13 Ogos 2010

Refleksi Ramadhan : Keistimewaan Puasa

3 Ramadhan 1431H.
Oleh : Syaikh

RENUNGAN KE-4 : Keistimewaan Puasa

Puasa memiliki beberapa keutamaan, di antaranya:

Puasa sebagai penghalang dari api neraka

Disebutkan dalam hadits shahih dari sahabat bernama, Jabir radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ.


“Puasa adalah perisai seorang muslim dari api neraka” (HR. Ahmad).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ صَامَ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا.


“Siapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan dia dari api neraka selama 70 tahun.” (HR. Al-Bukhari).

Artinya apabila berpuasa satu hari saja, pahalanya sebesar itu, bagaimana kalau berpuasa satu bulan penuh, atau 3 hari dari setiap bulannya? Sungguh sangat besar.

Puasa sebagai pengendali hawa nafsu

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَ ةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai para pemuda siapa yang mampu di antara kalian untuk menikah, maka nikahlah, karena dengan hal itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga farji, dan siapa yang belum mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu perisai baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dengan hadits di atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengarahkan para pemuda yang belum siap menikah agar memperbanyak puasa, karena dengannya akan meredam gejolak syahwatnya.

Dewasa ini kerap kali para pemuda mengeluhkan gejolak syahwatnya disebabkan pengaruh zaman yang rusak, merajalelanya majalah-majalah murahan yang beredar di toko-toko buku serta tempat-tempat perdagangan lainnya. Di samping itu tabarruj (berdandan ala Barat)nya kaum wanita di jalan-jalan, di rumah sakit, di pesawat serta lainnya, itu semuanya niscaya akan menggoda dan membangkitkan gejolak nafsunya sesuai dengan tabi’at anak muda, terutama mereka yang lemah agamanya.

Sekali lagi saya sampaikan pesan Nabi ini untuk para pemuda, “Siapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu sebagai perisai baginya.” Resep kenabian seperti ini telah teruji dan terbukti di kalangan para pemuda yang pernah mengalami gejolak syahwat ini, bahkan mereka tidak membutuhkan lagi resep lainnya.

Puasa jalan menuju surga

Imam An-Nasai telah meriwayatkan dengan sanad shahih dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu dia bertanya, “Ya Rasulullah suruhlah aku dengan satu amalan, bila aku mengerjakannya akan bermanfaat untukku.” Beliau menjawab, “Hendaklah kamu berpuasa, karena puasa (manfaatnya) tidak ada bandingnya.”

Dalam hadits tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa tidak ada yang membuat seseorang dekat dari Rabbnya dan jauh dari azabnya kecuali puasa.

Bahkan dalam hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menginformasikan bahwa nanti di surga ada pintu khusus yang akan dilalui oleh Ash-Shaimin (orang-orang yang berpuasa) saja.


إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ.

“Sesungguhnya kelak di surga ada sebuah pintu namanya Ar-Royyan, yang tidak akan dimasuki kecuali oleh orang yang berpuasa. Dikatakan, ‘Mana orang-orang yang berpuasa?’ maka serentaklah mereka bangkit kemudian masuk ke pintu, ketika mereka masuk terkuncilah pintu tersebut, kemudian tidak ada orang yang masuk setelahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Bila kita perhatikan, nama pintu ini sesuai dengan sifat orang yang berpuasa yang selalu haus dan lapar.

Puasa memberi syafaat kepada orang yang melaksanakannya

Imam Ahmad juga Al-Hakim telah meriwayatkan dengan sanad hasan, dari Abdullah bin Amr bin’ Ash radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ.


“Puasa dan Al-Qur’an kelak di hari kiamat akan memberi syafaat kepada seorang hamba, berkata puasa, ‘Ya Rabbi, aku telah menghalangi dia makan dan syahwatnya di siang hari, izinkanlah aku untuk memberi syafaat kepadanya.’ Lalu berkata Al-Qur’an, ‘Aku telah menghalangi dia tidur malam, izinkanlah aku untuk memberi syafaat kepadanya.’ Berkata Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Kemudian mereka memberi syafaat.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim).

Dengan demikian, ibadah puasa kelak di hari Kiamat akan menjadi sesuatu yang nampak, dia bisa berbicara dan memberi syafaat kepada yang melaksanakannya baik puasa sunnah atau wajib.

Puasa sebagai kifarat dan penebus dosa

Sesungguhnya amal yang baik akan menghapus amal yang buruk, dan ibadah puasa bagian dari amal yang baik. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (Hud: 114).

Mengenai fadilah puasa sebagai penebus dosa telah terdapat dalam beberapa hadits, di antaranya hadits dari Hudzaifah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَمَالِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَالصَّوْمُ وَالصَّدَقَةُ.


“Fitnah (perbuatan dosa) seseorang terhadap keluarganya, hartanya, dan tetangganya bisa dihapus dengan shalat, puasa, dan shadaqah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Yakni kesalahan yang dilakukan seseorang terhadap keluarganya seperti menyakiti atau kurang perhatian, serta kesalahan terhadap tetangganya seperti tidak peduli akan haknya, mengganggu, dan menzhalimi, serta kesalahan dalam urusan harta, dan dosa-dosa kecil lainnya bisa dihapus oleh shalat, puasa, dan sadaqah.

Di dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.


“Siapa orang yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).


اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ.


“Shalat yang lima waktu, Jum’at sampai dengan Jum’at berikutnya, dan Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya adalah kifarat (penghapus) dosa yang terjadi di antara waktu-waktu tersebut, selama dosa-dosa besar ditinggalkan.” (HR. Muslim).

Dengan demikian, puasa adalah sebab diampuninya dosa yang terjadi di antara bulan Ramadhan ini dan Ramadhan yang lalu, dengan syarat menghindari dan menjauhi dosa besar, karena dosa besar tidak akan diampuni kecuali dengan taubat. Begitulah menurut pendapat Jumhur ulama Salaf.

Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (An-Nisa’: 31).

Puasa sebab kebahagiaan dunia dan akhirat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.


“Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan, kebahagiaan di saat berbuka, dan kebahagiaan di saat menemui Rabbnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kebahagiaan di saat berbuka ini merupakan contoh kebahagiaan yang diperoleh orang mukmin di dunia karena ketaatan dan keimanannya kepada Allah Ta’ala. Itulah hakikat kebahagiaan. Hal ini terjadi karena dua faktor:

Pertama: Dibolehkannya makan dan minum setelah Allah melarangnya, dan kita tahu bahwa jiwa manusia diciptakan sesuai dengan kodratnya cinta makan dan minum. Oleh karenanya tidak makan dan minum di hari Ramadhan adalah ibadah.

Kedua: Taufik dari Allah, sehingga ia bisa menyelesaikan puasanya sampai waktu Maghrib, dan ini adalah kebahagiaan yang tak terhingga.

Bau mulutnya orang yang berpuasa lebih wangi dari minyak kasturi

Bau mulut orang yang berpuasa ini dikarenakan kosongnya perut dari makanan sehingga mengeluarkan angin melalui mulutnya yang tak sedap dicium, tetapi aroma ini mulia di sisi Allah ta’ala sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,


وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ.


“Demi jiwa Muhammad ada di tangannya, bau mulutnya orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari minyak kasturi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang berpuasa dibolehkan bersiwak (menggosok gigi) setelah tergelincir matahari. Menurut pendapat yang rajih (kuat) bersiwak itu disunnahkan terutama pada waktu-waktu tertentu seperti hendak shalat, di saat berwudhu, masuk rumah, bangun tidur, dan yang lainnya, karena aroma ini bukan dari mulut tetapi dari dalam perut. Selain dari itu bahwa sabda Rasul “Athyabu ‘indallahi min rihil misk” adalah di hari Kiamat.

Diceritakan dalam atsar Israiliyyat, ketika Allah Ta’ala menjanjikan kepada Nabi Musa (memberikan Taurat) dan bertemu dengan-Nya, beliau disuruh berpuasa selama tiga puluh hari, lalu ia berpuasa. Maka tatkala ia melakukannya ia merasakan bau mulut, hampir saja ia berbuka atau menggosok gigi, maka Allah menyuruh dia berpuasa sepuluh hari lagi sambil berkata, “Hai Musa, tidakkah kau tahu bahwa bau mulutnya orang yang berpuasa lebih harum dari minyak kasturi,” maka Allah menyempurnakannya dengan sepuluh hari lagi sebagaimana firman-Nya, “Dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh malam.” (Al-A’raf: 142).

Sebagaimana bau mulutnya orang yang berpuasa tak sedap dicium bani Adam padahal itu lebih harum di sisi Allah dari minyak kasturi, begitu juga darah para syahid kelak di hari Kiamat beraroma minyak kasturi, padahal darah itu kotor dan menjijikkan, bahkan najis menurut kebanyakan para fuqaha. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,


مَا مِنْ مَكْلُومٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَكَلْمُهُ يَدْمَى اللَّوْنُ لَوْنُ دَمٍ وَالرِّيحُ رِيحُ مِسْكٍ.

“Tidaklah satu orang yang luka di jalan Allah kecuali dia datang di hari kiamat dan lukanya mengeluarkan darah, warnanya warna darah tapi baunya bau kasturi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Demikianlah, sesungguhnya sesuatu yang dibenci orang, terkadang mulia dan dicintai Allah, disebabkan pengaruh taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya. Oleh karenanya tangisan dan rintihan orang yang melakukan dosa di hadapan Allah Ta’ala adalah salah satu taqarrub kepada Allah yang agung. Seringkali ibadah dan bentuk ketaatan seseorang yang dilakukan dengan rasa bangga tidak lebih baik dari orang yang hatinya luluh, menangis di hadapan-Nya sambil mengakui kelalaiannya dalam beribadah kendatipun jarang ia lakukan, bahkan pernah berbuat dosa.

Terdapat dalam sebuah atsar –sekalipun tidak kuat– bahwa Allah Ta’ala tatkala ditanya oleh salah satu nabi dan rasul-Nya, “Dimanakah Kau ya Rabb?” Allah menjawab, “Saya berada di hati seseorang yang luluh karena-Ku.”

Dengan demikian, tidak ada yang lebih agung –nilainya– dari pada do’a, karena dalam do’a terbukti rendah diri dan rasa takutnya seseorang di hadapan Allah, serta perasaan butuh akan karunia-Nya, terutama di saat mendapatkan kesulitan. Firman Allah Ta’ala, “Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(-Nya).” (An-Naml: 62).

Tiada ulasan: