat ganda. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَا رَجَعَ مِنْ حَجَةِ الْوَدَاعِ قَالَ لِامْرَأَةٍ مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهَا أُمُّ سِنَانٍ مَا مَنَعَكِ أَنْ تَكُونِي حَجَجْتِ مَعَنَا قَالَتْ نَاضِحَانِ كَانَا لِأَبِي فُلَانٍ زَوْجِهَا حَجَّ هُوَ وَابْنُهُ عَلَى أَحَدِهِمَا وَكَانَ الْآخَرُ يَسْقِي عَلَيْهِ غُلَامُنَا قَالَ فَعُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي.

“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam ketika pulang dari haji wada’, beliau bertanya kepada seorang perempuan Ansar namanya Ummu Sinan, ‘Apa yang menghalangimu untuk haji bersamaku?’ Jawabnya, ‘Abu fulan (suaminya) dia punya dua ekor unta, yang satu ia jual untuk dana haji dia, dan yang satu lagi kami pergunakan untuk menyiram (tanaman).

’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam berkata kepadanya, ‘Apabila telah datang bulan Ramadhan maka lakukanlah umrah, karena umrah di bulan Rama-dhan menyamai haji, atau telah haji bersamaku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Alangkah bahagianya bila haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, wuquf bersama beliau, mabit di Muzdalifah bersamanya, pergi ke Mina, tawaf dan sa’i di sampingnya dan seterusnya.

Di samping kebahagiaan yang dirasakan di bulan yang suci ini dengan responnya kaum muslimin untuk menunaikan umrah, terlihat juga beberapa kekeliruan yang harus segera diluruskan, adalah sebagai berikut:

Apa yang terjadi pada sebagian karyawan, di mana mereka meminta libur karena ingin menunaikan umrah di bulan yang suci ini dengan dalih darurat, hal ini tidak boleh, karena libur untuk umrah tidak termasuk darurat, berbeda halnya karena sebab sakit, meninggal keluarganya, dan yang lainnya.

Tidak sedikit dewasa ini, orang-orang pergi umrah dengan wanita yang bukan mahramnya, seperti yang terjadi pada sebagian keluarga (Arab) yang pergi umrah dengan TKI atau TKW (Tenaga kerja Indonesia laki-laki atau perempuan) tanpa mahram; mereka datang dari negaranya tanpa mahram ditambah lagi dengan pergi umrah tanpa mahram, sudah barang tentu ini tidak boleh terjadi.

Imam Al-Bukhari dalam kitabnya, bab “Hajinya Kaum Wanita” menulis beberapa hadits di antaranya: Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ فَقَالَ اخْرُجْ مَعَهَا.

“Seorang perempuan tidak boleh bepergian kecuali bersama mahramnya, dan seorang laki-laki tidak boleh masuk ke ruangan perempuan kecuali ada mahramnya. Bertanya seorang laki-laki, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya saya ingin pergi mengikuti perang ini dan perang itu akan tetapi istri saya mau pergi haji?’ Rasulullah menjawab, ‘Pergilah bersama dia.’ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam menyuruh sahabat tersebut agar meninggalkan peperangan yang ia inginkan, kemudian menyertai istrinya untuk melaksanakan haji, hal tersebut karena sangat pentingnya pergi bersama mahram. Dan Imam Al-Bukhari dalam bab yang sama menulis hadits lain yaitu hadits Abu Sa’d Al-Khudri radhiallahu ‘anhu ia berkata,

أَرْبَعٌ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَعْجَبْنَنِي وَآنَقْنَنِي أَنْ لَا تُسَافِرَ امْرَأَةٌ مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ لَيْسَ مَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ. وَلَا صَوْمَ يَوْمَيْنِ: الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاتَيْنِ: بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ. وَلَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى.

“Ada empat perkara yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam yang membuat aku tercengang kagum yaitu: seorang perempuan tidak boleh bepergian sejauh perjalanan dua hari tanpa suami atau mahram, dan tidak boleh berpuasa pada dua hari Idul Fitri dan Idul Adha,

dan tidak boleh shalat pada dua waktu, setelah Ashar hingga terbenam matahari dan setelah Subuh hingga terbit matahari, dan tidak boleh bepergian selain kepada tiga masjid yaitu Masjidil Haram, masjidku (Masjid Nabawi) dan Masjidil Aqsa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Yang perlu digarisbawahi dalam hadits tersebut adalah sabdanya “Alla tusafiru imraatun masirata yaumain laisa ma’aha zaujuha au dzu mahramin.” (Seorang perempuan tidak boleh bepergian sejauh perjalanan dua hari tanpa suami atau mahram).

Dalam hadits Ibnu Abbas sebelumnya Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam melarangnya dengan mutlak (tidak dibatasi dengan waktu) karena itu setiap safar yang terdapat padanya rukhsah (keringanan hukum) maka tidak diperbolehkan seorang perempuan beper-gian kecuali bersama mahram.

Dengan demikian seorang laki-laki tidak diperbolehkan bepergian dengan seorang perempuan ajnabiyyah (bukan mah-ram) misalnya dengan anak paman, pembantu, tetangganya, dan yang lainnya.

Sebagian orang yang umrah dalam waktu yang sama mereka telah meninggalkan anak-anaknya sendirian tanpa ada yang mengawasi secara khusus, ada yang masih belajar, kanak-kanak, masa puber, hal ini sangat mengkhawatirkan,

terutama pada jaman sekarang ini, sementara orang tuanya senang-senang menikmati Ramadhan di Mekkah, cukuplah sseeorang itu berdosa karena menyia-nyiakan keluarganya.

Kadang-kadang terjadi juga pada sebagian keluarga muslim yang membawa keluarganya pergi ke Mekkah lalu sang ayah beri’tikaf di Masjidil Haram selama bulan Ramadhan atau kurang dari satu bulan, dia tinggalkan anak-anaknya laki-laki atau perempuan seorang diri tanpa ada yang mengawasi secara khusus,

maka akhirnya akhlak mereka bejat karena itu; salah satunya apa yang pernah saya lihat di suatu tempat, perempuan keluar rumah dengan tabarruj (berdandan ala Barat) dan sudah hilang rasa malunya, padahal sebagian mereka ada yang dari keluarga terhormat.

Memang benar, membawa anak ke Tanah Suci adalah sesuatu yang baik, ada unsur tarbiah bagi mereka, serta memperkenalkan mereka kepada keistimewaan waktu dan tempat, juga berlipat gandanya nilai-nilai kebaikan,

maka seandainya seseorang istiqamah dan mampu untuk merealisasikan tanggung jawab terhadap keluarganya maka hal tersebut sangat luar biasa, tetapi jika ia belum mampu maka ia lebih baik tinggal di rumah saja demi keselamatan anak dari kerusakan moral.

Apa yang terjadi pada sebagian imam masjid dan para da’i, tidak sedikit dari mereka meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke Mekkah dalam rangka umrah dan menikmati sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan,

jelas ini tidak baik karena mereka terikat dengan tugas dan jabatannya sebagai imam masjid dan da’i yang senantiasa ditunggu kehadirannya oleh umat, maka bagi mereka lebih baik tinggal bersama umatnya karena dengan itu akan memperoleh kemaslahatan dan kebaikan.

Jika mereka tetap harus pergi umrah, maka pergilah dengan sesingkat mungkin, karena jika masjid kosong dari kegiatan dan para da’i pun kurang, padahal momentumnya ada di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, itu sesuatu yang tidak baik, dengan demikian hendaklah mereka yang berambisi berbuat kebaikan melihat sesuatu dengan adil.

Tiada ulasan: