8 Dzulka'edah 1434 H. [MOD] -
Oleh Jarjani Usman
“Ya Allah, (jadikanlah) haji yang tak mengandung unsur riya (pamer diri) dann unsur sum’ah (ingin populer)” (doa Rasulullah).
Setiap musim Haji, hamba-hamba Allah yang telah dianugerahi kemampuan dan kesempatan pergi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Tanah Suci sepantasnya dikunjungi dengan niat yang suci, perbuatan yang suci, serta kendaraan yang suci pula.
Niat yang suci penting untuk diterimanya haji. Tak tertutup kemungkinan hati naik haji karena tergoda ingin menunjukkan kemegahan diri di tengah-tengah masyarakat miskin. Kesempatan ini tentunya istimewa. Tak semua orang berhasil mendapatkannya, meskipun sekali seumur hidup. Juga ternoda dengan keinginan untuk popular dengan gelar haji yang dipanggil manusia, padahal di hadapan Allah belum tentu memenuhi syarat untuk disebut haji.
Kendaraan yang suci ini dalam konteks berhaji juga punya makna tersendiri. Kendaraan ini berkaitan erat dengan kemampuan secara keuangan. Apalagi ada sebahagian orang yang juga berpergian ke sana dengan uang yang tak suci, karena seluruhnya tak halal atau karena sudah bercampur dengan harta haram. Tentunya memisahkan ini sangat sulit, terutama bagi orang yang tak mau memisahkan diri dari perbuatan yang diharamkan.
Rasulullah juga pernah bermohon agar dijauhkan dari hal-hal yang merusak ibadah haji. Kita sepantasnya juga bermohon demikian, agar sekembalinya dari berhaji laksana sedang memakai pakaian ihram, yang mencerminkan kesederhanaan dalam hidup dan terus memperhambakan diri kepada Allah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan