19 Ogos 2010

Refleksi Ramadhan : Qiyamu Ramadhan

8 Ramadhan 1431 H
Oleh: Syaikh

RENUNGAN KE-11

Sebagaimana dikatakan Ramadhan itu syahrus siyam (bulan puasa), dikatakan juga Ramadhan syahrul qiyam (bulan shalat malam) Allah berfirman, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu,

dan bacalah al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (Al-Muzammil: 1-5). Dan firman-Nya tentang sifat hamba-hamba-Nya yang baik, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 17-18).

Dalam Shahih Muslim Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ.

“Sebaik-baik shalat setelah fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim).

Dan pada Sunan At-Tirmidzi dari Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu dikatakan, sesampainya Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam (pertama kali) di kota Madinah, orang-orang terkejut dengannya sambil mengatakan, “Telah tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam .., Telah tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam .

” lalu aku pun menemui orang-orang untuk melihatnya shallallahu ‘alaihui wasallam ketika melihat wajah beliau aku melihatnya tidak ada tanda-tanda kebohongan, dan saya masih ingat kata-kata pertama yang beliau sampaikan adalah,

أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ.

“Hai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berilah makanan orang-orang miskin, dan shalatlah di saat orang-orang tidur, niscaya kamu masuk surga dengan selamat.” (HR. At-Tirmidzi).

Jadi dengan nushush (teks) di atas jelaslah bahwa qiyamullail memiliki keistimewaan yang besar. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Siapa yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya telah telah lalu.” (HR. Muttafaq Alaih).

Ditetapkan juga bahwa Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam pernah melakukan qiyam Ramadhan berjama’ah dengan para sahabatnya, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahihain dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam keluar pada tengah malam, kemudian shalat (tarawih) di masjid, maka para sahabat pun shalat bersamanya,

beredarlah berita ini di kalangan sahabat lain, jadilah malam kedua ini lebih banyak dari malam pertama, dan malam ketiga lebih banyak dari malam kedua, ketika di malam keempat, masjid tidak muat menampung para sahabat, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam tidak keluar dari rumahnya kecuali untuk menunaikan shalat Subuh, setelah selesai menunaikannya beliau menghadap para sahabat lalu bertasyahhud (membaca dua kalimat syahadat) dan berkata,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ لَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا.

“Amma ba’du, sesungguhnya kedudukan kamu tidak saya khawatirkan tetapi yang saya khawatirkan adalah diwajibkannya kepada kamu (shalat tarawih) kemudian kamu tidak mampu melaksanakannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ahlus Sunan meriwayatkan dengan sanad shahih dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami pernah berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam tidak ada seorang pun di antara kami yang melaksanakan qiyamu Ramadhan (di masjid) sampai bulan Ramadhan tinggal tujuh hari lagi,

maka beliau shallallahu ‘alaihui wasallam melaksanakan qiyamu Ramadhan bersama kami di malam ketujuh terakhir tersebut sampai sepertiga malam, tetapi di malam berikutnya beliau tidak melaksanakan lagi, ketika di malam kelima terakhir beliau melaksanakan qiyamu Ramadhan bersama kami sampai tengah malam,

aku berkata, ‘Ya Rasulullah, seandainya engkau melaksanakan lagi bersama kami dan lebih lama di malam-malam berikutnya tentu itu lebih baik.’ Rasul menjawab,

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ فَإِنَّهُ يَعْدِلُ قِيَامَ لَيْلَةٍ.

“Sesungguhnya siapa yang shalat malam bersama imam sampai selesai, itu sama dengan melaksanakan shalat satu malam suntuk.”

Kemudian di malam berikutnya beliau tidak melaksanakannya, sehingga di malam ketiga terakhir beliau mengumpulkan istri-istrinya dan keluarganya, orang-orang pun ikut berkumpul kemudian beliau melaksanakan qiyamu Ramadhan bersama kami sehingga kami merasa khawatir kehilangan falah, ditanyakan apa itu falah? Abu Dzar menjawab, ‘Sahur.

’ Lalu ia berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam tidak lagi melaksanakan qiyam Ramadhan bersama kami di malam-malam berikutnya.”

Dalam masalah qiyam Ramadhan bagi kita ada beberapa catatan penting:

Pertama, jumlah raka’at shalat tarawih. Dalam hal ini orang-orang terjadi perbedaan pendapat yang sengit antara 11 raka’at dan 49 raka’at atau 23 raka’at. Sebenarnya ada beberapa hal yang bisa membantu kita dalam menyelesaikan masalah ini:

Berapa raka’at Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam shalat tarawih?

Riwayat yang paling shahih sebagaimana yang dikatakan dalam Asy-Syaikhain dari Aisyah radhiallahu ‘anha ia berkata,

مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً.

“Rasulullah tidak menambah jumlah raka’at di bulan Ramadhan dan lainnya dari 11 raka’at.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Akan tetapi beliau melaksanakannya dengan baik dan lama, sebagaimana dikatakan Aisyah radhiallahu ‘anha dalam hadits tersebut.

Apa yang dilakukan para sahabat setelahnya?

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam meninggal, Umar radhiallahu ‘anhu pernah menyuruh kaum muslimin untuk melaksanakan (shalat tarawih) dengan berjamaah, di mana beliau sebelumnya mendapatkan orang-orang shalat berpencaran di masjid, ada yang shalat sendirian,

ada yang shalat berjamaah dua atau tiga orang saja, maka lahirlah ide untuk menyatukan mereka dengan satu imam, akhirnya beliau menyuruh sahabat Ubay bin Ka’ab dan Tamim bin Aus untuk menjadi imam. Tahukah berapa jumlah raka’at mereka?

Ada dua riwayat, kedua-duanya shahih, dan kedua-duanya melalui jalan As-Saib bin Yazid.

Riwayat pertama, Umar radhiallahu ‘anhu menyuruh mereka untuk melakukan shalat tarawih 11 raka’at.

Riwayat kedua, mereka melakukannya dengan jumlah 21 raka’at, atau 23 raka’at menurut riwayat lain.

Adapun riwayat pertama (11 raka’at) terdapat dalam kitab Al-Muwaththa’ Imam Malik sanadnya shahih, dan riwayat kedua (21 raka’at) terdapat dalam kitab Mushannaf Abdur Razzaq, begitu juga sanadnya shahih, dan riwayat ketiga (23 raka’at) terdapat dalam kitab Sunan Al-Baihaqi dan sanadnya juga shahih, lantas bagaimana sikap kita?

Sebagian ulama menganggap riwayat yang 21 atau 23 raka’at itu syadz (asing), akan tetapi tidak ada alasan mengapa riwayat itu syadz selama masih bisa dijam’u (menggabungkan), maka kita jam’u riwayat-riwayat di atas.

Dengan cara jam’u yang dipakai oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dia mengatakan, “Bahwasanya masalah ini bisa saja disikapi dengan bervariasi disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan, satu saat dilakukan dengan 11 raka’at, satu saat dengan 21 raka’at, dan di lain waktu lagi dengan 23 raka’at.

Yang jelas disesuaikan dengan situasi dan kondisi mereka, karenanya jika mereka shalat tarawih dengan 11 raka’at mereka memperpanjang shalatnya sehingga bersandar ke tongkat-tongkatnya karena saking lamanya, dan jika mereka melakukannya dengan 23 raka’at mereka meringankannya sehingga mereka tidak merasa kecapaian, inilah cara jam’u yang baik.”

Dan terdapat juga dalam benak saya jam’u lain yang barangkali bisa diterima, yakni di mana Umar radhiallahu ‘anhu menyuruh kepada dua sahabat agar melakukan shalat tarawih 11 raka’at –riwayat ini tidak ada perselisihan– akan tetapi Ubay dan Tamim radhiallahu ‘anhuma melakukannya 21 atau 23 raka’at, perintah Umar tetap 11 raka’at, sedang pelaksanaan 21 atau 23 raka’at dari dua sahabat tadi,

hal tersebut mereka lakukan mungkin karena ada permasalahan yang menuntut mereka untuk berijtihad, akhirnya mereka memandang maslahat yang tepat pada waktu itu adalah 21 atau 23 raka’at, hal tersebut tepat dengan kondisi mereka, misalnya di saat shalat tarawih dengan 11 raka’at orang-orang memanjangkan berdiri, ruku’, sujud, serta yang lainnya, dan hal itu berat bagi mereka.

Akhirnya mereka memilih shalat tarawih dengan 21 raka’at atau 23 raka’at dengan cara meringankan berdiri, ruku’, dan sujudnya, agar ibadah mereka tenang. Jam’u seperti ini boleh saja diterima.

Terlepas dari orang yang melakukan tarawih dengan 11 raka’at, 21 raka’at, atau 23 raka’at, tetapi satu hal yang ingin saya ingatkan adalah pendapat sebagian ulama yang menyatakan tidak boleh lebih dari 11 raka’at. Pendapat ini pendapat yang lemah sekali, tidak sepantasnyalah kita terpengaruh dikarenakan dua faktor:

Orang A’rabi (orang pedesaan) yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam dan bertanya tentang shalat malam, Nabi menjawab, “Matsna-matsna (dua raka’at-dua raka’at).

” A’rabi ini sama sekali tidak tahu cara shalat malam apalagi jumlah raka’atnya, kendatipun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihui wasallam tetap mengatakan matsna-matsna yakni salam pada setiap raka’at kedua, dan beliau tidak membatasinya dengan jumlah tertentu bahkan memutlakkannya.

Bahwasanya An-Nawafil Muthlaqah (Shalat sunnah tak terikat) boleh dilakukan di malam atau di siang hari, kecuali pada waktu-waktu tertentu. Seandainya seseorang shalat (sunnah) sebelum zhuhur atau setelahnya, sebelum Maghrib atau setelahnya, atau dilakukannya di waktu Dhuha (setiap Duha) dengan jumlah 2, 4, 10, atau 20 raka’at, hal tersebut tidak apa-apa karena begitulah shalat sunnah muthlaqah.

Jumhur umat –termasuk imam yang empat– berpendapat bahwa shalat sunnah yang mutlak seperti ini tidak dibatasi jumlahnya, berapa pun juga boleh.

Kedua, Sesungguhnya keutamaan shalat –termasuk sunnah– disyari’atkan untuk mendidik jiwa, membersihkan hati dari kedengkian, kebencian, permusuhan dan yang lainnya, serta menumbuhkan persaudaraan, menjalin kasih sayang di antara sesama muslim, jelas ini adalah salah satu tujuan ibadah yang agung.

Seandainya seseorang pergi shalat (tarawih) dengan hati yang ikhlas dan jiwa bersih, sangat tidak mungkin moment yang baik ini digunakan untuk berbuat maksiat, bertengkar, berbantah-bantahan sesama muslim, dan saling memojokkan, misalnya tentang shalat tarawih baik jumlah raka’atnya atau caranya.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi apa yang terjadi sebelum pergi ke masjid mereka bertanya dulu siapa imamnya? Berapa raka’at 11 atau 23 raka’at? Lama atau sebentar? Dan seterusnya. Atau mereka meminta langsung ke imam untuk melaksanakan shalat tarawih dengan jumlah tertentu.

Begitulah fenomena yang kita saksikan pada sebagian muslim, mereka belum bisa memanfaatkan momentum yang mulia ini. Semoga Allah memahamkan mereka kepada agama-nya dan selalu bersatu, karena seluruh umat Islam sepakat bahwa bersatunya umat, bersihnya hati dan jiwa adalah salah satu tujuan utama syari’at ini, sedangkan jumlah raka’at shalat tarawih adalah sesuatu yang diperselisihkan, kemudian kenapa kita memprioritaskan sesuatu yang diperselisihkan dan menyepelekan sesuatu yang disepakati?

Ketiga, Sesuatu yang tidak kalah pentingnya dalam masalah ini adalah memberi keleluasaan kepada umat, karena kita tahu bahwa Islam adalah agama yang mudah dan penuh dengan toleransi, misalnya apa yang telah diriwayatkan dalam hadits Muttafaq Alaih dari Abdullah bin Amr bin Ash dan Ibnu Abbas serta yang lainnya, dikatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam sempat duduk pada haji Wada’, lalu para sahabat bertanya bergantian, berkata salah seorang di antara mereka, “Ya Rasulullah, saya tidak sadar telah mencukur rambut sebelum memotong hewan qurban,” beliau berkata,

“Potonglah hewan qurban dan tidak berdosa.” Datang lagi sahabat lain, “Ya Rasulullah, saya tidak sadar telah memotong hewan qurban sebelum melempar jumrah,” beliau berkata, “Lemparlah jumrah dan tidak berdosa.” Pada waktu itu beliau tidak ditanya tentang sesuatu yang bisa didahulukan dan diakhirkan kecuali beliau menjawab, “Laksanakanlah dan tidak berdosa.”

Jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihui wasallam sangat menyukai untuk memberi keleluasaan kepada umatnya, dan hal ini dilanjutkan oleh ulama Ahlus Sunnah di sepanjang sejarahnya, demikian juga bagi kita dewasa ini untuk melakukannya dan menghindarkan umat dari kesulitan misalnya pada shalat tarawih hendaknya seorang imam shalat tarawih benar-benar memperhatikan kondisi ma’mumnya, seandainya mereka merasa berat dan capek dengan 20 raka’at (misalnya) maka shalatlah dengan yang 11 raka’at,

tentu itu lebih tepat dan dekat ke sunnah. Juga sebaliknya, seandainya mereka terbiasa dengan 20 raka’at dan merasa ringan dengannya dari pada yang 11 raka’at dikarenakan lamanya, maka shalatlah dengan yang 20 raka’at dan tidak berdosa, karena dalam shalat tarawih tidak ada batasan yang jelas. Hanya saja yang harus diperhatikan pelaksanaannya dengan dua raka’at-dua raka’at.

Kesimpulannya, para imam wajib diikuti ma’mumnya bukan sebaliknya, ma’mum yang mengatur imam misalnya dalam shalat tarawih, namun imam tetap harus memperhatikan kondisi ma’mum agar tidak memberatkan dan tidak terjadi perselisihan di antara mereka.

Tiada ulasan: