28 Ogos 2010

Wanita di Bawah Naungan Islam : Al-Iilaa

17 Ramadhan 1431H.
oleh : Said Abdul Aziz al-Jandul

Di antara tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya di masa jahiliyah (sebelum Islam) adalah apabila seorang suami telah tidak menyukai istrinya dan tidak suka pula kalau istri menikah lagi dengan lelaki lain (apabila ia cerai), maka ia bersumpah tidak akan mendekatinya selama-lamanya, sehingga istri menjadi hidup seorang diri, tidak berstatus janda dan tidak pula mempunyai suami. Perempuan biasa menanggung derita pelecehan pahit seperti itu hingga Islam datang dengan menghapus perbuatan pelecehan tersebut dengan menetapkan batas waktu iilaa’, yaitu hanya 4 bulan saja.

Ini merupakan jangka waktu yang cukup bagi suami untuk berinstrospeksi diri dan merenung akibat buruk perbuatannya dan tanggung jawabnya di hadapan Allah Subhaanahu Wata'ala. Dan Jika dengan ila’ itu ia bermaksud melecehkan tanpa ada sebab yang dilakukan oleh pihak istri, maka jangka waktu 4 bulan itu cukup bagi seorang istri untuk merenungkan dan mengambil keputusan jika suaminya telah bersumpah untuk menjauh darinya dan tidak akan mempergaulinya. Dan dengan berakhirnya jangka waktu ila’ yang telah ditetapkan itu, yaitu 4 bulan, maka harus ditentukan dua pilihan, yaitu: kembali bergaul dengan baik sebagaimana layaknya suami-istri, atau cerai (talak). Demikian Allah menegaskan:

لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Jika mereka bertetap hati untuk talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 226-227).

Itu berati bahwa jangka waktu ila’ adalah hanya empat bulan saja. Apabila empat bulan ini berlalu dan suami belum kembali untuk mempergauli istrinya, maka ia harus men-talak-nya. Jika ia tidak mau melakukannya, maka hakim mentalak-kannya. Namun, rujuk atau kembali kepada istri dengan menggaulinya itu lebih baik daripada mentalaknya, karena cerai dapat menimbulkan berbagai hal yang negatif, yang paling mencolok di antaranya adalah tercerai-berainya keluarga dan anak-anak menjadi terlantar serta kehilangan rasa cinta dan kasih sayang yang pernah terjadi di antara keduanya. Oleh karena itulah Allah memberikan pahala rujuk berupa ampunan dan rahmat-Nya, sebagaimana Dia firmankan, “Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Tiada ulasan: