16 September 2009

Perkembangan Ilmu Hadis

Email Oleh : Zamri keciks

Oleh. Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

(Guru Besar Ilmu Hadis IIQ Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta)

Hampir semua kajian keislaman sentral yang ada saat ini, embrionya telah ada pada masa Nabi Muhammad saw. Karenanya, dalam sudut pandang ini secara praktis ilmu Hadis sesungguhnya sudah dikenal semenjak Nabi masih hidup. Tentu saja cakupan kajiannya masih sangat terbatas, karena semua kesulitan yang dihadapi para sahabat dengan mudah dapat berpulang langsung kepada Nabi untuk dilakukan klarifikasinya.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu Hadis mempunyai obyek sentral dalam pengkajiannya. Ilmu yang populer dengan sebutan ilmu musthalah Hadis ini memfokuskan pusat kajiannya pada penelitian otentisitas suatu Hadis. Meski masih sangat terbatas dan belum terdapat acuan metodologinya, peristiwa pengecekan otentisitas Hadis sesungguhnya telah pernah terjadi pada masa Nabi.

Suatu malam, misalnya, Umar bin al-Khattab memperoleh informasi bahwa Nabi saw telah menceraikan isteri-isterinya. Tentu saja Umar kaget mendengar berita itu. Kekagetan Umar bukan lantaran salah seorang dari isteri Nabi itu adalah puterinya sendiri, Hafshah. Kekagetan itu lebih disebabkan karena Umar merasa ada yang janggal dalam berita itu. Menurutnya, mungkinkah Nabi melakukan itu? Benar saja, berita itu ternyata hanya isapan jempol belaka. Karena keesokan harinya ia mendapatkan kepastian bahwa berita itu tidak benar adanya, dengan mengklarifikasikan hal itu langsung kepada Nabi.

Kejadian ini memperlihatkan betapa otentisitas suatu berita dari Nabi dapat dengan mudah dikonfirmasikan langsung kepada Nabi, sehingga dapat diketahui apakah berita itu valid atau justru sebaliknya. Tentu saja akan berbeda ceritanya ketika Nabi telah wafat. Penelitian lebih khusus terhadap pembawa berita atau periwayat Hadis yang datang dari Nabi harus dilakukan. Rentang yang cukup jauh dengan sumber beritanya, yaitu Nabi itu sendiri, menyebabkan segala kemungkinan dapat saja terjadi.

Sepeninggal Nabi, kita menemukan suasana menarik terkait dengan penyebaran Hadis. Pada masa itu, sebagian sahabat dan pembesar tabi’in harus melakukan perjalanan ke beberapa kota untuk hanya memperoleh satu Hadis saja. Metode pembukuan Hadis yang belum juga populer dan penyebaran Hadis masih tetap dilakukan melalui medium oral menyebabkan hal ini harus terjadi.

Ada beberapa penyebab yang menyebabkan tidak populernya pembukuan Hadis-hadis itu ke dalam suatu kitab, antara lain, (1) umumnya Hadis-hadis yang berada dalam memori hafalan para ulama yang menyandang gelar âdil (berkarakteristik moral baik) dan tsiqah (terpercaya) dianggap masih otentik tanpa perubahan; (2) faktor-faktor pendukung untuk upaya pembukuan belum terasa diperlukan; dan (3) adanya larangan menuliskan (baca: pembukuan) apapun selain al-Qur’an.

Meski demikian, kritik Hadis sebagai upaya untuk mencari suatu Hadis yang benar-benar otentik berasal dari Nabi, pada masa-masa itu sudah mulai banyak dilakukan dan lebih digalakkan. Kritik Hadis bahkan dirasa lebih diperlukan kala itu, karena Nabi tidak lagi berada di tengah-tengah mereka. Karenanya, apapun yang disandarkan pada Nabi harus diteliti, sejauh mana hal itu benar-benar otentik berasal dari Nabi.

Lebih-lebih, seperti dituturkan Muhammad bin Sirin (w. 110 H), setelah terjadi al-fitnah al-kubra al-ula (perpecahan pertama dalam tubuh umat Islam menyusul wafatnya Usman bin Affan, 36 H). Ketika itu, setiap ada suatu Hadis disampaikan, pasti akan ditanyakan dari siapakah Hadis itu diperoleh? Apabila Hadis itu diperoleh dari penyebar bid’ah, maka Hadis itu akan tegas-tegas ditolak. Sebaliknya, jika Hadis itu diterima dari kalangan Ahlus-Sunnah, Hadis itu akan diterima untuk dijadikan hujjah (dasar hukum).

Setelah kurun seratus tahun Hijriah pertama, periwayat-periwayat Hadis didominasi oleh perawi sahabat dan tabi’in senior (al-tabi’i al-kabir), yang tentu saja masih dapat diandalkan ketsiqahanya. Mereka juga dikenal ketat dalam menerima dan menyampaikan periwayatan. Sekiranya ada kesalahan, tentu hanya kesalahan yang sangat kecil sekali. Kesalahan-kesalahan kecil itu rupanya juga menarik sejawat mereka sebagai sesama periwat Hadis untuk memberikan catatan kritis terhadap Hadis dimaksud. Kalangan sahabat yang dikenal sebagai kritikus terhadap kevalidan suatu Hadis kala itu, antara lain, Ibnu Abbas, Ubadah bin Shamit, Anas bin Malik, dan Aisyah. Sedang dari kalangan tabi’in, sebut misalnya, al-Sya’bi, Ibn al-Musayyab, Ibnu Sirin, dan yang lainnya.

Jika pada masa ini, kritik hanya berpusat pada satu dua orang yang memang bermasalah, karena saat itu masih sedikit sekali bisa ditemui perawi-perawi dhai’f (al-dhu’afa’). Berbeda dengan pada awal-awal seratus tahun kedua, masa tabi’in-tabi’in pertengahan (awasith al-tabi’in), di mana banyak ditemukan perawi yang meriwayatkan Hadis mursal, Hadis munqathi’, dan perawi yang sering melakukan kesalahan.

Pada masa tabi’in-tabi’in yunior (shighar al-tabi’in), permasalahan justru semakin komplek. Munculnya faksi-faksi politik, aliran-aliran keagaman, fanatisme, persinggungan dengan budaya-budaya non Arab, dan banyaknya orang-orang yang berdusta demi kepentingan golongannya, menyebabkan semakin meruyaknya Hadis-hadis yang diidentifikasi sebagai bukan berasal dari Nabi. Hal ini mendorong para ulama yang ahli dalam jarh dan ta’dil untuk memperluas obyek kajian, melakukan ijtihad dalam meneliti para periwayat Hadis, dan kritik terhadap sanad-sanad yang berkembang di masyarakat. Tampil di garda depan dalam memimpin gerakan ini, antara lain, Syu’bah, Malik, Hisyam, Ma’mar, Dastawa’i, Ibn al-Mubarak, Ibnu Uyainah, Yahya bin Sa’id al-Qattan. Sedang pada seratus tahun ketiga, gerakan ini didominasi oleh angkatan Ahmad bin Hanbal beserta murid-muridnya, al-Bukhari, Muslim, Abu Zur’ah, Abu Hatim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i.


Perkembangan Ilmu Hadis Pada Masa Al-Syafi’i

Ilmu Hadis mengalami perkembangan yang sangat luar biasa pada awal-awal abad ke-3 Hijriah. Sayangnya, perkembangan itu masih berkutat pada upaya untuk mengetahui Hadis yang bisa diterima (al-maqbul) dan Hadis yang tertolak (al-mardud). Karenanya, pembahasan seputar periwayat (al-rawi) dan Hadis yang diriwayatkan (al-marwi) selalu diacu berdasarkan sudut pandang itu. Perkembangan ini berupa pembukuan, yang sesungguhnya tidak lepas dari perkembangan yang terjadi pada pembukuan matan Hadis, yang merupakan proyek Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Pada masa ini ditemukan beberapa karya yang memberikan penilaian terhadap suatu Hadis, komentar seputar cacat dalam Hadis (illat), dan kritik terhadap beberapa periwayat Hadis. Dalam karya-karya itu juga diapresiasi mengenai beberapa komentar ulama mengenai isnad (sistem transmisi), inovasi-inovasi ulama terkait dengan permasalahan matan dan sanad, mengumpulkan kembali diskusi dan perdebatan yang berlangsung di kalangan ulama.

Ketika terjadi perkembangan seputar karakteristik dan moralitas para periwayat Hadis yang berhubungan langsung dengan permasalahan jarh dan ta’dil, pembahasan menjadi semakin meluas yang berujung pada pemilihan antara Hadis yang “sehat” (shahih) dan yang “sakit” (saqim).

Banyak sekali karya-karya yang ditulis mengenai beberapa obyek kajian dalam ilmu Hadis. Mengenai kondisi isnad dan periwayat-periwayat Hadis (rijal), misalnya, ditulis beberapa karya mengenai sejarah rawi, peringkat rawi (al-thabaqat) , tanggal wafat rawi (al-wafayat) , mengenal periwayatan tunggal, mengenal periwayatan rawi senior dari rawi yunior, dan kelompok rawi-rawi mudallis yang rajin berdusta. Sedang mengenai kondisi suatu Hadis, telah ditulis beberapa karya mengenai cacat dalam Hadis, ungkapan-ungkapan peringkatan Hadis yang diterima dan yang tertolak, dan interpretasi mengenai istilah-istilah teknis jarh dan ta’dil yang disampaikan para ahli Hadis. Bahkan jumlah obyek kajian yang merupakan cabang dari disiplin ilmu Hadis ini cukup fantastis. Menurut Ibn al-Mulaqqin, jumlahnya mencapai lebih dari dua ratus obyek kajian.

Sayangnya, tidak ada satu kitab pun yang membahas secara menyeluruh dan komprehensif terhadap obyek-obyek kajian ilmu Hadis yang ada. Hampir seluruh karya yang ditulis masa itu, hanya menyoroti satu obyek kajian saja, atau kalau tidak kitab itu akan bercampur dengan pembahasan dalam disiplin ilmu yang lain. Di antara karya-karya yang ada saat itu, karya al-Syafi’i, al-Risalah, diklaim sebagai karya paling otentik dalam ilmu Hadis. Klaim ini disampaikan oleh Ahmad Syakir, editor kitab al-Risalah, yang menyatakan bahwa kitab al-Risalah merupakan kitab pertama yang ditulis dalam disiplin ilmu Hadis.

Meski klaim ini banyak menuai kritik dari para ahli, karena nyatanya buku ini tidak tertulis sebagai suatu kitab yang memuat disiplin ilmu yang terpisah dan mandiri, namun sesungguhnya klaim itu cukup mendasar, bila dilihat dari keotentikan buku al-Syafi’i itu sebagai buku pertama yang mengulas ilmu Hadis sebagai sebuah disiplin ilmu. Dan kitab al-Syafi’i tersebut walaupun membahas sebagian kecil tentang ilmu Hadis dan pembahasannya bercampur dengan pembahasan ilmu ushul fikih, namun karya ini memang memberi warna baru dalam kancah ilmu Hadis konvensional yang saat itu masih disampaikan secara oral.

Selain al-Risalah, karya al-Syafi’i lainnya yang juga memberikan perhatian terhadap ilmu Hadis adalah kitab al-Umm. Tak beda dengan al-Risalah, kitab al-Umm juga bercampur kajiannya dengan disiplin lainnya, seperti ilmu fikih dan ushul fikih. Ciri lain yang juga terdapat dalam kedua karya ini adalah bahwa ilmu Hadis baru dibahas sebatas kesesuaian dan keterkaitan antara ilmu Hadis dengan ilmu lain yang kebetulan dikaji secara bersamaan dalam kedua kitab itu. Dalam kitab al-Risalah, misalnya, kita hanya mendapati pembahasan kecil tentang pengertian Hadis secara umum dan secuil pembahasan tentang Hadis ahad. Lain itu, kita akan mendapati banyak pembahasan seputar permasalahan- permasalahan dalam ilmu ushul fikih.

Dari pemotretan di atas, secara umum yang menjadi ciri khas kajian ilmu Hadis pada abad-abad awal, khususnya masa al-Syafi’i, (1) ilmu Hadis dijadikan sebagai alat untuk memilah antara Hadis yang shahih dengan yang saqim; (2) ilmu Hadis merupakan alat Bantu dalam memahami Hadis; dan (3) menkanter serangan yang dilancarkan kalangan munkir al-sunnah, meskipun pada masa-masa ini belum cukup populer.


Pembukuan Ilmu Hadis

Pada perkembangan selanjutnya, masing-masing disiplin ilmu telah terpisah dan mandiri dari disiplin-disiplin ilmu lainnya. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-4 Hijriah. Ilmu Hadis telah menjadi suatu disiplin ilmu yang mapan. Perkembangan ini terjadi akibat semakin marak lahirnya disiplin-disiplin ilmu baru dan persinggungan budaya dengan bangsa lain yang kian mendorong upaya pembukuan masing-masing disiplin ilmu itu sendiri.

Dalam disiplin ilmu Hadis, perkembangan ini ditandai dengan lahirnya karya al-Qadli Abu Muhammad bin al-Hasan bin Abd al-Rahman bin Khalan bin al-Ramahurmuzi (w. 360 H), Al-Muhaddis al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i, yang memuat beberapa cabang penting dari ilmu Hadis. Namun upayanya itu belum maksimal, karena masih banyak cabang penting lainnya dalam ilmu Hadis yang belum diapresiasi dalam karya itu. Meski demikian, al-Ramahurmuzi diakui sebagai orang pertama yang menyusun kitab ilmu Hadis dengan ketercakupan pembahasan yang cukup memadai. Dan karyanya itu memang sebuah terobosan baru dalam duni ilmu Hadis dan paling menonjol di antara karya-karya yang ada pada masanya.

Datang setelah al-Ramahurmuzi adalah al-Hakim Abu Abd Allah al-Naisaburi (w. 405 H). Ia melanjutkan babat alas yang dirintis oleh al-Ramahurmuzi dengan menuliskan karyanya yang diberinya judul Ma’rifat Ulumul al-Hadis, yang berupaya melengkapi kajian yang terlupakan al-Ramahurmuzi. Namun, seperti dituturkan al-Suyuti dalam Tadrib al-Rawi, kitab al-Hakim itu tidak teratur dan belum sistematis. Ibnu Hajar juga menyampaikan penilaian yang serupa terhadap karya ini. Bahkan oleh Ibnu Hajar karya ini masih dianggap belum lengkap. Padahal kitab ini telah memuat 50 cabang dalam ilmu Hadis. Belakangan kitab ini dirangkum oleh Thahir al-Jaza’iri (w. 1338 H) dengan judul Taujih al-Nadzar.

Kitab al-Hakim ini juga menarik perhatian Ahmad bin Abd Allah al-Ashfahani (w. 430 H), yang kemudian menulis kitab yang diberinya judul Al-Mustakhraj ala Ma’rifat Ulum al-Hadis. Kitab ini juga masih menyisakan banyak pembahasan bagi orang setelahnya untuk membuat karya yang lebih lengkap dan sempurna.

Beberapa tahun setelah itu, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) menulis beberapa kitab yang mempunyai andil besar dalam laju perkembangan ilmu Hadis, sehingga, menurut Ibnu Nuqthat, mereka yang hidup setelah al-Khatib mutlak memerlukan karya-karya al-Khatib sebagai rujukan. Karena ketercakupan pembahasanya yang dilakukan secara luas dan mendalam. Dari karya-karya al-Khatib itu ada beberapa yang memang ditulis secara tersendiri dalam satu kitab khusus yang mencapai sekitar 50-an kitab. Sebagian yang lain ditulis dalam pembahasan yang utuh, sebut saja misalnya Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah dan Al-Jami’ baina Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.

Kemudian al-Qadli Iyadh al-Yahshubi (w. 544 H) juga melakukan hal yang sama. Ia menulis kitab dengan nama Al-Imla’ fi Dhabth al-Riwayah wa Taqyid al-Sama’. Menyusul berikutnya Abu Hafsh Umar bin Abd al-Majid al-Miyanji (w. 580 H). Ia menulis satu juz yang membahas cukup baik pembahasan-pembahas an ilmu Hadis dalam kitab yang diberinya judul Ma La Yasa’ al-Muhaddis Jahluhu.


Gaung Bernama Muqaddimah Ibn al-Shalah

Pola kajian Hadis yang ada mulai al-Ramahurzi sampai al-Miyanzi tampaknya tak jauh berbeda dengan perkembangan yang terjadi pada masa-masa awal. Dalam bahasa yang sederhana dapat digambarkan bahwa grafiknya masih datar, tidak ada peningkatan juga tidak terjadi penurunan. Sorotan kajiannya masih berkutat pada bagaimana memahami suatu Hadis, memilah mana Hadis yang shahih dan mana yang saqim, dan mulai ada sedikit perbincangan mengenai munkir al-sunnah.

Perkembangan kajian ilmu Hadis mencapai puncaknya ketika Abu Amr Usman bin Abd al-Rahman al-Syahrazuri. Nama yang terakhir disebut ini lebih populer dengan nama Ibnu Shalah (w. 643 H) yang menulis karya ilmiah sangat monumental dan fenomenal, berjudul Ulum al-Hadis, yang kemudian kondang dengan sebutan Muqaddimah Ibn al-Shalah. Kitab ini merupakan upaya yang sangat maksimal dalam melengkapi kelemahan di sana-sini karya-karya sebelumnya, seperti karya-karya al-Khatib dan ulama lainnya. Dalam kitabnya itu, ia menyebutkan secara lengkap 65 cabang ilmu Hadis dan menuangkan segala sesuatunya dengan detail. Mungkin ini pula yang menyebabkan kitab ini tidak cukup sistematis sesuai dengan judul babnya.

Secara metodologis juga materi pembahasan, karya-karya yang muncul belakangan tidak bisa melepaskan diri untuk selalu mengacu pada kitab ini. Popularitas kitab ini disebabkan karena ketercakupan bahasannya yang mampu mengapresiasi semua pembahasan ilmu Hadis. Bahkan keunggulan kitab ini telah menarik para ulama, khususnya yang datang sesudahnya, untuk memberikan komentar kitab tersebut. Tidak kurang dari 33 kitab telah membahas kitab Ibnu al-Shalah itu, baik berupa ikhtishar (ringkasan), syarh (ulasan), nazhm (puisi, syair), dan mu’radhah (perbandingan) .

Dalam bentuk ulasan (syarh), muncul beberapa kitab yang sangat detail memberikan ulasannya. Misalnya Al-Taqyid wa al-Idhah lima Athlaqa wa Aghlaqa min Kitab Ibn al-Shalah karya al-Iraqi (w. 608 H), Al-Ifshah an Nuqat Ibn al-Shalah karya al-Asqalani (w. 852 H), dan karya al-Badar al-Zarkasyi (w. 794 H) yang belum diketahui judulnya. Sedang dalam bentuk ringkasan (ikhtisar), antara lain memunculkan kitab Mahasin al-Ishthilah wa Tadlmin Kitab Ibn al-Shalah karya al-Bulqini. Kitab ini meski berupa ringkasan, namun banyak memberikan ulasan penting, catatan, dan beberapa penjelasan tambahan.

Masih dalam bentuk ringkasan, muncul kitab Al-Irsyad yang kemudian diringkas lagi oleh penulisnya sendiri, Imam al-Nawawi (w. 676 H), dengan judul Al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir wa al-Nadzir. Anehnya, kitab yang merupakan ringkasan dari kitab-kitab sebelumnya, kemudian diberikan syarh oleh al-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab yang diberinya judul Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Al-Suyuti juga menulis kitab Al-Tadznib fi al-Zaid ala al-Taqrib yang menambal di sana-sini kekurangan kitab al-Nawawi.

Ringkasan terhadap karya Ibn al-Shalah terus saja dilakukan para ahli Hadis. Badr al-Din Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah al-Kannani (w. 733 H), misalnya, menulis kitab Al-Minhal al-Rawi fi al-Hadis al-Nabawi, yang kemudian diberikan syarh oleh Izz al-Din Muhammad bin Abi Bakar bin Jama’ah dengan judul Al-Manhaj al-Sawi fi Syarh al-Minhal al-Rawi. Abu al-Fida’ Imad al-Din Ismail bin Katsir (w. 774 H) juga tidak ketinggalan. Ia menulis ikhtisar terhadap karya Ibn al-Shalah itu ke dalam satu kitab yang diberinya judul Al-Ba’is al-Hasis. Upaya serupa juga dilakukan oleh Ala’ al-Din al-Mardini, Baha’ al-Din al-Andalusi, dan beberapa ualama lainnya.

Selain dalam bentuk syarh dan ikhtisar, karya Ibn al-Shalah ini juga mendorong para ulama untuk menuliskan bait-bait syair yang berisi kaidah-kaidah pokok ilmu Hadis sesuai yang tercantum dalam kitab Muqaddimah Ibn al-Shalah. Upaya ini dikenal dengan nama nazham yang untuk pertama kalinya dilakukan oleh al-Zain al-Iraqi Abd al-Rahim bin al-Husain (806 H). Bahkan ia menulis hingga seribu-an (alfiyah) bait-bait itu dalam Nazhm al-Durar fi Ilm al-Atsar yang lebih mashur dengan julukan Alfiyah al-Iraqi.

Entah mengapa al-Iraqi kemudian juga memberikan syarh terhadap bait-baitnya sendiri. Ada dua syarh yang ditulis oleh al-Iraqi. Syarh yang ringkas dan yang panjang lebar. Syarh yang ringkas diberinya judul Fath al-Mughis bi Syarh Alfiyah al-Hadis, sedang yang panjang belum diketahui judulnya. Di samping itu, bait-bait yang diciptakan al-Iraqi itu juga memacu para ulama untuk memberikan syarh terhadap syair gubahan al-Iraqi itu. Ada banyak ahli Hadis yang menulis sebuah karya khusus mengomentari bait-bait itu, seakan tak henti-hentinya menguras energi ide para ulama. Di antara sekian banyak karya itu, karya al-Sakhawi yang diberi judul sama dengan syarh yang ditulis al-Iraqi, Fath al-Mughis fi Syarh Alfiyah al-Hadis, merupakan karya yang paling cukup dikenal.

Mungkin melihat popularitas Alfiyah al-Iraqi yang sedimikian hebat, al-Suyuti—ulama yang dikenal rival ilmiah al-Sakhawi—lalu menulis kitab alfiyah tentang ilmu Hadis yang berisi beberapa tambahan penjelasan penting terhadap materi dalam Alfiyah al-Iraqi. Al-Suyuti juga memberikan syarh sendiri terhadap bait-bait yang dibuatnya itu. Namun, syarh yang diberinya judul Al-Bahr al-Ladzi Zakhar fi Syarh Alfiyah al-Atsar, tak selesai ia rampungan secara keseluruhan. Belakangan hari, karya itu dilengkapi oleh ulama Indonesia asli, Syekh Mahfuz al-Tirmasi. Ulama kelahiran Tremas, dekat Ngawi, menulis sebuah syarh yang berjudul Manhaj Dzawi al-Nadhar fi Syarh Mandhumat Ilm al-Atsar, yang hingga kini masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah.

Pendeknya, karya-karya yang mengapresiasi Muqaddimah Ibn al-Shalah itu tak pernah berhenti mengalir dari pena-pena ulama-ulama ahli Hadis. Memang Muqaddimah Ibn al-Shalah mempunyai pesona yang luar biasa, sehingga tidak mungkin semua karya itu dapat dituliskan di sini satu persatu. Pendeknya, energi karya-karya yang ditulis dalam ilmu Hadis selalu merupakan apresiasi atas karya Ibn al-Shalah itu. Memang gaung Muqaddimah Ibn al-Shalah begitu luar biasa dahsatnya.


Orientalis dan Ilmu Hadis

Sejak masa yang sangat dini, seperti telah diungkap di muka, para ulama telah melakukan apa yang disebut “Kritik Hadis”, yaitu menyeleksi otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. Bahkan upaya itu telah dilakukan, ketika Nabi masih hidup. Hanya saja, kritik Hadis yang mereka lakukan pada masa Nabi maupun masa sahabat terbatas pada kritik matan Hadis. Masalahnya karena pada saat itu faktor dusta tidak dikenal dalam perilaku hidup keseharian mereka.

Baru sesudah terbunuhnya Usman bin Affan pada tahun 36 H, menyusul munculnya faksi-faksi politik dalam tubuh umat Islam, para ulama di samping tetap melakukan kritik matan Hadis, juga mulai memberlakukan kritik rawi Hadis di mana seorang rawi sebagai pembawa atau periwayat Hadis perlu diketahui identitasnya, apakah dia termasuk orang yang taat beragama dan jujur yang kemudian dikenal dengan istilah âdil, apakah dia kuat ingatannya dan tidak pelupa, yang kemudian dikenal dengan isitlah dhâbit, dan lain-lain.

Maka kriteria-kriteria otentisitas Hadis kemudian dirumuskan oleh para ulama generasi sesudah mereka, bahwa Hadis dinyatakan sebagai shahih (otentik) apabila ia memenuhi empat syarat. Yaitu, ia diriwayatkan dengan sanad (jalur transmisi) yang bersambung sampai pada Nabi. Sanad ini terdiri dari orang-orang yang bertakwa dan kuat ingatannya, sementara materi Hadis itu tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan Hadis lain yang diriwayatkan dengan sanad yag lebih unggul kualitasnya, dan tidak mengandung unsur-unsur kecacatan.

Persyaratan otentisitas Hadis seperti itu telah diterapkan oleh para ulama, khususnya ahli-ahli Hadis, dalam menyeleksi dan mengkritik Hadis, sejak abad pertama hijriah sampai kira-kira abad ke-13 hijriah tanpa ada seorang pun yang mempersoalkan. Dan baru pada tahun 1890 M, dunia penelitian Hadis dikejutkan dengan munculnya metoda ‘baru’ dalam kritik Hadis, yaitu setelah terbitnya buku Muhammadenishe Studien (Studi Islam) yang ditulis oleh Ignas Goldziher, seorang orientalis Yahudi kelahiran Hungaria yang hidup antara tahun 1850-1921 M, di mana ia menolak kriteria dan persyaratan otentisitas Hadis seperti tersebut di atas. Dan sejak saat itu sampai kini, buku Goldziher ini menjadi “kitab suci” di kalangan orientalis

Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Ignaz Goldziher adalah sarjana barat yang pertama kali melakukan kajian tentang Hadis. Kemudian, kurang lebih enam puluh tahun sesudah terbitnya buku Goldziher tersebut, Joseph Schact–yang juga orientalis Yahudi—menerbitkan hasil penelitiannya tentang Hadis, dalam sebuah buku berjudul The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Konon lebih dari sepuluh tahun ia melakukan penelitian Hadis. Dan sejak saat itu 1950 H, buku J. Schact juga menjadi “kitab suci” kedua di kalangan orientalis.

Di banding I. Golziher, J. Schact memiliki “keunggulan”, karena Schact sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa tidak ada satu pun Hadis yang otentik berasal dari Nabi saw, khusunya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam. Sementara Goldziher hanya pada kesimpulan yang meragukan adanya otentisitas Hadis. Karenanya, di kalangan orientalis, buku Schact ini memperoleh reputasi yang luar biasa. Tak kurang dari Prof. Gibb mengatakan bahwa buku Schact ini kelak akan menjadi rujukan pokok bagi semua kajian tentang Peradaban dan Hukum Islam, paling tidak di dunia Barat. Bahkan Prof. Anderson dari Universitas London melarang mahasiswanya mengkritik buku Schact itu.

Meski demikian tidak semua kajian yang dilakukan oleh kalangan orientalis bisa dikatakan otentik, memenuhi standar ilmiah dan nilai akademis. Setelah terbitnya dua buku itu, kalangan orientalis juga mengalami kevakuman selama tiga perempat abad. Mereka dalam kurun waktu itu tidak pernah menerbitkan buku, kecuali hanya menerbitkan beberapa makalah. Kajian tentang Hadis, misalnya, hanya bisa dilihat dalam sebuah buku yang ditulis A. Guillaume berjudul The Traditions of Islam (Hadis-hadis Islam). Itupun oleh Azami dianggap sebagai sebuah karya yang menjiplak teori Goldziher. Karena ia sama sekali tidak menyuguhkan sesuatu yang baru dalam penelitian Hadis. Karenanya, menurut Azami, buku Guillame ini tidak memiliki nilai ilmiah. Hal serupa juga dapat didapati pada karya Prof. Robson, yang telah menerjemahkan kitab Misykah al-Mashabih dan al-Madkhal karya al-Hakim, di mana ia semula diharapkan dapat merivisi pendapat Goldziher dan Schact. Namun ternyata ia juga terkecoh oleh teori-teori Schact.

Bagaimanapun juga, ternyata pemikiran-pemikiran kalangan orientalis, terutama Ignaz Goldziher, berpengaruh sangat luas. Bukan hanya di kalangan orientalis saja, melainkan juga di kalangan pemikir Muslim. Sebut saja misalnya, Ahmad Amin, seorang pemikir kenamaan dari Mesir. Ia, dalam bukunya Fajr al-Islam, banyak terkecoh oleh teori-teori Goldziher dalam mengkritik Hadis. Begitu pula seorang yang bernama Mahmud Abu Rayah, juga berasal dari Mesir, dalam bukunya Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah. Ia juga banyak mengikuti metoda-metoda Goldziher. Bahkan Abu Rayah lebih sadis dalam membantai ahli-ahli Hadis dibanding Ahmad Amin.

Dan yang tidak kalah menariknya adalah seorang ulama kontemporer, Syeikh Muhammad al-Ghazali. Baik dalam bukunya al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, maupun dalam diskusi-diskusi yang diadakan di Cairo dan lain-lain, beliau banyak melakukan kritik Hadis dengan prinsip-prinsip yang juga dipakai oleh kalangan orientalis, meskipun tidak dapat dikatakan beliau terkecoh seratus persen dengan teori-teori orientalis.

Padahal, sekiranya bila dikaji lebih mendalam mengenai apa yang telah dilakukan oleh kalangan orientalis, akan didapat bahwa sebagian mereka ternyata mengabaikan prinsip-prinsip ilmiah dan kenyataan sejarah. Goldziher sendiri misalnya, menuduh al-Zuhri memalsu Hadis untuk kepentingan Abd al-Malik bin Marwan yang beroposisi dengan Ibn al-Zubair. Kenyataannya, al-Zuhri tidak pernah bertemu dengan Abd al-Malik kecuali sesudah tujuh tahun setelah wafatnya Ibn al-Zubair.

Goldziher juga merubah kutipan teks pernyataan al-Zuhri yang terdapat dalam kitab Ibn al-Sa’ad dan Ibn al-Asakir. Kata “ahadits” dalam pernyataan al-Zuhri yang mengatakan, “Inna haulai al-umara akrahuna ‘ala kitabah ahadits” yang sesungguhnya berbentuk definitif (ma’rifah), yaitu “al-ahadits”. Ini tampaknya bukan ketidaksengajaan Goldziher. Karena ia dengan pasti mengerti bahwa jika tidak memakai “al”, maka konsekuensi maknanya akan berbeda dengan jika memakai “al”. Pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan Hadis-hadis Nabawi yang pada saat itu sudah ada tetapi belum terhimpun dalam suatu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah, para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis Hadis yang belum pernah ada saat itu.

Plintiran-plintiran seperti ini mengakibatkan Goldziher dapat dengan mudah melakukan apa saja yang ia mau untuk mendukung teori dan tujuan yang hendak dicapainya. Sehingga dalam teorinya dapat ditemukan ucapan Goldziher yang mengatakan, “Bagian terbesar dari Hadis tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua, baik dalam bidang keagamaan, politik, maupun social. Tidaklah benar pendapat yang mengatakan bahwa Hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini, melainkan adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”. Ini pula yang mengakibatkan Schact mengatakan, “Bagian terbesar dari sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua dari abad ketiga hijrah”.


Era Baru Kajian Hadis di Timur Tengah

Sampai akhir abad ke-19, bisa dikatakan hampir semua karya yang ditulis dalam ilmu Hadis dipengaruhi oleh tiga ulama ini. Al-Syafi’i, al-Khatib, dan Ibn al-Shalah. Begitu juga corak kajian yang mewarnai masing-masing karya itu sangat kental sekali nuansa ketiga tokoh itu. Karena memang ketiga tokoh itu yang paling besar jasanya dalam meletakkan pondasi-pondasi cabang-cabag pembahasan ilmu Hadis. Tidak heran jika dikatakan bahwa semua ahli Hadis, khususnya yang datang setelah tiga ulama itu, berhutang cukup besar kepada ketiganya.

Namun demikian, pola kajian ilmu Hadis dengan bahasa yang sedikit ekstrem bisa dikatakan “monoton” dengan grafik datar apa adanya, meskipun ada beberapa kemajuan penting setelah munculnya Ibn al-Shalah. Perkembangan yang sama sekali baru terjadi dimulai pada awal-awal abad ke-20, setelah maraknya kajian kalangan orientalis yang menyerang secara sporadis tata bangun ilmu Hadis yang telah dibangun oleh pendahulu ulama-ulama ahli Hadis. Mereka yang mengkaji Hadis bukan untuk mencari kebenaran-kebenaran ajaran yang terkandung di dalamnya, melainkan dalam rangka mencari bukti-bukti bahwa apa yang disebut Hadis oleh kaum muslimin tidak ada kaitannya dengan Nabi Muhammad saw. Dan ketika bukti-bukti itu tidak ditemukan, karena memang tidak ada, mereka kemudian membuat argumen-arguemn palsu untuk mendukung tujuannya.

Namun kiranya Allah tidak membiarkan hal itu terjadi. Disiapkan-Nya para ulama untuk merontokkan argumen-argumen kalangan orientalis, utamanya dua dedengkot itu. Tersebutlah sekurang-kurangnya ada tiga ulama kontemporer yang sudah menangkal teori-teori Goldziher dan Schact. Mereka adalah Prof. Mustafa a-Siba’i dalam bukunya al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami (1949), Prof. Dr. Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al-Tadwin (1964). Keduanya secara terpisah menyanggah argumen-argumen Goldziher. Puncaknya, adalah tokoh yang selalu kami juluki sebagai “Pendekar dari India”, Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, dalam bukunya Studies in Early Hadith Literature (1967) yang secara komprehensif membantah teori-teori orientalis tentang Hadis Nabawi, terutama Goldziher dan Schact.

Apabila al-Siba’i dengan karyanya dan Ajjaj al-Khatib juga dengan karyanya telah menangkis pikiran-pikiran orientalis Ignas Goldziher yang meragukan otentisitas Hadis, maka Azami dalam buku yang awalnya merupakan disertasinya di Universitas Cambridge, telah membabat habis semua pikiran-pikiran orientalis yang berkaitan dengan kajian otentisitas Hadis. Secara terpadu Azami telah mematahkan argumen-argumen mereka dan meruntuhkan teori-teorinya. Karenanya, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Azami adalah pakar Muslim yang pertama kali melakukan penghancuran besar-besaran terhadap teori-teori orientalis. Azami adalah sosok cendikiawan Muslim ideal, karena meskipun belajar di bawah asuhan Barat, namun beliau tidak menjadi terompet yang meneriakkan pikiran-pikiran orientalis di kalangan masyarakat Islam. Justru sebaliknya, beliau ibarat bumerang yang menghantam posisi mereka.

Wajar apabila dunia Islam mengakui keunggulan Azami dengan karyanya. Maka dianugerahkanlah Hadiah Internasional King Faisal dalam Studi Islam kepadanya pada tahun 1400 H/1980 M. Sementara kalangan orientalis sendiri juga terpaksa bertekuk lutut dan harus mengakui kehebatan Azami. Tak kurang seorang Prof. A.J. Arberry, tokoh orientalis terkemuka dari Universitas Cambridge, Inggris, mengungkapkan secara terbuka kekaguman dan pengakuannya atas keilmiahan, keotentikan, dan ketinggian standar ilmiah karya Azami itu.


Corak Utama Kajian Hadis Kontemporer

Tak urung, langkah yang telah dirintis oleh ketiga ahli ini membuat warna atmosfir dunia kajian Hadis—terutama di Timur Tengah—menjadi lebih segar. Kalau sebelumnya kajian Hadis masih sangat konvensional, setelah tiga orang ini dalam buku-buku, kitab-kitab, kajian-kajian, dan diskusi-diskusi ilmu Hadis selalu membahas tentang materi tambahan berupa sanggahan dan bantahan terhadap serangan-serangan seporadis kalangan orientalis. Kalaupun ada beberapa karya tidak melakukan itu panjang lebar, namun minimal mereka memberikan warning atas keculasan dan kecurangan kedok kajian ilmiah yang dilakukan kalangan orientalis, agar diketahui khususnya oleh kalangan terpelajar Islam, sehingga mereka tidak terkecoh lagi teori-teori itu.

Corak lainnya menyangkut reorientasi istilah-isitilah teknis yang dipakai dalam penyebaran Hadis (tahammul al-Hadits). “Akhbarana” (kami diberitahu oleh), “haddatsana” (kami diceritai oleh), dan sejenisnya, yang oleh sementara orang dipahami hanya membuktikan adanya penyebaran Hadis secara lisan(oral transmission) . Padahal sebenarnya tidak demikian. Azami, misalnya, membuktikan bahwa istilah-istilah itu juga membuktikan adanya penyebaran Hadis secara tertulis.

Perkembangan lainnya yang tidak dapat dikesampingkan adalah mengenai munculnya metode pentakhrijan Hadis. Corak ini menjadi corak yang paling unik dari seluruh ciri kajian Hadis kontemporer. Kalau sebelumnya takhrij hanya dilakukan oleh kalangan terbatas yang mempunyai kemampuan dan kapasitas tertentu dalam ilmu Hadis, dalam kajian Hadis kontmporer takhrij dicoba untuk dibumikan. Sehingga siapapun akan bisa mengetahui suatu Hadis dapat diterima atau tidak. Metodenya pun tidak rumit dan sangat memudahkan, asal dilengkapi buku-buku dan kitab-kitab penunjang yang memadai, penilaian terhadap suatu Hadis akan dapat dengan mudah bisa dilakuakan.

Dalam corak ini, tokoh yang paling berjasa mengembangkan metode ini adalah Prof. Mahmud al-Tahhan, Guru Besar Hadis di Universitas Islam Kuwait, dalam bukunya Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid. Buku al-Tahhan ini sangat membantu memudahkan pentakhrijan suatu Hadis, karena buku ini sedikitnya menghidangkan lima alternatif untuk memudahkan keberhasilan pentakhrijan suatu Hadis. Metode ini sekarang sudah lazim dipergunakan, bahkan memacu munculnya beberapa karya sejenis yang tampaknya masih mengadopsi teori dan metode takhrij al-Tahhan itu.

Betapapun, perkembangan yang terjadi dalam dinamika ilmu Hadis yang terjadi di awal sampai paruh pertama abad ke-20 layak disyukuri. Karena apapun alasannya, pencapaian itu sangat mengagumkan dan menggembirakan. Keberhasilan ini bukan saja keberhasilan ilmiah semata. Keberhasilan ini lebih mencerminkan kemenangan psywar dari sebuah jihad aqli melawan penjajahan berkedok kajian ilmiah. Dan ulama-ulama itu berhasil memenangkannya, sehingga umat Islam layak mensyukurinya, sekaligus telah membuat kajian Hadis menjadi semakin menarik untuk dikaji.



Tiada ulasan: