24 Julai 2009

Riwayat Isra'iliyat

Oleh : Sirajuddin Abbas

Orang Yahudi mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Taurat dan orang Nasrani pun mempunyai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari Injil. Cukup banyak orang Yahudi dan Nasrani bernaung di bawah panji-panji Islam sejak Islam lahir, sedang mereka tetap memelihara baik pengetahuan keagamaannya itu.

Sementara itu Qur'an banyak mencakup hal-hal yang terdapat dalam Taurat dan Injil, khususnya yang berhubungan dengan kisah para Nabi dan berita umat terdahulu.

Namun dalam Qur'an kisah-kisah itu hanya dikemukakan secara singkat dengan menitikberatkan pada aspek-aspek nasihat dan pelajaran, tidak mengungkapkannya secara rinci dan mendetail seperti titimangsa peristiwa, nama-nama negeri dan nama-nama peribadi. Sedang Taurat dan injil mengemukakannya secara panjang lebar dengan menjelaskan rincian dan bagian-bagiannya.

Ketika Ahli Kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagamaan mereka berupa cerita dan kisah-kisah keagamaan. Dan di saat membaca kisah-kisah dalam Qur'an terkadang mereka paparkan rincian kisah itu yang terdapat dalam Kitab-kitab mereka. Para sahabat menaruh perhatian terhadap kisah-kisah yang mereka bawakan, sesuai pesan Rasulullah:

"Janganlah kamu membenarkan (keterangan) Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya, tetapi katakanlah, "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami..." (Hadis Bukhari).

Lebih jauh, terkadang terjadi dialog antara mereka dengan Ahli Kitab mengenai sesuatu rincian kisah-kisah tersebut. Dan para sahabat menerima sebagian rincian itu selama tidak berhubungan dengan akidah dan tidak pula berkaitan dengan hukum. Kemudian mereka menceritakannya pula karena pada hemat mereka hal tersebut diperkenankan berdasarkan sabda Rasulullah:

"Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil karena yang demikian tidak dilarang. Tetapi barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka!" (Hadis Bukhari)

Maksudnya, ceritakanlah dari Bani Israil sesuatu yang tidak kamu ketahui kedustaannya. Sedang pengertian hadis pertama, "Janganlah kamu membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakannya. ..," diterapkan pada hal-hal yang diceritakan mereka itu mungkin benar dan mungkin pula dusta. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara kedua hadis tersebut.

Berita-berita yang diceritakan Ahli Kitab yang masuk Islam itulah yang dinamakan Isra'iliyat, mengingat bahwa yang paling dominan adalah pihak Yahudi (Bani Israil), bukan pihak Nasrani. Sebab penukilan orang Yahudi lebih banyak jumlahnya karena percampuran mereka dengan kamum Muslimin telah dimulai semenjak kelahiran Islam di samping hijrah pun ke Medinah (tempat di mana orang yahudi banyak menetap).

Sebenarnya para sahabat tidak mengambil dari Ahli Kitab berita-berita yang terperinci untuk menafsirkan Qur'an kecuali dalam jumlah sangat sedikit. Akan tetapi ketika tiba masa tabi'in dan banyak pula Ahli Kitab memeluk Islam, maka tabi'in banyak mengambil berita-berita dari mereka. kemudian perhatian dan fokus para mufasir sesudah tabi'in terhadap Isra'iliyat semakin besar. Mengenai ini Ibn Khaldun menggambarkan sebagai berikut: "Apabila mereka ingin mengetahui sesuatu yang dirindukan jiwa manusia, iaitu mengenai hukum kausalitas kosmos, permulaan makhluk dan misteri alam wujud, mereka menanyakannya kepada Ahli Kitab sebelum mereka; orang Yahudi penganut Kitab Taurat dan orang Nasrani yang mengikuti agama mereka.... Dengan demikian, kitab tafsir penuh dengan nukilan-nukilan dari mereka..." (Lihat at-Tafsir wal Mufassirun, jilid 1, halaman 177)

Para mufassir tidak mengoreksi lebih dahulu kutipan cerita-cerita Isra'iliyat yang mereka ambil, pada hal di antaranya terdapat yang tidak benar dan batil. Karena itu, orang yang membaca kitab-kitab tafsir mereka hendaknya meninggalkan apa yang tidak berguna serta tidak mengutip kembali kecuali hal-hal yang memang sangat diperlukan dan telah terbukti kesahihan penukilan dan kebenaran beritanya.

Cerita Isra'iliyat inin sebagian besar diriwayatkan dari empat orang:
- Abdullah bin Salam
- Ka'bul Ahbar
- Wahb bin Munabbih
- Abdul Malik bin Abdul 'Aziz bin Juraij

Para ulama berbeda pendapat dalam mengakui dan mempercayai Ahli Kitab tersebut; ada yang mencela (mencacatkan, menolak) dan ada pula yang mempercayai (menerima). Perbedaan pendapat paling besar ialah mengenai Ka'bul Ahbar. Sedang Abdullah bin Salam adalah orang yang paling pandai dan paling tinggi kedudukannya. Karena itu Bukhari dan ahli hadis lainnya memeganginya, mempercayainya. Di samping itu, kepadanya tidak dituduhkan hal-hal buruk seperti yang dituduhkan kepada Ka'bul Ahbar dan Wahb bin Munabbih.


tulisan: Manna' Khalil al-Qattan

Tiada ulasan: