09 Julai 2013

Keikhlasan

30 Syaaban 1434 H. [MOD] -
Oleh: Jarjani Usman

“Perkataan dan perbuatan seorang hamba tidak akan bermanfaat kecuali dengan niat (ikhlas)” (Ibnu Mas’ud r.a.).

Mengetahui saudara-saudara kita tertimpa musibah, bisa menjadi kesempatan untuk mengukur diri. Yaitu, mengukur sejauhmana hati kita mampu terketuk menyaksikan keadaan memperihatinkan.  Bila hati sudah terketuk, lebih lanjut perlu mengukur sejauhmana ikhlas dalam membantu. Memikirkan keikhlasan sangat penting, karena ikhlas adalah syarat utama diterimanya amalan sebagaimana pernah diingatkan oleh Ibnu Mas’ud r.a.
Ikhlas dalam berbuat memang diakui berat.  Beratnya berbuat dengan ikhlas bukan hanya dialami orang-orang biasa.  Sufyan ats-Tsauri juga pernah mengakui bahwa tiada perkara yang paling berat baginya untuk diobati melebihi upaya meluruskan niatnya. Apalagi niat bisa berubah-ubah sewaktu-waktu.  Makanya tidak jarang, ada yang sebahagian orang yang membantu orang lain bukan karena Allah, tetapi untuk tujuan duniawinya semata.  Seperti agar dilihat orang lain sehingga menjadi modal untuk meraih harapan-harapan lain.

Lazimnya, bila hadirnya keikhlasan dalam membantu karena Allah, akan terasa tidak berat.  Pasalnya, hati sudah berada pada upaya membantu hamba-hamba ciptaan Allah. Sehingga ini menjadi bagian dari upaya mencari keridhaan Allah. Namun Allah mengakui hanya menerima yang murni diniatkan untukNya.

Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits bahwa Allah pernah berfirman, “Aku adalah Zat yang paling tidak perlu kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukanKu dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya” (HR. Muslim).

Tiada ulasan: