26 Ogos 2010

Refleksi Ramadhan : Hari Raya

15 Ramadhan 1431 H
Oleh: Syaikh

RENUNGAN KE-24

‘Ied adalah nama untuk semua hal yang biasa/sering dilakukan, dan ia merupakan syi’ar (simbol) semua umat, ahlu kitab, paganisme, dan yang lainnya; karena hari raya memiliki ikatan yang kuat dengan fitrah dan pembawaan serta tabi’at manusia. Semua orang menyukai adanya momentum khusus untuk mengenang masa lalunya.

Hari raya orang kafir erat kaitannya dengan urusan dunia misalnya hari jadi suatu negara atau runtuhnya, hari pengangkatan jabatan, hari pernikahan, atau momentum musim, seperti musim semi atau yang lainnya.

Orang Yahudi memiliki hari raya begitupun umat Nashrani, misalnya hari kelahiran Isa ‘alaihis salam, hari diturunkannya hidangan kepada Isa ‘alaihis salam, akan tetapi dewasa ini mereka berselisih paham tentang hal itu baik di negara Eropa atau di Amerika atau yang lainnya, dan yang memprihatinkan sebagian umat Islam ada yang mengikuti acara mereka disebabkan kebodohan atau kenifaqannya.

Orang Majusi memiliki hari raya khusus seperti hari raya Mahrojan dan hari raya Nairuz dan yang lainnya, begitu juga orang-orang Syi’ah, seperti hari raya Ghadir, menurut mereka di situlah Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam membai’at Ali radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah, serta imam yang dua belas, orang-orang Syi’ah dalam hari raya seperti ini memiliki kitab khusus, salah satunya kitab “Yaumul Ghadir” sebanyak sepuluh jilid.

Adapun umat Islam tidak memiliki hari raya kecuali dua saja yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha, sebagaimana diriwayatkan dalam Sunan Abu Daud dan An-Nasa’i dengan sanad yang shahih. Anas radhiallahu ‘anhu berkata,

“Sesungguhnya ketika Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam tiba di Madinah, beliau mendapatkan orang-orang sedang merayakan dua hari raya seraya berkata, ‘Kamu berpesta pada dua hari ini, padahal Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik dari itu, yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i).

Penya’ir berkata:

Dua hari raya tidak ada ketiganya
Bagi yang mendambakan keselamatan akhiratnya
‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha
Selebihnya adalah penyimpangan dari ajaran muhammad.

Hal tersebut disampaikan kepada seseorang yang berpendapat adanya hari raya yang ketiga yaitu maulid Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam sebagaimana dalam sya’irnya:

Bagi orang Islam ada tiga hari raya
‘Iedul Fitri, ‘Iedul Adha, dan maulid Nabi.
Manakala hari raya selesai
Kebahagiaan mereka tiada berakhir
Dikarenakan kecintaannya kepada Muhammad.

Dua hari raya inilah yang Allah syari’atkan kepada umat Islam, dia adalah salah satu syiar Islam yang harus dihidupkan, dan harus diketahui hikmah dan tujuannya serta dapat dirasakan maknanya.

Beberapa Hukum yang Berkaitan Dengan Hari Raya

Pertama: Dilarang berpuasa

Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam melarang saum pada dua hari, yaitu hari ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kedua: Disunnahkan keluar rumah dan menunaikan shalat (‘Ied) bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan, sebagaimana dikatakan Ummu ‘Athiyyah radhiallahu ‘anha, “Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam pada hari raya ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha menyuruh kami membawa anak perempuan yang baru baligh,

perempuan yang haid dan gadis-gadis pingitan (ke tempat shalat hari raya) adapun perempuan yang haid hendaknya tidak mengerjakan shalat, akan tetapi ia harus menyaksikan kebaikan dan (mendengarkan) nasihat kaum muslim.” (HR. Al-Bukhari Muslim).

Maka seandainya mereka saja diperintah untuk keluar dan menunaikan shalat ‘Ied apalagi kaum laki-laki, para pemuda, dan orang tua tidak dipungkiri lagi keharusannya, bahkan sebagian ulama berpendapat mereka wajib keluar dan shalat berdasarkan hadits di atas dan firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Rabbnya, lalu dia shalat.” (Al-A’la: 14-15).

Mereka berkata yang dimaksud dengan ayat ini adalah shalat ‘Ied.

Ketiga: Shalat ‘Ied dilakukan sebelum khutbah.

Ibnu Umar, Abu Sa’id dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam melaksanakan shalat ‘Ied sebelum khutbah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Keempat: Disunnahkan bagi imam untuk bertakbir dengan tujuh kali takbir pada raka’at pertama, dan lima kali takbir pada raka’at kedua, sebagaimana telah diriwayatkan dari para sahabat dan tabi’in, seperti Umar, Utsman, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri, Abu Ayyub Al-Anshari, Zaid bin Tsabit, dan yang lainnya.

Hal itu terdapat dalam beberapa hadits melalui Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, dan melalui Katsir bin Abdullah Al-Muzani dari Amr bin Auf, akan tetapi semuanya hadits mauquf (sampai kepada sahabat saja) bukan hadits marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).

Boleh juga imam bertakbir dengan empat kali takbir pada raka’at pertama, dan empat kali takbir pada raka’at kedua, karena telah diriwayatkan dari sebagian Salaf seperti Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dan Al-Faryabi serta yang lainnya, dan inilah pendapat madzhab Abu Hanifah.

Kelima: Disunnahkan bagi imam untuk membaca surat Qaf dan surat Iqtarabtis Sa’ah (Al-Qamar) sebagaimana dalam Shahih Muslim: “Sesungguhnya Umar radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Abu Waqid Al-Laitsi, ‘Surat apa yang dibaca Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam pada shalat ‘Iedul Adha dan shalat ‘Iedul Fitri?’ Dia menjawab, ‘Beliau membaca surat ‘Qaf wal qur'anil majid’ dan surat ‘Iqtarabatis sa’ah wansyaqqatil qamar.” (HR. Muslim).

Akan tetapi riwayat yang paling banyak adalah riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam membaca dalam shalat ‘Iednya surat Al-A’la dan surat Al-Ghasiyah seperti halnya dalam shalat Jum’at (HR. Muslim dan At-Tirmidzi).

Keenam: Tidak ada shalat sunnah sebelum shalat ‘Ied atau sesudahnya. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam keluar pada hari ‘Ied kemudian shalat dua raka’at (shalat ‘Ied) dan tidak melaksanakan shalat (sunnah) sebelum atau setelahnya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan At-Tirmidzi).

Kecuali kalau shalat ‘Ied dilakukan di masjid, maka tidak apa-apa bahkan dianjurkan untuk melakukan shalat tahiyatul masjid.

Adab-Adab Hari Raya

Mandi sebelum melakukan shalat ‘Ied.

Dikatakan dalam kitab Al-Muwattha’ dan yang lainnya, bahwa Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma mandi pada hari ‘Iedul Fitri sebelum pergi ke lapangan. Dan diriwayatkan juga dari As-Saib bin Yazid serta Sa’id bin Zubair radhiallahu ‘anhum katanya, “Sunnah ‘Ied itu ada tiga: jalan kaki, mandi, dan makan sebelum pergi ke tempat shalat.” Pernyataan di atas adalah perkataan Said bin Zubair, barangkali dia mengutip dari sebagian sahabat.

Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama sepakat disunnahkannya mandi sebelum ‘Ied.

Jadi makna yang menyebabkan disunnahkan mandi baik untuk shalat Jum’at atau perkumpulan-perkumpulan umum lainnya telah terdapat dalam ‘Ied bahkan lebih tampak jelas.

Disunnahkan makan beberapa butir kurma sebelum pergi ke tempat shalat.

Anas radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam tidak pergi pada hari ‘Iedul Fitri (untuk shalat ‘Ied) sehingga makan dulu beberapa butir kurma.” (HR. Al-Bukhari).

Disunnahkannya makan sebelum shalat ‘Ied karena pada hari itu ada larangan keras untuk berpuasa, adapun dalam ‘Iedul Adha disunnahkan untuk tidak makan dulu kecuali setelah shalat ‘Ied.

Bertakbir pada hari ‘Ied.

Allah Ta’ala berfirman, “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Baqarah: 185).

Ibnu Umar telah meriwayatkan dalam beberapa hadits dengan sanad yang shahih yang dikeluarkan oleh Imam Al-Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah sebagai berikut, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bertakbir apabila keluar dari rumahnya menuju lapangan.”

Telah masyhur di kalangan Salaf bahwa bertakbir dimulai ketika keluar rumahnya menuju lapangan sampai khatib naik mimbar, begitu juga menurut para ulama seperti Abu Syaibah, Abdur Razzaq dan Al-Faryabi dalam kitabnya “Ahkamul ‘Iedain”. Nafi’ bin Zubair merasa heran ketika ia bertakbir sementara orang-orang tidak, seraya bertanya, “Kenapa kalian tidak bertakbir?” Padahal Muhammad bin Syihab Az-Zuhri pernah mengatakan, “Orang-orang (pada waktu itu) bertakbir sejak keluar dari rumahnya masing-masing sampai khatib datang.”

Kesimpulannya, seseorang dianjurkan untuk bertakbir pada saat keluar dari rumahnya sehingga imam atau khatib datang.

Dianjurkan untuk saling bertahniah (ucapan selamat) dengan ungkapan apa saja selama dibolehkan misalnya,

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ.

“Semoga Allah menerima amal ibadah kita semua.”

Tahniah di kalangan para sahabat adalah hal yang biasa, para ulama pun membolehkannya seperti Imam Ahmad dan yang lainnya, dan tidak sedikit dalil yang menunjukkan disyari’atkannya tahniah untuk momentum tertentu, seperti apa yang dilakukan sahabat ketika mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, kemudian mereka saling bertahniah misalnya ketika Allah menerima taubatnya seseorang, kemudian meng-ucapkan selamat kepadanya dan yang lainnya.

Sebenarnya atsar atau riwayat dari para sahabat mengenai tahniah banyak sekali, yang jelas bahwa ucapan selamat yang dilakukan orang-orang pada hari raya adalah boleh, bahkan tidak diragukan lagi tahniah adalah bagian dari prilaku yang baik dan merupakan gejala yang baik yang terjadi pada sebuah masyarakat muslim.

Paling tidak, seseorang membalas tahniah orang lain yang disampaikan kepadanya, dan diam bila tidak mendapatkannya, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad rahimahullah, “Jika ada seseorang yang menyampaikan tahniah kepadaku aku akan membalasnya, jika tidak ada aku memilih diam.”

Dianjurkan mengenakan pakaian yang terindah.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar berkata, “Umar pernah membeli baju besar terbuat dari sutra yang dijual di pasar, lalu membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam sambil berkata, ‘Ya Rasulullah, belilah baju besar ini untuk memperindah diri di hari raya dan untuk menyambut tamu-tamu utusan!’ Rasulullah berkata,

إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ.

“Baju ini hanya untuk orang yang tidak memiliki bagian du akhirat (orang kafir).” (HR. Al-Bukhari).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa memperindah diri pada hari raya adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh para sahabat, dan Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam telah memberikan taqrir (ketetapan) terhadap Umar, adapun teguran beliau terhadap Umar dikarenakan membeli baju besar yang terbuat dari sutra.

Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam senantiasa memakai jubah (baju besar) pada dua hari raya dan hari Jum’at.” (HR. Ibnu Khuzaimah).

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwasannya Ibnu Umar senantiasa mengenakan pakaian yang terindah di hari raya. Dengan demikian hendaknya seseorang memakai baju yang terbagus manakala keluar pada hari raya.

Adapun bagi kaum wanita diharuskan untuk menghin-darkan diri dari berhias manakala keluar, dikarenakan hal itu dilarang. Begitu juga memakai parfum dan bercampur dengan lelaki yang bukan mahramnya, karena ia keluar pada saat itu hanyalah untuk beribadah dan mewujudkan ketaatan kepada-Nya. Pantaskah seorang wanita yang beriman ketika keluar dalam rangka ta’at kepada-Nya, sementara ia melanggar perintah-Nya dengan memakai baju yang sempit, bercorak, pakai parfum dan menarik perhatian orang?

Kekeliruan yang Sering Terulang Dalam ‘Iedul Fitri

Berkenaan dengan “menghidupkan malam ‘Ied”, sebagian orang berkeyakinan bahwa hal tersebut disyariatkan, bahkan menyebarkan hadits dha’if yang berkenaan dengan itu, yaitu “Barangsiapa yang menghidupkan malam ‘Ied, maka hatinya tak akan mati pada hari dimatikannya semua hati”

Hadits di atas diriwayatkan dengan dua sanad, yang satu dha’if yang satu lagi dha’if sekali. Dengan demikian, tidak ada perintah khusus untuk menghidupkan malam ‘Ied. Adapun bagi mereka yang sudah biasa menghidupkan malam di malam-malam sebelumnya, maka tidak apa-apa.

Telah terjadi ikhtilath (bercampur) antara laki-laki dan perempuan di sebagian tempat salat, atau di jalan-jalan serta lainnya. Dan yang lebih memprihatinkan hal itu terjadi di tempat yang suci seperti mesjid, bahkan di Masjidil Haram.

Tidak sedikit kaum wanita –semoga Allah memberi petunjuk– keluar rumah menuju mesjid atau lapangan dengan berdandan, pakai parfum, bercelak, dan sebagainya. Kemudian di mesjid berdesakan, tentu ini fitnah dan sangat mengkhawatirkan.

Karena itu saya nasehati para pemuda untuk tinggal dulu di mesjid apabila selesai salat Subuh –bagi yang shalat Subuh di mesjid– sehingga shalat Ied, dan baru keluar apabila kaum wanita sudah bubar dari shalat’Iednya.

Apa yang dilakukan oleh sebagian orang, mereka berkumpul sembari mendengarkan musik atau melakukan segala bentuk permainan-permainan yang sia-sia dan tak ada gunanya. Hal ini jelas tidak boleh.

Sebagian orang ada yang merasa bahagia dengan datangnya hari raya, karena Ramadhan selesai dan tidak ada puasa lagi di hari esoknya. Ini adalah sebuah kekeliruan Berbeda halnya dengan kebahagiaan yang dirasakan orang mukmin, mereka berbahagia karena dengan taufik Allah dapat menyelesaikan puasanya sebulan penuh. Jadi bukan karena selesainya puasa sebagaimana anggapan sebagian orang.

Tiada ulasan: